,

Limbah Sawit jadi Bahan Bakar, Warsi: Bukan Alasan Ekspansi Lahan

 

 

Nazarudin meneliti limbah sawit sejak 14 tahun lalu. Dari cangkang, serat, abu, sampai arang pembakaran pengelolahan sawit coba diubah alumnus teknik kimia University College, London, ini jadi bahan bakar premium, gas, solar dan parafin.

Serat sawit mengandung senyawa karbon (C) yang bisa menghasilkan bahan bakar. “Kalau jumlah karbon kurang dari lima bisa jadi gas, kalau C5-C10 jadi bensin, C10-15 jadi solar, lebih 15 jadi minyak tanah, ke atas lagi bisa jadi parafin,” katanya.

Untuk mengubah jadi bahan bakar, serat sawit dicampur katalis—suatu zat untuk mempercepat laju reaksi kimia pada suhu tertentu—dan dipanaskan dalam reaktor bersuhu 500 derajat. Ia untuk memecah molekul besar jadi molekul kecil. Perengkahan ini akan memotong rantai panjang menjadi senyawa pendek.

“Bensin rantai hidro karbon pendek, solar agak panjang, minyak tanah lebih panjang lagi, maka, tak langsung nyamber kalau kena api,” katanya.

Nazarudin berpendapat, dalam setiap satu kilogram serat sawit, mengandung 40% senyawa karbon yang bisa diubah jadi bahan bakar.

Menurut koordinator pusat studi energi dan nano-material Universitas Jambi ini, bahan bakar limbah sawit dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) lebih menguntungkan karena tak mengandung sulfur dan nitrogen, hingga tak hasilkan gas (SO2) penyebab polusi.

“Jadi CPO ini lebih ramah lingkungan dibanding bahan bakar minyak bumi,” katanya.

Pemerintah juga memprogramkan minyak sawit (biofuel) untuk campuran solar. Bahkan sejak Semptember 2013, pemerintah mewajibkan 10% biofuel untuk campuran solar, demi menekan impor bahan bakar minyak (BBM). Pemerintah juga menyakini, campuran biofuel bisa mengurangi emisi 17-50%, walau angka ini belum bisa dipastikan.

Pria kelahiran Kota Bumi, Lampug ini juga memanfaatkan limbah sawit menjadi katalis. Dia bilang, limbah sawit ini bisa hasilkan 20-30 jenis katalis. Penelitian yang didanai Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Rp 1,1 miliar ini akan dikembangkan jangka panjang hingga ke tahap industri.

“Pada 2019, mudah-mudahan bisa jadi industri. Kita ingin ikut mendorong sesuai keinginan Presiden membuat energi terbarukan.”

 

Nilai limbah hilang

Bertahun-tahun, petani sawit tak bisa merasakan “manis” dari limbah sawit. Selama ini, menjual sawit hanya berdasarkan harga CPO.

Rukaiyah Rafik, Direktur Yayasan Setara mengatakan, limbah sawit punya nilai ekonomi cukup besar semestinya juga terhitung penentuan pembelian harga tandan buah segar.

Harga sawit petani bisa naik, jika hasil pengolahan limbah sawit dihitung menentukan harga TBS. “Karena buah sawit itu tak hanya mengandung CPO tetapi ada serat, cangkang, tandan kosong. Harusnya harga bisa naik.”

Dalam hitungannya, setiap pengolahan satu ton sawit hasilkan Rp249.000 dari hasil limbah. Ampas palm kernel ekspeller (PKO) bisa untuk pakan ternak. Tandan kosong untuk pupuk organik, karena mengandung nitrogen (N) tinggi bagus untuk kesuburan daun dan kelembaban tanah, hingga bisa mengurangi pupuk tak ramah lingkungan.

 

Proses limbah sawit jadi beragam bahan bakar. Foto: Yitno Suprapto

 

Limbah cair dari palm oil mill effluent (Pome) bisa untuk bahan pembuatan lilin. Kolam-kolam pembuangan limbah pabrik ini juga menghasilkan gas metan bisa untuk masak, bahkan dalam skala besar sebagai pembangkit listrik.

Data Yayasan Setara, pada 2016 di Jambi ada sekitar 200.000 hektar perkebunan sawit dikelola petani swadaya. Dalam hitungan Rukaiyah, sebulan kebun sawit petani bisa hasilkan tiga sampai empat ton setiap hektar. “Kalau dihitung ada Rp150 miliar lebih, setiap bulan, hasil limbah yang tidak diketahui petani.”

 

Potensi masalah?

Ade Candra, Asisten Koordinator Program Pemberdayaan Masyarakat Warsi menanggapi positif penemuan pengolahan ini. Namun, katanya, temuan Nazarudin bukan alasan pemerintah dan masyarakat untuk ekspansi perkebunan sawit.

“Kalau limbah sebagai sumber energi alternatif minyak bumi, itu sah-sah saja. Jangan sampai timbul opini sawit penting dan harus diperluas,” katanya.

“Pola pikir masyarakat kita ini (kadang) masih kalau mau hasil banyak ya kebun diluasin.”

Dampak perluasan perkebunan sawit, katanya, justru berakibat buruk bagi masyarakat karena tak ada lagi lahan kosong. “Dimana perusahaan sawit ada, yang tak menimbulkan konflik?”

“Dulu hutan produksi bisa dikonversi jadi hutan guna usaha sawit, sekarang lahan dimana lagi, nggak ada.”

Sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009, banyak perusahaan mendapatkan izin di lahan produktif kelolaan masyarakat berujung  konflik.

Ade mencontohkan, perusahaan sawit yang mendapat izin di Kabupaten Sarolangun, Batanghari, Muaro Jambi, Merangin dan Muaro Bungo, terbukti tak bisa membuat masyarakat sekitar sejahtera.

“Kayak PT PAS, APL, Kedaton setelah dibangun kemitraan itu masyarakat hanya dapat bagian Rp100.000 per bulan. Dulu, masyarakat punya kebun karet, karena diiming-imingi harga sawit mahal, akhirnya kebun dijual. Kalau tak dikelola kemitraan. Sekarang jadi susah mereka.”

Dia mengatakan, banyak petani karet jadi buruh perusahaan merawat kebun sawit. Mereka bekerja dari pagi sampai sore, rata-rata dibayar Rp70.000. Pekerjaan ini terpaksa dilakukan, lantaran mereka telah menjual kebun karet, dan sebagian jadi ‘mitra’.

“Saya tak tahu ya, apakah harga karet murah ini, strategi (pengusaha sawit) mengubah kebun karet jadi sawit.”

Menurut Ade, pemerintah seharusnya tak lagi memberikan izin membuka perkebunan sawit, meski limbah bisa jadi bahan bakar. Pemerintah, katanya, lebih baik mengembangkan petani-petani mandiri yang tak bergantung perusahaan.

Senada dengan Rukaiyah. Meski mendukung sawit berkelanjutan untuk petani swadaya, tetapi tak mendukung ekspansi sawit. Untuk memaksimalkan hasil kebun bukan selalu ekstensifikasi, tetapi bisa intensifikasi.

“Pupuk dibenerin, perawatan dijaga, hingga hasil meningkat, bukan selalu meluaskan wilayah perkebunan.”

Rukaiyah bilang, para petani yang meluaskan wilayah untuk meningkatkan hasil panen adalah orang-orang yang tak terorganisir, hanya mengejar untung. “Kalau terorganisir, akan ada kontrol, tak teorganisir itu yang tak terkontrol.”

Dia membantah tuduhan ekspansi sawit yang selama ini ditujukan pada para petani. Menurut dia, masih banyak petani sawit peduli lingkungan. “Kita selalu ingatkan kalau masih punya kebun karet jangan ditebang, lakukan intensifikasi bukan ekstensifikasi.”

 

Limbah sawit yang mau proses jadi bahan bakar. Foto: Yitno Suprapto

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,