Pusat Riset Primata Universitas Nasional (Unas) bersama Fakultas Biologi Universitas Nasional memperlihatkan hasil penelitian terhadap kawasan yang menjadi habitat orangutan di kawasan Mawas, Kapuas, Kalimantan Tengah khususnya di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan. Penelitian ini dilakukan bersama beberapa universitas dalam dan luar negeri serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal. Area yang diteliti merupakan areal gambut dan bekas hak pengusahaan hutan (HPH) perusahaan.
Penelitian tersebut telah berjalan 14 tahun dan masih berjalan hingga saat ini. ”Selama ini, hampir semua penelitian orangutan dilakukan di hutan primer. Pada hutan terdegradasi perlu dilakukan juga untuk mengetahui bagaimana orangutan bertahan hidup. Informasi mengenai ekologi orangutan, perilaku, genetik, penyakit, sebaran geografi, dan perkiraan populasi masih sangat diperlukan untuk menunjang manajemen konservasi,” ujar Sri Suci Utami Atmoko, Kepala Pusat Riset Primata Unas saat Seminar bertajuk Orangutan Tuanan Sebelum dan Sesudah Kebakaran: Riset dan Konservasi Orangutan di Kalimantan Tengah, Jumat, (17/03/17).
Dari hasil penelitian Maria van Noordwijk, Anthropological Institute & Museum, Zurich University; dan tiga mahasiswa pascasarjana Universitas Nasional Fajar Saputra, Misdi, dan Marlia F Hayoto memperlihatkan hasil yang cukup menarik terhadap kondisi orangutan tersebut.
Baca: Naik Status, Perlindungan Orangutan Kalimantan dan Habitatnya Harus Serius
Berdasarkan hasil penelitian data 10 tahun produksi buah di Tuanan, 2015 merupakan tahun terburuk kebakaran hutan, penuh asap dan mempengaruhi produksi buah jangka panjang. Hasil observasi dan analisa awal data fenologi 2015 – 2016 memperlihatkan penurunan produksi buah yang tajam sepanjang tahun.
Di Tuanan, di lingkungan yang terbakar, terlihat orangutan beradaptasi dengan makanan yang bukan makanan utamanya (umumnya daun dan kambium kayu). Dari pengamatan relasi sosial, mereka menjadi kurang aktif dan kurang toleransi antar-orangutan. Kerusakan habitat di sekitar, mengakibatkan orangutan yang datang ke studi area, menambah tekanan populasi lokal. ”Terutama mengancam hubungan betina resident,” papar Maria van Noordwijk.
Dia juga melihat orangutan betina jarang bersama jantan. Kalau pun ada jantan yang mendekat, betina akan melihat apakah bisa membantunya atau tidak. Perhatian orangutan betina pada anaknya juga berbeda. “Perhatian pada bayinya memang besar, akan tetapi betina terlihat sering marah pada anak yang lebih tua. Tidak mau dekat-dekat,” ujarnya lagi.
Misdi menjelaskan pengamatannya terkait pepohonan yang dipergunakan orangutan sebagai sarang atau tempat bergelantungan. Kebarakan hutan tentu menghilangkan pepohonan yang menjadi tempat tinggal mereka. “Tentu saja, setelah kebakaran ada pohon favorit pilihan orangutan seperti bangkirai, tagula daun besar, dan meranti daun kecil. Tagula mempunyai tekstur percabangan yang bagus untuk membuat sarang.”
Pakan
Terbakarnya pohon-pohon yang menghasilkan pakan, membuat orangutan harus mencari pakan alternatif. Marlia mengamati lima orangutan jantan berpipi dan orangutan betina dengan anak. Orang jantan berpipi dipilih karena mempunyai porsi makan yang lebih banyak dan butuh energi lebih besar dari pada orangutan jantan biasa.
Dari hasil pengamatannya, terlihat orangutan betina dan jantan berpipi mempunyai pola makan berbeda. Dia membandingkan penelitian sebelumnya yang dilakukan pada 2005 oleh peneliti lain. “Orangutan tak hanya makan buah atau daun, tetapi juga serangga untuk memenuhi kebutuhan protein dan karbohidratnya.”
Stasiun penelitian Tuanan ini, kata Marlia, merupakan area bekas proyek pengembangan lahan gambut sejuta hektare yang terlantar. Fluktuasi ketersediaan pakan berupa buah, daun, dan bunga, dilihat pasca-kebakaraan September 2014 – Juni 2015. Terlihat, antara orangutan jantan berpipi dan betina mempunyai pola waktu yang berbeda saat mengkonsumsi pakan.
“Mereka juga memakan serangga seperti rayat, semut, dan ulat. Tetapi, rayap yang paling tinggi. Rayap sebagai pelengkap memiliki kandungan protein yang tinggi,” ujar Marlia. Dia juga memperlihatkan video cara orangutan betina memakan serangga dari batang-batang kayu. “Ada beberapa cara mereka mencari serangga ini, cara yang juga diajarkan pada bayi orangutan mencari serangga.”
Sementara Fajar Saputra membeberkan penelitian terhadap jelajah orangutan untuk mencari makan dan beraktivitas. Menurutnya, orangutan akan memperlebar daerah jelajahnya pada saat-saat tertentu ketika makanan berkurang.
Dari penelitiannya, sebelum kebakaran, Fajar melihat kawasan hutan gambut yang terdegradasi atau terganggu tetap akan menyediakan pakan meskipun jumlahnya terbatas dan berbeda, pada tiap lokasi. “Hutan bisa memperbiki kondisinya sendiri, asalkan kita menjaga dari aktivitas yang merusak.”
Yang menarik, kata dia, orangutan akan membantu memulihkan kembali hutan yang terganggu dengan cepat melalui penyebaran biji dari buah yg mereka makan. Sedangkan untuk konservasi orangutan, satwa ini akan merespon kondisi hutan yang terganggu, asalkan bukan gangguan tingkat tinggi. “Mereka memiliki strategi tersendiri untuk beradaptasi dengan kondisi tersebut.”
Untuk kondisi pasca-kebakaran, seperti risetnya, Fajar meneliti kondisi 10 tahun pasca-kebakaran dari terbentuknya stasiun penelitian orangutan Tuanan. Saat pertama kali terbentuk, kawasan tersebut dalam kondisi rusak dan kawasan tersebut dijaga. Hutan kembali lebat dalam jangka 10 tahun, dan orang utan yang mempercepat pemulihan kawasan tersebut.
“Orangutan dapat melakukan hal itu, kata dia, karena mereka memiliki strategi penjelajahan.”
Kebakaran yang terjadi 2015, tentu akan berdampak terhadap kawasan Tuanan dan sekitar. Ini merupakan ganguan tingkat tinggi karena secara langsung menyebabkan hilangnya kurang lebih 100 hektare kawasan hutan.
Asap yang menyelimuti selama berbulan-bulan, kata dia berdampak pada rusaknya pola produktivitas tumbuhan untuk berbuah. Efek domino dari hal ini adalah terjadi perubahan perilaku orangutan.
“Asap menyebabkan terganggunya produktivitas buah, yang tentunya meningkatkan kompetisi di antara orangutan. Sehingga, perilaku mereka pun akan berubah, dikarenakan lingkungan yang berubah juga,” tuturnya.
Sebagai informasi, di Indonesia, kita hanya mengenal dua jenis orangutan yaitu orangutan sumatera (Pongo abelii) dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus). Orangutan kalimantan yang jumlahnya diperkirakan sekitar 54 ribu individu ini dikelompokkan menjadi tiga anak jenis. Pertama, Pongo pygmaeus pygmaeus yang berada di utara Sungai Kapuas (Kalimantan Barat) hingga ke timur laut Sarawak (Malaysia); kedua, Pongo pygmaeus morio yang hidup di Sabah (Malaysia) hingga ke selatan Sungai Mahakam, Kalimantan Timur; ketiga, Pongo pygmaeus wurmbii yang terlihat mulai dari bagian selatan Sungai Kapuas (Kalimantan Barat) hingga timur Sungai Barito (Kalimantan Tengah).