Tokoh Adat Kembali Minta KLHK, Cabut Izin PT. Aceh Nusa Indrapuri

 

 

Tokoh adat atau Imum Mukim Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie kembali meminta KLHK untuk mencabut izin Hutan Taman Industri (HTI) PT. Aceh Nusa Indrapuri. Mereka menganggap, keberadaan HTI tersebut tidak memberikan manfaat apapun pada masyarakat.

Sekretaris Mukim Lamkabeu, Kecamatan Seulimuem, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Saifuddin pada 6 Maret 2017 mengatakan, sejak perusahaan HTI itu membuka hutan 1997, hingga saat ini tidak sedikit pun memberikan manfaat pada masyarakat. “Setelah hutan ditebang, mereka menanam pohon akasia. Namun, hanya dibiarkan saja tanpa perawatan dan masyarakat juga tidak bisa memanfaatkan lahan tersebut.”

Imum Mukim Gunong Biram, Kecamatan Lembah Seulawah, Kabupaten Aceh Besar, Hasyim Usman juga menyebutkan hal yang sama. Menurutnya, perusahaan tersebut telah merampas hutan adat Kemukiman Gunong Biram yang sebelumnya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memelihara lembu.

“Tapal batas areal perusahaan dengan masyarakat tidak jelas, bahkan perusahaan mengklaim tanah masyarakat sebagai kawasan mereka. Padahal, perusahaan yang  mencaplok tanah masyarakat.”

 

Baca: Banyak Masalah, Imum Mukim Aceh Minta KLHK Cabut Izin PT. Aceh Nusa Indrapuri

 

Hasyim mengatakan, pada 16 Februari 2017, tim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) turun ke lokasi. Mereka melakukan pengukuran ulang antara peta yang dimiliki KLKH dengan peta versi PT. Aceh Nusa Indrapuri.

“Setelah diperiksa, PT. Aceh Nusa Indrapuri nyatanya menyerobot tanah masyarakat hingga dua kilometer dari batas wilayah mereka.”

 

Areal PT. Aceh Nusa Indrapuri, selain tidak memberikan manfaat pada masyarakat sekitar juga tidak terawat. Kegiatan ilegal mulai galian C hingga perkebunan yang tidak sesuai perizinan ada di sini. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Hasyim meminta kawasan yang saat ini dipegang PT. Aceh Nusa Indrapuri dicabut dan diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat adat. “Dulu, dibekas kantor PT. Aceh Nusa Indrapuri di Kecamatan Lembah Seulawah, merupakan hutan adat yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengembala ternak. Setelah HTI beroperasi, masyarakat menderita.”

Bustami, tokoh masyarakat Kemukiman Lamteuba, Kabupaten Aceh Besar juga menyebutkan, sebelum di kuasai perusahaan ribuan hektar lahan tersebut merupakan hutan alami yang lebat.

“Setelah HTI masuk, mereka mengganti dengan akasia yang selanjutnya lahan menjadi kritis dan gersang. Air juga mulai sulit.”

Hal yang sama juga terjadi di Kemukiman Lampanah, Kecamatan Seulimuem, Kabupaten Aceh Besar. Perusahaan ini juga mengklaim luas wilayah yang mereka kuasai hingga ke kebun masyarakat. Setelah tim dari KLHK turun ke lapangan, terlihat perusahaan yang mengambil tanah masyarakat.

“Masyarakat telah sangat lama dibohongi. Mereka tidak dapat mengelola kebunnya sendiri,” ujar Zulfikri, Koordinator Jaringan Kerja Masyarakat Adat (JKMA) Kabupaten Aceh Besar.

Zulfikri menjelaskan, ada kebiasaan masyarakat Aceh Besar yang saat ini hilang, akibat lahan dikuasai perusahaan. “Dulu, Imum Mukim menyediakan hutan adat tempat masyarakat mengembala ternak. Ini dilakukan agar ternak seperti lembu atau kerbau tidak berkeliaran di permukiman penduduk.”

 

Areal PT. Aceh Nusa Indrapuri ini diminta oleh para imum mukim di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie agar dicabut izinnya. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Memberi konflik

Kepala Divisi Advokasi JKMA Aceh, Efendi mengatakan, penguasaan hutan produksi sebagai hutan tanaman industri oleh PT. Aceh Nusa Indrapuri tidak memberikan dampak ekonomi pada masyarakat sekitar hutan. Justru memberikan konflik bekepanjangan, khususnya tapal batas dan akses.

“Pengelolaan HTI oleh PT ANI pasca konflik hampir tidak ada sama sekali, banyak kewajiban yang mereka abaikan sehingga kawasan hutan yang menjadi wilayah kelola PT ANI menjadi open akses oleh banyak kegiatan illegal, baik itu tambang galian C maupun illegal logging,” sebut Efendi.

JKMA Aceh, telah melaporkan ke KLHK seiring surat para imum mukim tentang keinginan mereka mengelola hutan secara adat atau dengan kata lain untuk menetapkan sebagai hutan adat mukim. “Pihak KLHK telah merespon dengan menurunkan tim menemui para mukim. Namun, kami belum mengetahui bagaimana keputusan lebih lanjut.”

Efendi menambahkan, PT. Aceh Nusa Indrapuri pada 2004 pernah tidak dikeluarkan SK pemberlakukan kembali IUPHHK-HTI karena menunggak pembayaran Dana Reboisasi dan Provisi Sumber Daya Hutan. Dalam laporan audit BPK 2007 disebutkan pinjaman dana reboisasi sebesar Rp40 miliar tidak realistis dengan kondisi perusahaan sebenarnya.

“Izin yang dikeluarkan pada 1997 itu sebagian besar berada di kawasan hutan lindung dan masyarakat adat Aceh Besar dan Pidie. Saat ini, di kawasan HTI juga ditemukan sejumlah kegiatan ilegal seperti perkebunan kelapa sawit, galian C, dan pembukaan lahan untuk perkebunan,” ujar Efendi.

PT. Aceh Nusa Indrapuri didirikan di Jakarta 2 April 1993 dengan Akte Nomor 3 Notaris Abdul Latief, SH, dengan komposisi saham 60 % milik PT. Takengon Pulp dan Paper utama dan 40% milik PT. INHUTANI IV.

Berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan No. 762/kpts-II/92 tertanggal 5 Agustus 1992 yang bersifat sementara, Izin Usaha pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HTI) telah diberikan kepada PT. Takengon Pulp dan Paper Utama seluas 166.500 hektar.

Selanjutnya, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 1571/MENHUT-IV/1993 tertanggal 10 September 1993, IUPHHK-HTI tersebut dialihkan kepada PT. Indonusa Indrapuri, sekarang PT. Aceh Nusa Indrapuri, dengan luas areal 118.515 hektare. Dalam perkembangannya, areal pengusahaan tersebut mengalami pengurangan menjadi 111.000 hektare.

Pengurangan terjadi setelah diterbitkannya surat keputusan Menteri Kehutanan No. 95/kpts-II/97, tanggal 17 Febuari 1997, tentang pemberian HPHTI (IUPHHK-HTI) atas areal hutan seluas ± 111.000 hekatare di Aceh kepada PT. Aceh Nusa Indrapuri.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,