Kongres AMAN V: Menanti Langkah Lanjutan Komitmen Perlindungan Pemerintah kepada Masyarakat Adat

 

Pengakuan terhadap masyarakat adat senyatanya sudah ada dalam berbagai produk hukum negeri ini. Sayangnya, hanya sebatas aturan, selama 70-an tahun, masyarakat adat seakan tak dianggap. Mereka antara ada dan tiada. Hak-hak penguasaan lahan dan sumber alam sampai hak hidup mereka terampas, tak ada perlindungan.

Kini, pemerintah berkomitmen melindungi hak-hak masyarakat adat, terlebih setelah putusan Mahkamah Konstitusi No 35 pada 2012 (MK-35/2012)  menyatakan hutan adat bukan hutan negara.

Presiden Joko Widodo,  sejak belum jadi kepala negara sudah berjanji melindungi masyarakat adat. Akhir tahun lalu, kali pertama sejak Indonesia ada, negara resmi menetapkan delapan hutan adat dan mengeluarkan satu hutan adat dari konsesi perusahaan. Aksi nyata pemerintah kepada masyarakat adat sudah ada, meskipun di lapangan masih terjadi perampasan, kekerasan sampai kriminalisasi mereka yang berjuang mempertahankan wilayah hidup.

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), mengatakan, Pemerintahan Jokowi, menjanjikan antara lain, penyelesaian konflik agraria, pengakuan masyarakat dan wilayah adat restribusi tanah atau reforma agraria 9 juta hektar sampai perhutanan sosial.

Aksi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tahun pertama dan kedua, katanya, jadi pertanda baik dalam menyusun pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

Memasuki tahun ketiga, katanya, dia belum melihat gebrakan lagi dari Jokowi. Dia bilang, reforma agraria sudah jalan, namun masih belum ada irisan pertemuan antara tanah obyek reforma agraria, yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun Kementrian Agraria dan Tata Ruang/BPN, dengan wilayah-wilayah yang selama ini dperjuangkan masyarakat adat.

“Jadi tantangan bagaimana memastikan agenda reforma agraria betul-betul mendapat hak di lokasi-lokasi yang selama ini diperjuangkan di lapangan,” katanya dalam simposium di Kongres AMAN V di Deli Serdang, Rabu (15/3/17).

Selain itu, katanya, perlu diwaspadai, pembangunan infrastruktur berjalan begitu cepat, yang berpotensi menilmbulkan konflik. Tak heran, hingga kini masih menyaksikan kriminalisasi masyarakat adat, intimidasi dan represif aparat. “Jadi ada kontradiksi antara janji dan agenda kerakyatan.”

Dewi mencontohkan, baru-baru ini kriminalisasi 11 masyarakat adat Seko penolak pembangunan PLTA. “Ini membuktikan masih ada jurang antara kebijakan di atas dan implementasi lapangan.”

 

Perjuangan AMAN

Abdon Nababan, Sekjen AMAN mengatakan, tak ada kedaulatan dan kemandirian suatu bangsa, tanpa masyarakat adat. Negeri ini, katanya, tak akan pernah ada tanpa masyarakat adat.

“Apa yang lalai dilakukan negara selama 72 tahun ini, akan jadi pembahasan penting dalam Kongres AMAN V di Kabupaten Deli Serdang, 15-19 Maret 2017,” katanya.

Pada Kongres pertama, AMAN sangat konfrontatif bahkan sampai menyatakan kalau negara tak mengakui masyarakat adat, masyarakat tak akan mengakui negara. Pada 1999 itu,  terjadi aksi-aksi konfrontasi di lapangan.

Baru 10 tahun ini, masyarakat kembali berdialog dengan negara. Ada cukup banyak hasil, ada MK-35 walaupun belum sepenuhnya jalan.

Di KLHK, ada Permen No 32 tentang prosedur pengakuan hutan adat berdasarkan putusan MK 35. D Kementrian Dalam Negeri lahir Permendagri Nomor 52/2014, tentang pedoman, pengakuan dan perlindungan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat.

Lalu ada Permen ATR Nomor 10/2016, mengatur pengakuan hak masyarakat adat melalui sertifikasi hak komunal. Terakhir, ada UU Desa, walau sangat berat karena harus melewati perda provinsi dan perda kabupaten untuk penetapan.

“Harus ada sinkronisasi untuk menggolkan semua ini.”

AMAN mengusulkan Komnas Masyarakat Adat untuk menyelesaikan beragam masalah ini.

Dia berharap, AMAN ke depan tak kembali berkonfrontasi. Saat ini,  sudah bekerjasama dengan Komnas HAM, KLHK, Badan Restorasi Gambut (BRG), BPN, dan berbagai lembaga lain. Dengan beragam kesepakatan ini masyarakat adat lebih produktif dalam komunikasi dengan negara.

“Kami yakin Presiden Jokowi bisa melakukan itu karena sudah komitmen di Nawacita.”

Meskipun begitu, kata Abdon, di lapangan beragam dari penggusuran, dan kriminalisasi masyarakat adat masih terjadi. “Air mata dan darah masih terus mengalir sampai saat ini.”

Namun, Abdon yakin, Jokowi-JK bekerja keras menyelesaikan ini agar kedepan tak ada lagi air mata dan darah masyarakat adat.

Sementara Jaleswari Pramodharwardani, Deputi V Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan HAM Strategis, Kantor Staf Presiden, mengatakan, ada prioritas-prioritas Presiden Jokowi, salah satu menguatkan industri berbasis rakyat melalui penguatan industri kecil di sektor strategis, dengan memaksimalkan pemanfaatan potensi lokal.

“Ini dilakukan melalui perhutanan sosial, reforma agraria, pengangkatan skala usaha kelembagaan petani dan nelayan, pengembangan 10 destinasi wisata dan lain-lainm,” katanya.

Presiden, katanya,  menginginkan dalam reformasi agraria dan perhutanan sosial, tidak dikerdilkan sekadar persoalan bagi-bagi tanah. Presiden menginginkan, peningkatan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi baru berguna bagi masyarakat adat.

Konflik-konflik agraria yang masif di Indonesia, katanya,  harus diselesaikan bukan hanya patuh hukum, tetapi tak boleh ada lagi kriminalisasi masyarakat adat. Selain itu, semua pembagian dan penguasaan atau kepemilikan lahan, harus menciptakan ekonomi baru bagi masyarakat adat sekaligus harus meminimalisir kerusakan lingkungan hidup.

 

Abdon Nababan, Sekjen AM AN dalam Simposium Masyarakat Adat di Kongres AMAN V di Deli Serdang. Foto: Ayat S Karokaro

 

RUU Masyarakat Adat mendesak

Soal RUU masyarakat adat juga jadi bahasan dalam simposium ini. Kini, RUU ini masuk Prolegnas 2017. Versi terakhir draf RUU ini diperbaharui November 2016.

Rikardo Simarmata, tim penyusun draf RUU Masyarakat Adat mengatakan, dua minggu lalu ada dengar pendapat DPR soal RUU Masyarakat Adat dengan AMAN.

“Draf versi akhir RUU ini terakhir disebut RUU Masyarakat Adat, bukan lagi RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat,” katanya.

Tujuan UU ini, katanya, mewujudkan amanat konstitusi mensejahterakan rakyat Indonesia. “Jadi kalau UU ini ada, seluruh UU dan mengatur soal masyarakat adat, harus mengacu pada UU ini. Tak ada lagi namanya tumpang tindih dan ketidaksinergisan.”

Rikardo berharap, lewat Kongres ini bisa menghasilkan masukan-masukan untuk menyempurnakan draf RUU. Draf saat ini, sudah menegaskan putusan MK-35 bahwa masyarakat adat adalah subyek hukum.

“Implikasinya masyarakat adat harus diakui hak-hak terutama terhadap hak atas sumber daya alam.”

Menurut dia, draf RUU ini sudah mengakui hak-hak dasar masyarakat adat yang harus dilaksanakan Negara seperti hak SDA, pembangunan, kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, kebudayaan dan pengetahuan tradisional. “Hak-hak ini merupakan pengakuan masyarakat adat sebagai individu, juga sebagai kolektif.”

UU ini, menugaskan Negara memulihkan hak masyarakat adat yang masa lampau terabaikan.

Dalam draf ini juga ada ketentuan khusus meminta negara memulihkan hak-hak masyarakat adat dan melakukan pembinaan. Seluruh tugas-tugas ini, katanya, dipastikan dengan ada suatu kelembagaan khusus mengatur masyarakat adat.

Di tingkat nasional,  akan dibentuk Komisi Nasional Masyarakat Adat. Tingkat provinsi dan kabupaten/kota ada Panitia Masyarakat Adat.

“Ini bukan berarti mencurigai kementerian sektoral tak akan mampu menjalani UU. Ini untuk memastikan koordinasi dan tak terjadi ego sektoral.  Jadi harus dipastikan ada suatu kelembagaan berfungsi menjalankan UU ini, jadi tak hanya dokumen kosong.”

UU ini juga mengatur soal sanksi.  Sebelumnya,  di semua UU sektoral, kecuali UU Perkebunan yang baru, tak mengatur sanksi. “Nanti UU ini akan memidanakan siapapun termasuk juga pejabat yang melanggar ketentuan ini.”

Namun, kata Rikardo, masih ada beberpa hal yang menjadi ganjalan missal, ketika hutan adat ditetapkan, apakah terkena PNBP dan PBB atau tidak. “Juga apakah sanksi dalam hukum adat diakui sebagai subyek hukum publik yang boleh membuat aturan dan mengikat secara umum?”

“Jika investor tak boleh masuk tanpa izin. Apakah itu juga mengikat pemerintah atau tidak? Kemudian ini tanah adat ini merupakan aset negara atau tidak?”

Berbagai ganjalan itu, Rikardo menawarkan dua pilihan.  Pertama, intervensi satu persatu UU, baik PBB dan UU Perbendaharaan Negara untuk mengecualikan tanah-tanah dan hutan adat dari PBB. “Cara ini akan capek.”

Opsi kedua, bisa dibilang bakal efektif. UU ini,  harus punya pasal yang mendata seluruh pengecualian terhadap tanah dan hutan adat. UU ini, katanya, mengakui masyarakat adat sebagai komunitas otonom dan meminta negara untuk afirmatif action. “Itu salah satunya, masyarakat adat harus diberikan pengecualian-pengecualian. Jika tak dilakukan justru akan membebani masyarakat adat.”

Rukka Sambolinggi, Deputi II AMAN dalam dialog bersama media mengatakan, UU Masyarakat Adat penting dan mendesak. Ia akan jadi payung hukum membuat perubahan besar-besaran pada kondisi masyarakat adat.

AMAN,  katanya, membentuk tim khusus membahas RUU ini. Jadi, hasil kongres ini bisa menjadi masukan dalam RUU.

 

Sandra Moniaga, komisioner Komnas HAM di hutan kemenyan. Hutan adat ini sudah kembali ke pangkuan warga Pandumaan-Sipituhuta, setelah pemerintahan Jokowi mengeluarkan wilayah adat ini dari konsesi PT TPL. Foto: Ayat S Karokaro

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,