Mesin Matahari Ini Bisa Menambah Kaya Petani. Seperti Apa?

Menampung kelimpahan sinar matahari di garis khatulistiwa diyakini bisa mengurangi kerugian para petani. Petani makin sulit karena kehilangan hasil pasca panen cukup tinggi akibat cara pengeringan biasa yang tak efisien. Solusinya, alat pengering tenaga matahari.

Kopernik, sebuah usaha bidang pengembangan teknologi ramah lingkungan berkantor di Bali membuat riset untuk menelusuri kenapa kerugian pascapanen ini begitu besar. Perkiraannya hampir USD 3 juta per tahun dari hitungan 10 komoditas saja. Secara berurutan, kerugian terbesar akibat kurang efisien dalam proses pengeringan ini adalah beras, jagung, kopra, kopi, kakao, cengkeh, merica, vanilla, bawang putih, dan sorghum.

Kerugian dihitung sekitar 3-10% dengan nilai Rp85.000-Rp951.000 per tahun hanya dari kerugian akibat pengeringan dengan cara dijemur terbuka. Misalnya kerugian terbanyak dari petani bawang putih sekitar Rp951.000 dengan hasil panen 667 kg per tahun. Kerugian per kilogram sebesar Rp1.425. Kemudian merica, kerugian akibat salah cara pengeringan sekitar Rp708.000 dengan hasil 302 kg per tahun. Ini berharga, karena penghasilan petani kecil masih rendah.

 

 

Dengan mesin pengering tenaga matahari yang bisa dibuat dan digunakan kolektif atau kerjasama beberapa petani kecil, ada sejumlah kelebihan yang didapat. Pertama biaya investasi alat lebih murah karena untuk kebutuhan bersama. Kemudian pendapatan bertambah dari mencegah berkurangnya hasil panen saat proses pengeringan biasa. Panen terlindung dari debu, binatang, burung, dan lainnya jika dijemur secara terbuka. Kualitas panen bisa lebih baik dan harga lebih tinggi. Saat hujan terlindungi karena tertutup alat pengering.

Tim peneliti Kopernik ini menyimpulkan penggunaan cara pengeringan yang tepat akan “menambah kaya” petani-petani kecil di tengah rendahnya penghasilan pahlawan pangan ini. Penelitian dilakukan Februari-Agustus 2016 di 10 kabupaten berlokasi di 6 provinsi dengan wawancara mendalam 60 orang petani dan pemilik usaha pertanian.

Para peneliti mengumpulkan informasi, yang banyak digunakan saat ini ada 12 mesin pengering dari 10 pengembangnya terdiri dari 6 perusahaan, 2 kampus, 1 lembaga pemerintah, dan 1 komunitas non profit. Sumber energi yang digunakan di mesin-mesin ini sebagian matahari dan sebagian biomas, gas, listrik, bensin, dan solar. Harganya bervariasi dari Rp75 juta sampai Rp6,5 juta. Paling banyak digunakan untuk hasil panen jagung dan beras.

Para peneliti adalah anak muda dari berbagai latar belakang pendidikan yang bekerja dalam tim, yaitu Trista Bintoro, Tomo Hamakawa, Radityo Hutomo, Nadya Pryana, dan Prita Radiatiarini. Kopernik sebagai sebuah unit bisnis sosial ingin mengurangi kemiskinan dengan teknologi inovatif, selama 6 tahun menyebut sudah mendistribusikan 87 ribu unit seperti lampu tenaga matahari (solar lights), filter air dan lainnya di Indonesia.

Alat pengering tenaga matahari yang direkomendasikan Kopernik saat ini diaplikasikan di dua lokasi yakni kelompok petani kakao bahan baku coklat di Kabupaten Tabanan, Bali dan petani kopra di Adonara, Flores Timur, NTT.

 

Publikasi penelitian berjudul Unmeet Need Report dan komoditas pertanian unggulan Indonesia yang membutuhkan pengeringan. Tim Kopernik membuat teknologi inovatif pertanian untuk membantu proses pengeringan pasca panen bagi petani kecil. Foto: Luh De Suriyani

 

Mesin teknologi matahari ini bisa dibuat sederhana memastikan alat yang digunakan bisa memerangkap sinar.Mengeringkan hasil panen di dalamnya dengan lebih higienis, mengurangi kotoran debu dibanding dijemur biasa. Kriterianya cocok untuk 10 komoditas di atas jadi bisa untuk banyak jenis hasil panen, menggunakan energi terbarukan, penggunaan kolektif, dan cocok dengan kebutuhan petani kecil seperti biaya, dan sumberdaya yang diperlukan. Rekomendasinya adalah sebuah alat pengering kolektif yang bisa melayani 10 petani dengan harga rata-rata USD 1.000. Alternatif lain, alat ini bisa disewakan.

Agar petani kecil bisa mengakses teknologi ini, ada kebutuhan untuk mendorong skema pendanaan seperti kerjasama dengan lembaga keuangan atau dari dana desa, dan lainnya.Dari hasil wawancara, analisis data, dan lainnya, tim Kopernik menyimpulkan dalam 30 tahun terakhir investasi bidang pertanian sebesar 95% fokus di peningkatan hasil dan hanya 5% untuk mencegah hasil yang hilang di fase pascapanen.

Riset ini dilakukan karena masih ada 18 juta petani kecil yang hidup di bawah garis kemiskinan. Selain itu terdapat 30-50% hasil hilang saat panen, saat digaungkan program ketahanan pangan. “Tantangan pascapanen adalah pengeringan tak efisien, sangat tergantung matahari, dan kualitas turun,” papar Tomo Hamakawa.

Presentasi hasil riset ini sepenuhnya disampaikan dalam bahasa Inggris oleh para peneliti saat perayaan 7 tahun Kopernik di kantornya, Ubud pada 10 Maret lalu. Ada juga diskusi panel antara peneliti, Yayasan Dian Desa lembaga yang mendampingi petani di Muntigunung, Kabupaten Karangasem, Bali dan eksportir produk organik Big Tree Farms.

Tomo menambahkan petani juga kadang memilih tak mengeringkan padahal bisa menambah hasil karena kebiasaan umum, perlu uang cepat, dan kurnagnya konsumen yang mengakses produk dikeringkan. Dari sejumlah pemetaan, kebutuhannya adalah memperpendek kesenjangan antara kebutuhan dengan ketersediaan teknologi pengeringan.

“Perlu kolaborasi lintas sektor untuk inovasi ini. Perlu pemerintah, peneliti, dan sumberdaya lain,” ujar pria muda ini.Perubahan iklim juga mendorong petani lebih cepat menjual panen dengan harga rendah. Musim tak jelas dan hasil panen berkurang.

Radityo Hutomo, peneliti lainnya mengatakan teknologi yang direkomendasikan adalah alat pengering tenaga matahari yang bisa digunakan komunal, bersama. “Alat pengeringan yang dibuat tim Kopernik terinspirasi dari Dian Desa. Belum dipasarkan massal, kita bangun partner dulu,” katanya. Idealnya sebuah konsep Depot Desa, membangun sebuah pusat teknologi ramah lingkungan pascapanen dalam satu area misalnya untuk penggilingan padi, pengeringan gabah, dan lainnya.

 

Petani di Desa Kertabuana yang memanen padinya. Foto: Yustinus S.Hardjanto

 

Ferdinandus Hardi dari Dian Desa yang sudah bekerja 9 tahun di Muntigunung, area dengan banyak penduduk miskin, terpencil dan kering di Karangasem sudah mengaplikasikan mesin pengering tenaga matahari kombinasi kompor. Untuk menyiasati kondisi saat musim hujan dan produksi malam hari karena usaha yang dikembangkan makin maju seperti pengolahan kacang mete (cashew nuts) yang banyak dibudidayakan di daerah itu.

“Alatnya sangat mudah dibuat, bahan baku polycarbonate mudah perawatan dan awet. Misalnya dibuat 2008 sampai sekarang dipakai,” tuturnya. Konstruksi lantainya dari semen.

Misalnya untuk pengeringan kacang mete diperlukan waktu 2 hari dengan kapasitas 200 kg sekali masuk. Lalu rossela tea selama 3 hari pengeringan dengan kapasitas 100 kg. Palm sugar powder selama satu hari dengan kapasitas 200 kg dan buah kering sekitar 3 hari.

Sedangkan Luthfi Jamili dari Big Tree Farms memberikan perspektif pentingnya teknologi pengeringan ini di Indonesia karena permintaan produk terutama organik berkualitas meningkat. Perusahaan yang fokus di pengolahan ini mengaku kadang kesulitan bahan baku organik karena tingginya permintaan pasar. Misalnya untuk coklat batangan, bahan baku kakao organik masih diimpor dari Peru.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,