Hampir setahun sudah, tepatnya 14 April 2016, Presiden Joko Widodo, mengumumkan bakal ada kebijakan moratorium sawit dan batubara. Kala itu, sambutan positif datang dari berbagai kalangan menyikapi niatan dalam tataran perbaikan tata kelola hutan dan lahan ini.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bergerak bikin evaluasi semua perizinan sampai bikin draf. Soal moratorium batubara, diundur dulu, fokus sawit.
Hari berganti bulan, bahkan sudah berganti tahun, kebijakan yang kabarnya berupa Instruksi Presiden itupun tak kunjung datang. Pertemuan lintas kementerian tahun lalu kerab berlangsung. Apa kabar moratorium sawit?
”Pemerintah mau membangun fiksi atau serius untuk menghentikan kejahatan lingkungan oleh korporasi?” kata Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Kajian Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi Nasional, kepada Mongabay.
Bagaimanapun, katanya, moratorium sawit ini menjadi komitmen Jokowi yang terus dinanti. Pemerintah, katanya, jangan hanya bikin wacana hingga membuat publik menanti janji.
”Kami harap berbentuk Inpres ini akan lebih kuat kalau ada penegakan hukum,” katanya, baik bagi level pemerintah pusat maupun daerah.
Proses pembuatan moratorium yang lama ini, kata Zenzi, hendaknya mampu memberi indikator jelas terhadap perbaikan fungsi dan daya dukung lingkungan.
”Tak hanya sebatas mengevaluasi perizinan. Penegakan hukum jadi bagian dalam moratorium.”
Teguh Surya, Direktur Yayasan Madani mengatakan, tarik-menarik terjadi dalam tubuh kabinet kerja Presiden Jokowi. Dimana, banyak politisi dan pejabat di rantai pasok industri sawit.
”Jelas, rancangan kebijakan ini pun menghambat rencana ekspansi untuk memenuhi target produksi di angka 40 juta ton pada 2020.”
Dalam pembuatan kebijakan, katanya, pemerintah tak melakukan konsultasi publik. Para pegiat lingkungan, seperi Walhi, Yayasan Madani, Greenpeace Indonesia dan lain-lain tak mendapatkan kesempatan menyuarakan langsung.
”Kita tak pernah mendapatkan undangan untuk bahas moratorium sawit. Jelas tak libatkan masyarakat sipil,” katanya.
Prabianto Mukti Wibowo, Asisten Deputi Tata Kelola Kehutanan, Kementerian Koordinator Perekonomian, mengatakan, sudah sebulan lalu finalisasi. ”Sudah ada di meja Presiden, sejak bulan lalu (Februari, red),” katanya di Jakarta. Dia belum tahu kapan aturan terbit.
Pembahasan aturan ini terbilang alot diduga tarik menarik antara kepentingan perlindungan lingkungan (hutan) dan ekonomi.
”Apapun yang diputuskan tak akan bisa memuaskan kepentingan maksimum ekonomi dan konservasi, selalu ada tradeoff antara keduanya,” kata Herry Purnomo, Guru Besar IPB kepada Mongabay.
Dia bilang, cari titik temu dari kedua kepentingan itu tidaklah mudah. Lintas kementerian saja, dari KLHK, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan, bisa punya pandangan lain.
”Kementerian Perekonomian ini harusnya bisa menjembatani lintas kepentingan dan Presiden berani memutuskan atas nama kepentingan masyarakat banyak,” katanya.
Tarik menarik kepentingan ini, katanya, tak wajar, kala dilandasi keserakahan dan melawan hukum dan aturan berlaku.
”Solusinya hanya pada tata ruang.”
Herry bilang, sebenarnya, ada banyak celah mensinergikan kepentingan konservasi dan ekonomi, dengan mengembangkan pendekatan bentang alam atau landscape approach.
Industri sawit, perlu menyadari hutan dan konservasi penting. Tanpa hutan, sawit akan hancur. Pasokan air terganggu, hama dan penyakit meledak, perubahan iklim akan makin terasa. Begitu juga pertanian jadi penting untuk pertumbuhan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat tanpa merusak lahan.
”Sawit seharusnya dikembangkan pada lahan bukan hutan atau lahan pertanian dan budidaya.”
Untuk itu, hanya keberanian Presiden dalam mengambil keputusan agar ada langkah maju. ”Ini kan sudah lama didiskusikan.”