Melihat Masyarakat Adat Kulawi-Marena Merawat Hutan (Bagian 2)

 

 

Namanya Gaspar Lancia. Pria 54 tahun ini hidup di hutan sudah jadi keseharian sejak kecil. Keluarganya keturunan tetua ngata atau tokoh adat. Ayah Gaspar dulu Kepala Lembaga Adat Kulawi, Marena. Begitu juga kakak dan sepupunya. Kini dia memegang tampuk pimpinan itu.

Sebagai ketua lembaga adat, Gaspar sering menemani tamu melihat kondisi hutan Marena.

Memasuki hutan adat Kulawi, Marena,  tak sulit menemukan tanaman musiman seperti cokelat, rotan, kopi, melinjo, serta buah-buahan seperti durian, rambutan, mangga hutan, dan lain-lain.

Hutan ini dibelah Sungai Wehe, sungai alam dengan pagar pohon-pohon besar, yang memang terlarang ditebang oleh hukum adat.

Irisan kawasan taman nasional dan hutan adat ditemui setelah sekitar satu jam perjalanan memasuki hutan dari pemukiman. Tak ada batas atau pagar tertentu yang bisa membuat pendatang membedakan  hutan adat dan taman nasional. Meski begitu, Gaspar tahu jelas batas alam antara taman nasional dan hutan adat.

“Ini sudah masuk taman nasional. Kita boleh ambil hasil hutan tapi tak boleh buka lahan, sesuai kesepakatan tahun 2007,” katanya.

Rotan menjadi andalan masyarakat kala produksi kakao sedikit. Produksi kakao turun berimbas pada harga. Kini, Rp30.000-Rp40.000 perkilogram.

Meski demikian masyarakat tak bisa sembarang ambil rotan. “Potensi hutan banyak seperti pandan hutan dan rotan, bisa dimanfaatkan dengan kearifan lokal.”

Kearifan itu, misal aturan pengambilan rotan selama enam bulan, lalu diberi jeda lima tahun tak boleh ambil rotan. “Kalau sudah lima tahun sudah lebih panjang,” kata Gaspar menunjuk satu pohon rotan muda.

Lembaga adat punya aturan ketat soal penebangan kayu hutan. Kayu hutan boleh diambil untuk keperluan pribadi seperti pembuatan rumah atau bagun fasilitas umum seperti gereja dan sekolah. Kayu hutan tak boleh dijual. Jika kedapatan mengkomersilkan kayu hutan, sanksi adat menanti.

Sanksi ringan pernah kena pada warga yang menebang pohon tanpa izin lembaga adat. “Kita lihat motif, kalau tidak untuk dijual hukuman ringan.”

Sanksi ringan biasa 20 dulang dan penggantian kerugian jika ada pihak yang dirugikan. Kayu disita untuk kepentingan adat dan desa.

Satu ketika, ada warga mencoba mengelabui lembaga adat. Izin penebangan pohon untuk pembangunan gereja, disalahgunakan. “Setelah kebutuhan gereja terpenuhi, dia tetap menebang kayu untuk dijual. Ini kena sanksi berat.”

Hutan adat mereka kaya emas, tetapi aturan adat melarang keras pertambangan, baik lokal apalagi pendatang atau perusahaan. Pernah ada warga menggali di halaman rumah sendiri dan nyaris menjual hasil.

“Kami panggil dan kami denda adat. Kita lihat sendiri posisinya, kalau dibongkar ini bahaya,” ucap Ferdy Lumba, Sekretaris Lembaga Adat.

Penegakan hukum di Kulawi, Marena, tak lepas dari peran lembaga adat dengan 21 personil, terdiri dari lima anggota inti, sisanya anggota biasa dan tondongata, semacam polisi adat.

Berbagai laporan pelanggaran oleh masyarakat hasil patroli tondongata, baik saat patroli hutan maupun di pemukiman.

“Ada 11 orang tondongata dibawah kendali lembaga adat,” ucap Gaspar.

 

Yeni Lancia Buha, Tina Ngata (Tokoh adat perempuan, Kulawi, Marena). Foto: Della Syahni

 

 

Perempuan adat Marena

Mirka Hamaele bersiap meninggalkan rumah. Sehari-hari ibu tiga anak ini bekerja jadi buruh tani atau kebun. Bersama perempuan-perempuan Marena lain, Mirka ikut satu kelompok terdiri dari delapan hingga 10 orang.

Pekerjaan bisa apa saja, memanen kakao, kopi, kacang-kacangan, atau menanam dan mengolah tanaman musiman lain.

Sehari kerja, Mirka dapat upah Rp40.000-50.000. “Kalau Rp40.000 dikasih makan siang. Kalau Rp50.000 hanya makanan kecil dan kopi,” katanya.

Walaupun bekerja di lahan pertanian atau kebun, perempuan Marena, hampir semua menggantungkan hidup pada hutan. Hutan tempat mencari kayu bakar, tanaman pangan, sampai obat-obatan.

Hutan adat terjaga, tak bisa dilepaskan dari peran Yeni Lancia Buha.

Yeni, adalah adik Gaspar Lancia. Perempuan 50 tahun ini jadi Tina Ngata, ibu kampung, tokoh perempuan adat Kulawi, Marena.

Kehidupan pernikahan dan pendidikan Yeni, tak begitu mulus, sempat menikah dua kali di rantau pada 1984 dan 1995. Kedua pernikahan kandas. “Suami pertama suka judi, kedua suka minum,” katanya.

Tak tahan dengan kehidupan rumah tangga, Yeni kembali ke kampung, Marena. “Di sini saya ambil sikap. Saya tak bisa begini terus. Saya pelajari, ego mereka (suami) tinggi. Saya ingin rumah tangga itu, berbagi.”

Di kampung, Yeni bertemu seorang lelaki 22 tahun lebih muda. “Tak mudah juga, saya sudah dua kali menjanda. Dia bilang, tak apa jika ini jadi jalan pertaubatan saya.”

Menjelang 2000 mereka menikah. Yeni memulai hidup baru. “Ini lebih baik, untuk menutupi masa lalu saya yang hancur. Dia bisa mengerti dan izinkan saya ikut pertemuan-pertemuan di kampung, di DPRD untuk membuat perda itu.” Kini proses Perda Penetapan Hutan Adat Kulawi, Marena berjalan di DPRD.

Ilham Buha, suami Yeni, jadi Tondongata, polisi adat yang bertugas patroli hutan.

Antara 2000-2001, Yeni mulai ikut berjuang mengklaim kembali lahan Marena, kala itu dikuasai PD. Sulteng untuk cengkih. “Saya ikut pertemuan-pertemuan dengan LSM. Disitu saya sadar soal HAM. Pikiran saya terbuka, kalau setiap orang punya hak. Eh, termasuk saya toh.”

Dalam setiap pertemuan, Yeni mengajak perempuan-perempuan Marena lain hadir. ”Tapi cuma dengar, belum berani bicara.”

Soal mempertahankan hutan, Yeni tak mau ditawar. “Di sana kami punya isi perut kami.”

Saat ada rencana pembangunan PLTA yang akan pakai lahan hutan, Yeni salah satu yang vokal menolak.

“Ya mungkin ada untungnya untuk pemasukan desa, tapi kita mesti pikirkan ke depan. Hutan itu tanah gembur, bagaimana kalau dikasih mesin? Mungkin satu atau tiga tahun ini tidak apa, tapi bagaimana selanjutnya. Kalau alasan listrik, kita sudah ada listrik meski sering mati karena jaringan ambil dari Palu.”

Saat pemilihan kepala desa Marena, Yeni berpikir kalau perempuan perlu menjadi pemimpin. “Kita (perempuan) itu pendingin, kalau ada berbeda pendapat antara perangkat desa dengan lembaga adat. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan masalah-masalah di sini, seperti kekerasan dalam rumah tangga, juga perempuan yang tahu,” katanya.

Lantas, Yeni maju menjadi calon kades. Meski kalah, namun dapat suara terbesar kedua dari empat calon. Dia satu-satunya calon perempuan. “Mungkin karena pendidikan saya cuma sampai SMP.”

Namun itu tak mengurungkan perjuangan Yeni. Bagi dia ini bukan soal jabatan, tetapi mempertahankan lahan dan hutan adat seperti ajaran orangtuanya. “Saya siap mati pertahankan hak masyarakat.”

 

Pohon yang ditebang harus ada izin lembaga adat dan hanya untuk kepentingan sendiri, tak boleh dijual. Foto: Della Syahni

 

Reforma agraria

Masyarakat adat Kulawi Marena cukup beruntung. Jalan mereka mempertahankan hutan adat mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten Sigi, karena sinkron dengan visi misi pemkab untuk reforma agraria.

“Lahan ini terbatas sementara manusia terus tumbuh,” kata Paulina Martono, Wakil Bupati Sigi,.

Komitmen pemerintah mempertahankan lahan masyarakat, kata Paulina,  diwujudkan dengan beberapa skema reforma agraria sesuai kondisi eksis masyarakat.

Saat ini,  Pemkab Sigi berencana membagikan lahan kepada masyarakat dalam bentuk perhutanan sosial sekitar 31.000 hektar, hutan adat 25.000 hektar, tanah obyek reforma agraria dari pelepasan kawasan 15.000 hektar.

Lalu, tanah negara bebas di bawah BPN 20.000 hektar, tanah transmigrasi sudah keluar dari kawasan hutan tetapi belum bersertifikat, 3.000 hektar dan tanah bekas HGU, 1.000 hektar.

“Ini masih indikatif,” kata Eva Bande, anggota tim reforma Agraria yang mendampingi Pemkab Sigi.

Untuk hutan adat, tahun ini Pemkab Sigi menargetkan penetapan empat hutan adat termasuk Marena sekitar 1.000 hektar, Desa Moa 2.500 hektar, Desa Maseo 1.500 hektar dan hutan adat Toro 3.000 hektar.

Pemkab, kata Paulina,  akan konsisten menjaga wilayah Sigi dari konsesi perusahaan. Pemkab mencabut 12 izin usaha pertambangan yang pernah diterbitkan Donggala, sebelum pemekaran, dan tak memperpanjang izin PD. Sulteng di Sigi.

“Semua sudah masuk rencana pembangunan jangka menengah.”

Mengenai hutan adat Marena yang beririsan dengan TNLL, katanya, sudah dilaporkan kepada Menteri Lingkungan, Siti Nurbaya. TNLL juga obyek reforma agraria di bawah naungan KLHK.

Sudayatna, Kepala Balai Besar TNLL, secara prinsip mengakui masyarakat adat menjaga hutan lebih baik dengan kearifan lokal. “Mungkin karena mereka sudah ketergantungan hidup dengan hutan,” katanya.

Mengenai penetapan hutan adat Kulawi-Marena yang tumpang tindih dengan TNLL, BBTNLL tak akan menghalangi upaya masyarakat. “Kita juga tidak ada kewenangan mendukung. Silakan saja.”

Mengenai kesepakatan antara masyarakat adat Kulawi-Marena dengan TNLL 2007, kata Sudayatna, akan revisi termasuk dengan 76 desa lain yang punya kesepakatan serupa.

Terpenting bagi TNLL, siapapun yang mengelola kawasan itu harus menjaga keragaman hayati termasuk satwa langka seperti anoa, babi rusa dan maleo. (Habis)

 

Bantaya, tempat kegiatan adat Kulawi, Marena. Foto: Della Syahni

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,