Kongres AMAN V: Menakar Pelaksanaan Nawacita Jokowi kepada Masyarakat Adat

 

Presiden Joko Widodo memiliki komitmen memberikan perlidungan kepada masyarakat adat yang tercantum dalam beberapa poin dalam Nawacita. Memasuki tahun ketiga pemerintahan ini, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menilai pemenuhan janji masih jauh dari harapan.

“Belum banyak capaian dari Nawacita terkait masyarakat adat. Lewat kongres ini kami akan memutuskan, sikap AMAN ke depan terhadap pemerintahan seperti apa? Kalau saat ini saya merasa Presiden Jokowi-JK tak cukup bekerja keras jalankan janji kepada masyarakat adat di Nawacita,” kata Abdon Nababan, Sekretariat Jenderal AMAN di Deli Serdang, Kamis (16/3/17).

Adapun, komitmen-komitmen Jokowi terkait masyarakat adat itu, seperti pengesahan RUU Masyarakat Adat, pembentukan satgas masyarakat adat, meninjau ulang berbagai peraturan sektoral, membentuk mekanisme nasional penyelesaian sengketa, melaksanakan MK-35 dan memulihkan korban-korban kriminalisasi.

Dia mengatakan, tenggat waktu Presiden menjalankan janji terhadap masyarakat adat saat kongres karena sikap organisasi ada dalam momen ini. “Jadi ini sangat penting memberikan penilaian, sekaligus sikap dan kesimpulan penilaian itu,” katanya.

Abdon menceritakan, awal mula persoalan masyarakat adat masuk dalam Nawacita. Pada 2014, Jokowi bertemu AMAN dan menjelaskan, hak-hak masyarakat adat itu hak konstitusional yang selama ini terabaikan negara. Jokowi juga menyatakan, terkait pengakuan hak masyarakat adat ini, akan diatur dengan UU. Jokowi berjanji akan mendorong kelahiran UU masyarakat adat.

Dalam memenuhi hak, katanya, pemerintah mestinya memulai dengan pengakuan terhadap masyarakat adat sebagai subyek hukum. Ia merupakan inti UU Masyarakat Adat usulan AMAN.

Jadi, katanya, hal paling penting dari UU ini adalah basis pengakuan wilayah masyarakat secara administrastif. Kemudian, sistem pemerintahan adat yang sempat hancur setelah keluar UU Desa Nomor 5/1979.

Kemudian yang penting dalam UU ini soal pemulihan hukum-hukum adat yang lemah oleh sistem hukum nasional berbasiskan pembuktian tertulis. Hukum masyarakat adat, katanya,  terbangun dari konvensi-konvensi adat.

“Inilah yang sebenarnya jadi komitmen Presiden lewat Nawacita yang menjadi panduan. Proses menuju pengesahan RUU Masyarakat Adat kita rasa sangat lambat.”

Awalnya, dia berharap, inisiatif RUU diambil alih pemerintah dari DPR dan tak terjadi. RUU, masuk prolegnas masih inisiatif DPR.

Belakangan, katanya,  pemerintah bilang sudah ada ada tim bentukan Presiden merespon RUU Masyarakat Adat. Abdon belum tahu siapa saja yang tergabung dalam tim itu.

“Apakah tim itu internal KSP (Kantor Staf Presiden-red) atau melibatkan kementerian dan lembaga lain? Ini belum jelas.” Saat ini, katanya, minimum pemerintah menyambut dengan membentuk satu tim khusus sesuai janji pembentukan Satgas Masyarakat Adat.  “Sebenarnya dari sisi pemerintah, merespon inisiatif DPR ini, segera bentuk Satgas Masyarakat Adat,” ucap Abdon.

Dia berharap, janji-janji yang terangkum dalam dokumen Nawacita bisa terealisasi.

Soal janji membentuk mekanisme nasional dalam penyelesaian sengketa dan menjalankan putusan MK-35, katanya, baru jalan penetapan hutan adat sekitar 13.000-an hektar. Dia mengibaratkan penetapan itu sebagai proses “pecah telur.”

“Karena 13.000 dari puluhan juta hektar ini masih jauh sekali. Bahkan Kementerian ATR lewat aturan sertifikasi hak komunal, hingga kini belum ada satupun sertifikat hak komunal keluar,” katanya.

Mengenai janji pemulihan korban-korban kriminalisasi dari masyarakat adat juga belum terlaksana.“Padahal kami sudah menyerahkan lebih 200 nama ke Presiden untuk diselesaikan baik lewat amnesti, grasi dan lain-lain.”

 

Lokasi proyek PLTA di Seko, yang kini berkonflik dengan masyarakat adat. Foto: Eko Rusdianto

 

Devi Anggraini, Ketua Perempuan Adat AMAN menilai, terkait janji Nawacita, yang terlihat baru penetapan hutan adat 13.000 hektar. Angka itu, katanya, tak cukup jika dibandingkan 70 juta hektar yang sudah terpetakan partisipatif.

“Agenda besar yang sebenarnya kita dorong seperti RUU Masyarakat Adat. Tadinya berharap pemerintah jadi inisiator, tak dilakukan. Kembali ke legislatif membawa inisiatif ini. Satgas juga tertunda hingga sekarang,” katanya.

Sebaliknya, program unggulan Jokowi dengan pembangunan infrastruktur justru banyak menyengsarakan masyarakat terutama perempuan adat.

“Menurut saya hampir tak ada beda dengan pemerintahan sebelumnya. Hanya lebih baik sedikit, tapi bukan berarti semua berubah.”

Dia menilai langsung kondisi masyarakat adat dari lapangan.  “Ini tak bisa hanya dilihat segi kebijakan di level nasional. Mari lihat di daerah bahkan sampai kampung. Gak ada berubah. Kehidupan mereka makin buruk,” ucap Devi.

Luthfi Andi Mutty, anggota DPR Fraksi Nasdem mengatakan, saat mengusulkan RUU masyarakat adat, seperti seorang diri berjalan di padang pasir.

“Tak ada yang membantu saya. Bahkan, sampai kini di DPR saya harus berjuang sendiri seperti berteriak lantang di padang pasir. Ini menunjukkan apa yang dijanjikan pemerintah seperti angin surge,” katanya.

Keberadaan masyarakat adat, katanya, secara konstitusional tak diragukan lagi. “Persoalan yang dihadapi bangsa ini soal konstitensi. Apakah yang tertuang dalam konstitusi itu operasioanal atau tidak?”

Menurut Luthfi, UU Masyarakat Adat sangat penting sebagai fondasi dari bangunan atau perekat tenun wawasan kebangsaan. “Jangan berbicara soal wawasan kebangsaan, kalau kita mengabaikan masyarakat adat.”

Dia membandingkan dengan Rusia. Negara itu sudah punya UU masyarakat adat. Bahkan sudah membentuk Komisi dengan tiga subkomisi soal masyarakat adat. “Di Indonesia, belum terjadi.”

Eva Bande, dari Gugus Tugas Reforma Agraria Sigi menilai, rakyat harus bergerak memanfaatkan momentum. Dia mengatakan, Jokowi menerjemahkan Nawacita dalam program kerja 2017 dengan menempatkan reforma agraria jadi salah satu prioritas nasional. Program ini, katanya, bisa jadi pintu masuk penegasan dan perlindungan hak-hak rakyat, termasuk masyarakat adat.

“Ada ruang cukup terbuka bagi kita, keseluruhan masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat adat dan lain-lain itu untuk mendapatkan hak. Ada ruang untuk itu. Proses ini harus jadi inisiatif rakyat.”

Dia bilang, kalau hanya menunggu pemerintah, bisa-bisa sampai pemerintahan Jokowi pun selesai tak ada hasil.

 

Enam prioritas utama perlindungan dan pemajuan hak masyarakat adat dalam Nawa Cita:

 
1. Meninjau ulang dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat. Khusus, berkaitan hak-hak atas sumber-sumber agraria, sebagaimana telah diamanatkan oleh TAP MPR RI No. IX/ MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana yang telah ditetapkan MK 35/2012.

 
2. Melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat yang kini sudah berada pada pembahasan tahap-tahap akhir berlanjut hingga ditetapkan sebagai Undang-undang, dengan memasukkan perubahan-perubahan isi sebagaimana yang diusulkan oleh DPR, AMAN, dan berbagai komponen masyarakat sipil lain.

3. Memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumber daya alam pada umumnya, seperti RUU Pertanahan, dan lain-lain, berjalan sesuai norma-norma pengakuan hak-hak masyarakat adat sebagaimana yang diamanatkan dalam MK 35/2012.

4. Mendorong suatu inisiatif berupa penyusunan (rancangan) Undang-undang terkait dengan penyelesaian konflik-konflik agraria yang muncul sebagai akibat dari pengingkaran berbagai peraturan perundang-undangan sektoral atas hak-hak masyarakat adat selama ini.

5. Membentuk Komisi Independen yang diberi mandat khusus Presiden untuk bekerja secara intens untuk mempersiapkan berbagai kebijakan dan kelembagaan
yang akan mengurus hal-hal yang berkaitan dengan urusan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat ke depan.

6. Memastikan penerapan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa berjalan, khususnya dalam hal mempersiapkan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/
kota dalam mengoperasionalisasi pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk dapat ditetapkan menjadi desa.
Sumber: Dokumen Nawa Cita Jokowi

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,