Oase Batubara untuk PLTU Bisakah Dihentikan?

Pemerintah telah menargetkan pengadaan listrik 35.000 megawatt untuk memenuhi kebutuhan energi nasional yang meningkat. Akan tetapi, pemenuhan energi tersebut sebagian besar masih bersumber dari batubara.

Ketersedian batubara di Indonesia terbilang cukup besar. Berdasarkan Pusat data dan informasi Kementerian  ESDM tahun 2015 dari hasil riset tahun 2014 oleh Handbook of Energy  and  Economic Statistic  of Indonesia  memperkirakan bahwa kandungan sumber daya batubara dimiliki Indonesia berkisar 120 miliar ton.  Sehingga dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2016-2025 diasumsikan bahwa secara kuantitas batubara selalu tersedia untuk pembangkit listrik.

Data ESDM disimpulkan tingkat produksi pertambangan batubara di Indonesia dalam 5 tahun terakhir berkisar 400 juta ton per tahun, dimana hampir 90% diekspor ke luar negeri dan sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik.

 

 

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, batubara ditargetkan menjadi penyedia energi terbesar sampai dengan tahun 2050. Pada 2025, target peran batubara dalam energi primer khusus untuk kelistrikan sebesar 115 Giga Watt dan 430 Giga Watt pada tahun 2050.

Target tersebut belum termasuk pemakaian batubara yang dicairkan dan batubara yang digaskan, dalam peraturan tersebut diproyesikan minimal 30% tahun 2025 juga peran Energi Baru Dan Terbarukan yang ditargetkan mencapai 22% pada tahunyang sama. Dalam PP tersebut, juga disebutkan target pemakaian energi primer total sebesar 400 juta TOE (ton oil equivalent) tahun 2025 dan 1.000 juta TOE tahun 2050.

Andaikan target 35000 MW adalah hal yang ingin dicapai, menurut data Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi ESDM pemerintah berencana membangun kelistrikan dari 68% PLTU, 19% pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLPT) dan 3% pembangkit listrik tenaga air (PLTA).

Akan tetapi proses pembakaran batubara -menghasilkan emisi karbon dioksida yang berpengaruh terhadap perubahan iklim.  Disamping itu batubara juga menghasilkan polusi partikel dan limbah kimia yang dapat menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya.

Greenpeace memperkirakan bahwa jika semua pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batubara yang direncanakan jadi dibangun, maka emisi karbon dioksida dari batubara akan meningkat 60 persen pada tahun 2030. Hal ini tentu akan mempengaruhi usaha pengendalian perubahan iklim global, padahal sejumlah ilmuwan berargumentasi bahwa 95% dari kebutuhan energi dunia dapat disediakan oleh sumber terbarukan.

 

Tumpukan batubara di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Cirebon I di Desa Kanci, Astanajapura, Cirebon, Jabar, pada awal Maret 2017. Keberadaan PLTU membuat masyarakat setempat menjadi sulit mencari ikan karena jumahnya yang terus menurun. Foto : Donny Iqbal

 

Pembangunan PLTU

Di tanah air, keberadaan PLTU masih menjadi pro dan kontra.  Rakyat Penyelamat Lingkungan mewakili masyarakat Cirebon yang didampingi 17 pengacara melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, bernomor  124/G/LH2016/PTUN/BDG.

Gugatan tersebut tertuju pada proyek pembangunan PLTU II yang akan dibangun di Desa Kanci, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon. Rencananya lokasi pembangunan PLTU Cirebon II tepat bersisian dengan PLTU Cirebon I.

Saat ini, proses sidang telah memasuki agenda ke-8 dengan tahapan sidang pemeriksaan setempat oleh PTUN Bandung. Dengan gugatan terkait surat Keputusan Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Provinsi Jawa Barat Nomor  660/10/191020/BPMPT/2016 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Pembangunan dan Operasional PLTU Kapasitas 1×1000 MW oleh PT Cirebon Energi Prasarana, tertanggal 11 Mei 2016.

Ketua Majelis Hakim, Sutiyono  menjelaskan tujuan dari sidang pemeriksaan setempat ini untuk memeriksa fakta – fakta sebagai rujukan yang diajukan tergugat menganai izin lingkungan.

“Rencananya  masih ada beberapa agenda persidangan yang akan dilakukan dengan menghadirkan saksi ahli dari penggugat maupun pemerintah terkait soal izin PLTU. Terkait putusan, kami kejar untuk akhir Maret ini dengan rentan waktu 150 hari harus selesai kecuali rumit . Perkara  tentang lingkungan termasuk pembuktiannya tidak sederhana dan soal perizinnya bersifat derivative,” kata dia saat ditemui Mongabay di lokasi PLTU Cirebon I, Jumat, (03/03/2017) lalu.

Karena PLTU termasuk proyek nasional, Mongabay menanyakan ihwal intimidasi, menurut pengakuan Sutiyono sejauh ini tidak ada intimidasi. Dia menuturkan intimidasi sudah menjadi konsekuensi dari hakim. “Yang terpenting hakimnya kuat atau tidak? Saya harapkan proses ini bisa selesai sampai putusan nanti,” pungkasnya.

 

Dua orang anak berjalan di kawasan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Cirebon I di Desa Kanci, Astanajapura, Cirebon, Jabar, pada awal Maret 2017. Menurut Greenpeace, PLTU berbahan batubara berpengaruh pada kesehatan karena mencemari udara karena asapnya mengandung polutan berbahaya. Foto : Donny Iqbal

 

Sementara itu, Willy Hanafi salah satu kuasa hukum yang mendampingi  gugatan masyarakat menerangkan bahwa pembangunan PLTU sendiri berdampak pada hak warga atas lingkungan baik, sehat dan memeperoleh mata pencaharian untuk sumber kehidupannya.

Dia menuturkan secara administratif adanya perbedaan RTRW yang terjadi antara Pemerintah Kabupaten Cirebon dengan Provinsi Jawa Barat. Tapi secara prinsip keberadaan PLTU seharusnya tidak merenggut hak hidup warga sekitar yang menggantungkan diri dilingkungan terutama pantai.

“Yang kami gugat sebetulnya izin pembangunan PLTU II. Karena dengan adanya PLTU I saja dampaknya sudah terasa terutama dari segi lingkungan menjadi rusak. Contohnya keberadaan ikan yang dulunya ada sekarang sudah jarang sehingga berimplikasi pada perekonomian warga,” tutur dia.

Dia berujar pembangunan proyek PLTU di Cirebon diwacanakan akan di bangun sebanyak 5 buah. Untuk itu, perizinan soal AMDAL dan perizinan lainya dinilai perlu dilakukan secara komperhensif agar tidak merugikan rakyat yang sudah dari dulu mengandalkan laut sebagai tumpangan hidup.

Di tempat yang sama, Surip (42) warga sekitar mengaku resah dengan adanya rencana pembanguan PLTU II. Pasalnya sejak pembanguan tahun 2005 dan mulai beroprasi PLTU I tahun 2012, menurut Surip telah berpengaruh pada lingkungan.

“Dulu sebelum  ada PLTU tidak jauh dari pesisir pantai dan hanya menggunakan pelampung bisa dapat ikan paling minimal 20 – 30 kilo dalam sehari. Lumyan kalau dirupiahkan bisa bawa pulang uang 300.000,” ujarnya.

Dia menyebutkan ikan kakap, ikan sembilang dan ikan lainnya kadang mudah didapat dengan jaring. Namun, semenjak PLTU membuang air panas bekas pembakaran batubara langsung ke pantai berpengaruh terhadap ketersediaan biota laut. Sehingga ikan yang dulunya mudah didapat sekarang menjadi sulit.

“Dulu pas proses pembangunan pernah ada santunan dari PLTU sebesar Rp4 juta. Katanya sebagai biaya tambak kerang warga yang mati keracunan. Tapi itu hanya sekali dan tidak ada lagi santunan warga ataupun berbaikan pantai,” kata dia.

Sarnah (43) warga sekitar yang berprosesi sebagai nelayan juga mengeluhkan hal yang sama yakni susahnya mencari ikan. “Perahu saya kecil jadi tidak bisa melaut terlalu jauh. Dulu berangkat jam 7 malam pulang pagi dapatnya lumayan. Duh kalo sekarang susah kadang dapet sedikit,” keluhnya.

Dia berujar ada 2 desa yang lokasinya berdekatan dengan PLTU. Diantarannya Desa Kanci Kulon yang dihuni sekitar 4000 Kepala Keluarga dan sebagian besar masyarakat bermata pencaharian nelayan dan petani. Dia berharap pemerintah memikirkan nasib kehidupan masyarakat kecil yang sejak dulu hidup dari hasil alam pantai Cirebon.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,