Hidup Badak Sumatera Dibayangi Ancaman, TNBBS Perkuat Tim Pengamanan

 

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan bentang alami tempat badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) hidup. Di taman nasional yang juga bagian Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (World Heritage) ini, kelestarian badak sumatera terus dibayangi ancaman. Mulai dari perburuan, kerusakan habitat akibat perambahan dan illegal logging, serta gangguan manusia akibat jalan yang membelah TNBBS.

Sejak 2002 hingga sekarang, memang sudah tidak ada lagi kasus kematian atau perburuan badak sumatera di TNBBS. Namun, kami tidak mau lengah. Ancaman itu tetap ada. “Mengantisipasi itu semua, mulai dari perburuan, perambahan, pembalakan liar, dan gangguan manusia, kami telah menambah 9 tim patroli lagi tahun ini. Total, ada 17 tim,” terang Kepala Balai Besar TNBBS Timbul Batubara kepada Mongabay Indonesia, Jumat (17/03/17).

Pada laman TNBBS dinyatakan badak sumatera di TNBBS mengalami perkembangan. Pada tahun 2011 ditemukan enam individu anak badak sumatera, pada tahun 2012 sekitar tiga atau empat individu anak, dan pada tahun 2013 sebanyak tujuh individu anak. Terkait informasi tersebut, Timbul tidak menampiknya. “Terakhir, survei 2015, perkiraan kami populasi badak sumatera di TNBBS sekitar 35 individu,” paparnya.

Jalan, gangguan manusia dan spesies invasif

Manager Program WWF Indonesia wilayah Sumbagsel Job Charles dilansir Lampost.co memaparkan, ada sembilan ruas jalan yang sudah mendapatkan izin dari Dinas Kehutanan. Tiga ruas jalan nasional dan enam jalan provinsi di kawasan TNBBS. Selain itu, terdapat 375 titik jalan tikus yang biasa menjadi perlintasan masyarakat di dalam kawasan TNBBS. Dari survei WWF selama 2013—2016 diketahui sebagian jalan itu membelah habitat badak sumatera.

Pusparini (2006), sebagaimana dikutip dari situs TNBBS menyebutkan, terjadi perubahan keberadaan badak sumatera di TNBBS dari ketinggian 200 – 300 m dpl di tahun 1999-2004, ke 300 – 400 meter di atas permukaan laut (m dpl) pada 2005. Adanya perubahan tersebut dimungkinkan karena respon perilaku badak sumatera terhadap tingginya tekanan antropogenis. “Tekanan antropogenis lebih dikarenakan kehadiran manusia di dalam kawasan.”

Menurut Pusparini dan Wibisono (2013) masih dikutip dari laman TNBBS, distribusi badak sumatera di TNBBS terkonsentrasi di bagian tengah kawasan dan terpencil menjadi tiga kelompok. Daerah Sukaraja, Way Ngaras, dan Kubu Perahu. Pusparini et al (2015) menambahkan, badak sumatera di TNBBS mendiami area 820 kilometer persegi. “Ditemui di area-area lebih sedikit sungai, dan sepertinya menghindari hutan lahan kering primer.”

Purwanto (2015) menambahkan, keberadaan gulma invasif, gulma asli yang disebut mantangan (Merremia peltata), telah mendorong badak lebih jauh ke dalam dan ke utara kawasan. Merajalelanya lahan terdegradasi di TNBBS telah mendorong pertumbuhan mantangan sebagai spesies invasif. “Bila dibiarkan akhirnya akan memusnahkan habitat badak.”

Terhadap ancaman yang ada seperti dampak keberadaan jalan, gangguan manusia, dan spesies invasif, Timbul tidak menampik. TNBBS telah menerapkan pendekatan Intensif Protection Zone yang difokuskan pada 100.000 hektare areal yang dianggap habitat penting badak sumatera. “Kami juga terus menyadarkan penduduk di sekitar kawasan untuk tidak mengganggu badak. Bila badak tidak terganggu, banyak manfaat yang bisa diperoleh,” kata Timbul.

 

Merusak hutan yang merupakan habitat satwa liar sama saja dengan menghancurkan kehidupan manusia di muka bumi. Foto: Rhett Butler

 

Taman nasional

Menyadur Anonim (2003), sejarah TNBBS dimulai pada 1935, saat pemerintah kolonial Belanda memberikan status suaka margasatwa untuk kawasan yang sebelumnya dikenal sebagai Sumatra Selatan 1. Pada 1 April 1979, di bawah Pemerintah Indonesia, status suaka margasatwa diubah menjadi cagar alam. Melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 736/MENTAN/X/1982 tertanggal 14 Oktober 1982, status suaka margasatwa diubah menjadi taman nasional.

Keberadaan taman nasional diperkuat dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 096/Kpts-II/1984 tertanggal 12 Mei 1984. Di bawah keputusan itu, nama Taman Nasional Sumatra Selatan 1 diubah menjadi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Lalu, Keputusan Menteri Kehutanan No. 71/Kpts-II/1990 tertanggal 15 Februari 1990 menetapkan Cagar Alam Laut Bukit Barisan Selatan, meliputi kawasan seluas 21.600 hektare dimasukkan dalam manajemen TNBBS.

Puwanto (2015) menyebutkan, TNBBS terletak di dua provinsi yang sebagian besar kawasannya termasuk dalam Provinsi Lampung (79,1%) dan sisanya di Provinsi Bengkulu (20,9%). Wilayah TNBBS tersebar di empat kabupaten, di mana bagian wilayah terbesar terletak di Kabupaten Pesisir Barat (58,55%), sementara kawasan yang lain berada di Kabupaten Kaur (20,84%), Lampung Barat (West Lampung, 16,52%), dan Tanggamus (4,08%).

 

Referensi tambahan:

  • Pusparini W, Sievert PR, Fuller TK, Randhir TO, Andayani N, (2015), Rhinos in the Parks: An Island-Wide Survey of the Last Wild Population of the Sumatran Rhinoceros. PLoS ONE 10(9):e0136643.doi:10.1371/journal.pone.0136643
  • Purwanto E, 2015. Strategy of anti-encroachment in the Tropical Rainforest Heritage of Sumatra: Towards new paradigms. Tropenbos International Indonesia programme and UNESCO-Jakarta.
  • Anonymous, 2003. Submission for Nomination of Tropical Rainforest Heritage of Sumatra by the Government of the Republic of Indonesia to be included in the World Heritage List. Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation Ministry of Forestry, January 2003.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,