Mama Aleta Fund: Untuk Perempuan Pejuang dan Penyelamat Alam

 

 

Suasana ramai menggema ketika tiga lukisan karya Wijatnika dilelang dengan harga pembuka Rp1 juta. Akhirnya, tiga lukisan berlatar hitam dengan gambar perempuan itu terjual Rp15 juta yang selanjutnya disumbangkan ke Mama Aleta Fund. Demikian pula hasil penjualan selendang tenun dan pernak pernik yang digelar di KeKini, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 11 Maret 2017.

Hari itu, tokoh lingkungan dari Mollo, Mama Aleta Baun, mengumumkan peluncuran Mama Aleta Fund, lembaga bantuan pendanaan bagi perempuan pejuang ruang hidup dan pemulih alam. Pendanaan tersebut berasal dari penghargaan diperoleh Mama Aleta dari The Goldman Environmental Prize 2013 sebesar US$150 ribu atau senilai Rp2 miliar dengan nilai tukar Dollar kini.

Perempuan perkasa dari Mollo, Nusa Tenggara Timur ini menjelaskan mengapa dirinya menyumbangkan hadiah tersebut. Tujuannya, membantu perempuan yang berjuang untuk menyelamatkan dan memulihkan alam dari kerusakan lingkungan. “Perempuan yang paling mengalami kesulitan saat musim tak menentu akibat perubahan iklim,” ujar Mama Aleta. Menurutnya, perempuan yang mengurus pangan keluarga dan masyarakat. Perempuan mengakses sumber pangan dari alam dan perempuan lebih dekat dengan alam.

 

Baca: Mama Aleta: Berjuang Mempertahankan Lingkungan, Melawan Tambang dengan Menenun

 

Dalam sambutannya, Aleta Baun mengatakan bagaimana dia berjuang menyelamatkan dan  memulihkan alam. Itu sekelumit cerita mengapa ia menyerahkan uang sebanyak itu untuk Mama Aleta Fund. ”Bukan untuk menggemparkan terlebih untuk kejayaan.”

Dana tersebut akan dikelola sementara oleh Samdhana Institute, dibantu beberapa lembaga swadaya lain. “Mama Aleta Fund diharapkan bisa membantu pendanaan, pengetahuan, serta kepemimpinan para perempuan pejuang lingkungan di tanah air. Terutama perempuan di Indonesia bagian timur. “

Indonesia bagian timur, lingkungan alamnya mengalami kekeringan, curah hujan sedikit, ada faktor kemiskinan, dan banyak perempuan keluar daerah untuk mengadu nasib sebagai tenaga kerja. “Kita harus menyelamatkan ruang hidup, yang ujungnya untuk penyelamatan pangan,” tuturnya.

Dia juga menuturkan, jika semua orang bergerak melindungi lingkungan, pembangunan tanpa harus menghancurkan alam dan sumber daya alam bisa dilakukan. Mempunyai pemikiran membangun dengan mengelola lahan, hutan atau saling bertukar hasil panen untuk memenuhi kebutuhan kampung lainnya adalah hal baik untuk dikerjakan. “Sebab, kepentingan perempuan adalah keberlanjutan kehidupan masyarakat di masa mendatang.”

Anggota DPRD Nusa Tenggara Timur ini juga berharap, Mama Aleta Fund ini bisa mendorong banyak perempuan untuk menyelamatkan dan memulihkan alam. “Masyarakat jangan lagi lagi menjual sumber daya alam, melainkan menjual hasil karya sendiri seperti tenun, anyaman, atau produksi lain yang berkelanjutan,” tuturnya.

 

Mama Aleta Baun ketika menerima penghargaan The Goldman Environmental Prize 2013. Foto: The Goldman Environmental Prize

 

Berjuang tanpa lelah

Aleta Baun memulai perjuangannya menyelamatkan bumi Mollo di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, sejak 1999. Dia menolak penambangan marmer di Desa Fatukoto. Putri dari sorang Amaf atau dalam adat Mollo merupakan struktur yang berperan serupa DPRD – ini menghadapi perusahaan tambang milik pengusaha dari ibu kota. Kiprahnya itu membuatnya berurusan dengan aparat dan bupati setempat. Dia bahkan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) kepolisian setempat dan paling dicari.

Pada 2006, Aleta Baun masih dianggap musuh oleh bupati setempat karena dianggap bertanggung jawab atas aksi ratusan warga. Terutama, para perempuan yang menduduki tambang marmer dengan menenun selama dua bulan di Desa Fatumnasi dan Kuanoel. Mereka menenun di depan batu besar yang menjadi sumber hidup mereka, dengan tuntutan penghentian tambang milik pengusaha Jakarta itu.

 

Baca juga: Babak Baru Perjuangan Penyelamatan Lingkungan Mama Aleta Lewat DPRD NTT

 

Aleta Baun harus meninggalkan keluarga, mengorganisir perempuan dan warga, bergerilya malam hari dan menghilang saat pagi datang. Dia sering mengalami intimidasi, kekerasan yang dilakukan oleh para preman yang dibayar perusahaan. Dia pun harus keluar masuk hutan, bersembunyi beberapa bulan dengan membawa bayinya yang masih merah. Stigamatisasi masyarakat yang menuding Mama Aleta bukan perempuan baik-baik pun sempat diterimanya hanya karena dia sering tak berada di rumah.

Mama Aleta dan masyarakat adat Mollo berjuang lebih dari 13 tahun untuk menutup tambang marmer. Mereka mempercayai alam bagian tubuh manusia. “Kami percaya fatu, nasi, noel, afu masan a’tatif neu monit mansion. Batu sebagai tulang, tanah sebagai daging, air sebagai darah dan hutan sebagai kulit, paru-paru dan rambut.”

 

 

Menurutnya, merusak alam seperti merusak  tubuh sendiri. Hutan memiliki fungsi menjaga lahan dan melindungi sumber-sumber air. Seperti kulit dan rambut yang melindungi daging dan darah. Jika hutan rusak, tanah akan tidak subur. Gunung batu juga menyimpan air, di bawahnya selalu ada sumber air.

Warga Mollo bersatu mengusir perusahaan tambang, kata mama Aleta, karena mereka tak mau kehilangan identitas Mollo. “Kami mengenal fautkanaf, haukanaf dan oekanaf atau batu nama, kayu nama dan air nama. Adat kami akan hilang ketika gunung batu dihancurkan, hutan dan sumber air dirusak.”

Saat ini masyarakat di sekitar Mollo membentuk kelompok perempuan penenun dan pertanian organik, serta kelompok ternak. Mereka menghijaukan daerah sekitar sumber air dengan tanaman asli, membangun lumbung pangan dan memperbanyak pewarna alami untuk tenun. Meski perusahaan tambang berhasil diusir, namun perjuangan mereka belum selesai.

Pada 8 April 2017 mendatang, masyarakat Mollo akan mengadakan upacara syukuran peluncuran Mama Aleta Fund. Akan bergabung pula masyarakat Amanuban dan Amanatun di acara itu. Mereka mengadakan acara di bekas tambang yang sudah rusak, sekitar batu Naususu, tempat yang dijadikan pertemuan adat. Di sana pula akan dilakukan pemanjatan tebing oleh Mahasiswa Pencinta Alam (Mahitala) Universitas Parahyangan Bandung.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,