Seorang dengan tato, di bagian pundak dan lengan sebelah kiri, membidikan senapan angin. Picu ditekan, peluru melesat. Tembakan itu kemudian membunuh dua ekor burung. Berdasarkan informasi, aksi tersebut berlangsung di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.
Pemilik akun facebook bernama Eghy Paddockx mengunggah foto itu, Jumat (17/3/2017). Di situ, dia menuliskan keterangan pada foto “Baku tembak jo” atau “Mari saling tembak”.
Tak lama kemudian, pengguna facebook ramai-ramai protes. Mereka menyesalkan tindakan tersebut. Sebab, selain kekayaan di sektor laut, Kepulauan Sangihe juga dikenal sebagai wilayah yang memiliki keragamaan jenis burung.
Pemilik akun bernama Fahrul Amama, dalam foto tersebut memberi komentar, burung yang dikenal dengan sebutan lokal bakiang itu punya kontribusi menumbuhkan banyak pohon. Sehingga, bisa membantu mencegah potensi bencana di wilayah tersebut.
“Kalau pohon sudah habis ditebang dan burung habis ditembaki, kemudian datang hujan lalu banjir dan longsor, kita mengeluh. ‘Oh Tuhan, kenapa kampung kami terkena bencana banjir dan longsor’,” demikian dituliskan Fahrul Amama pada kolom komentar.
Bakiang adalah sebutan untuk burung punai gading (Treron vernans). Sesuai catatan inaturalist.org, spesies ini tersebar di berbagai negara, semisal, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.
Bakiang juga dikenal dengan nama the pink-necked green pigeon atau punai leher merah muda. Habitat alaminya di hutan dataran rendah yang lembab, hutan bakau dan hutan pengunungan lembab, baik di daerah subtropis maupun tropis.
(baca : Seriwang Sangihe: Inilah Burung Endemik yang Pernah Lama Dianggap Punah)
Daftar merah IUCN (International Union for Conservation of Nature) mengkategorikan bakiang dalam status tingkat risiko rendah (least concern). Sebab, menurut catatan mereka, spesies ini memiliki sebaran yang sangat luas, karenanya tidak mendekati ambang batas rentan.
Kategori tersebut juga didasarkan faktor stabilnya kecenderungan populasi, serta belum diketahuinya ukuran populasi. “Tetapi, tidak diyakini mendekati ambang batas rentan dalam kriteria ukuran populasi. Karena alasan ini, spesies yang dievaluasi dikategorikan dalam tingkat risiko rendah,” demikian dituliskan dalam situs IUCN.
(baca : Indonesia Tertinggi dalam Kekayaan Jenis Burung Endemik, Lho..)
Pemerintah Indonesia juga belum memasukkan spesies ini dalam daftar dilindungi. Sebab, nama Treron vernans tidak terdapat dalam lampiran PP 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Hanom Bashari, peneliti burung yang lama melakukan riset di Sangihe, ketika dihubungi Mongabay mengaku menyesalkan kejadian itu.
Dia mengatakan, secara umum, Sangihe merupakan wilayah yang terdiri dari pulau-pulau kecil dengan jenis burung endemik tertinggi. Ada 8 jenis endemik, 4 diantaranya berstatus criticaly endangered (terancam punah).
“Ini pulau kecil dengan jenis kritis terbanyak di Indonesia,” ujar Hanom, Jumat (17/03/2017).
(baca : Udang-Merah Sangihe, Jenis Baru yang Kritis di Daftar Merah)
Menurut dia, ancaman terbesar bagi burung-burung di Sangihe adalah sedikitnya sisa hutan, serta adanya perubahan tutupan hutan. Sedangkan, perburuan burung, tidak begitu besar jumlahnya. Satu-dua kejadian penembakan burung masih tetap terjadi.
“Harus ada upaya penyadartahuan tentang pentingnya hutan dan alam di sana, yang dilakukan terus menerus. Tapi secara umum, menurut saya, pengetahuan dan kesadaran masyarakat di Sangihe sudah cukup baik untuk menjaga sisa hutan mereka.”
Mongabay Indonesia, melalui pesan di facebook, coba menghubungi pemilik akun bernama Eghy Paddockx untuk dimintai keterangan. Namun, hingga berita ini dituliskan, pemilik akun belum memberikan jawaban.
Perlu Aturan Penggunaan Senapan Angin
Pemerintah kabupaten diharap segera mengeluarkan peraturan mengenai penggunaan senapan angin, serta peraturan perlindungan satwa di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Agar permasalahan serupa tidak terulang atau bisa dimimalisir.
“Patokannya bukan pada status populasi, tetapi kontribusi satwa liar terhadap alam,” terang Stenly Pontolawokang, fotografer hidupan liar yang bermukim di Sangihe.
(baca : Para Pemerhati Satwa Serukan Pengawasan Senapan Angin. Kenapa?)
Karena melimpahnya sumber daya perikanan, masyarakat Sangihe diyakini tidak punya tradisi berburu burung untuk dikonsumsi. “(Untuk kebutuhan konsumsi) daerah ini kaya sumber daya ikan. Anda tinggal pilih saja. Proteinnya banyak pula.”
Menurut Stenly, penembakan burung tersebut hanyalah aksi gagah-gagahan belaka. Diperkirakan, burung yang jadi pelampiasan nafsu itu, akan dibuang setelah ditembak. “Itu hobi yang cuma buat keren-kerenan saja, tidak masuk akal. Gila. Kurang ajar,” keluhnya.
Dia menambahkan, sebenarnya, masyarakat lokal secara tradisional punya kedekatan dengan burung. Ini didasari dari penamaan lokal bagi nyaris tiap burung yang ditemui di sana. “Sehingga secara budaya, itu (menembak burung) merusak,” kata Stenly.
Senada, Hendrieks Rundengan, Kasubag Tata Usaha BKSDA Sulut, menilai perlunya aturan penggunaan senjata angin. Diharapkan, peraturan tersebut, bisa menekan perburuan satwa dengan menggunakan senjata angin.
“Minimal ada izin penggunaan senjata angin, sehingga pemanfaatannya juga jelas. Karena ini bisa digunakan bukan hanya pada satwa liar, tetapi juga manusia,” terangnya.
Dia berharap, masyarakat memiliki kesadaran tentang potensi satwa liar di daerah masing-masing. Upaya tersebut bisa dilakukan dengan membangkitkan kebanggaan putra daerah pada potensi alamnya, salah satunya lewat pembinaan kader konservasi pecinta alam.
“(Pelestarian satwa liar) sebenarnya bisa jadi potensi untuk meningkatkan pendapatan daerah melalui promosi wisata, khususnya bagi peminat birdwatching. Manfaatnya akan dirasakan berbagai sektor, mulai transportasi, akomodasi hingga konsumsi,” pungkas Hendrieks.
(baca : Kiprah Birdwatcher, Tak Hanya Mengamati Burung, Tapi Juga Konservasi. Seperti Apakah?)