Penanganan Dugong Terdampar: Diteliti Dulu atau Langsung Dikubur/Ditenggelamkan?

Duyung divisualisasikan oleh industri film sebagai putri cantik berambut panjang dengan ekornya. Di sejumlah pantai di Bali, makin banyak anak-anak mandi dengan pakaian a la kartun Mermaid ini. Walau terlihat sulit bergerak karena kaki terbungkus baju putri duyung.

Bagaimana mendekatkan kecintaan pada satwa terancam punah ini dalam konteks nyata?  Agar ia terus bisa beranak pinak dan dilihat oleh anak-anak yang menggemarinya saat ini? Siasatnya, dengan mengenal lebih dekat, mempelajari habitat serta ekosistemnya.

Seekor Dugong (Dugong dugon) satu-satunya jenis yang ditemukan di Indonesia ditemukan dalam kondisi lemas lalu mati di pesisir utara Bali, tepatnya Desa Gerokgak, Kabupaten Buleleng pada 20 Maret lalu. Diperkirakan panjangnya 2,5 meter, lebar 75 cm, dan beratnya sekitar 250 kg.

Koordinasi BPSPL Denpasar dan Dinas Perikanan serta para pihak di lapangan memutuskan Dugong yang belum sempat dikenal lebih dekat ini ditenggelamkan. Menggunakan perahu nelayan setempat, duyung ini ditarik lalu ditenggelamkan pada sore hari.

 

 

“Warga di sini ada yang menyebut paus babi. Tumben melihat Dugong. Ada yang mau ambil giginya, saya bilang jangan dikasi, jangan diapa-apakan. Petunjuk dari BPSPL dikubur atau ditenggalamkan,” urai Ketut Widiada, Kepala UPTD Pasar Benih Ikan (PBI) Sanggalangit, Dinas Perikanan Kabupaten Buleleng.

Menurutnya, nelayan melihat Dugong terombang ambing, lalu mati terdampar. Tidak ada tanda luka, hanya lecet kecil diperkirakan terbanting ombak. Dugong kecil ini ditemukan di depan Pura Segara. Di sekitarnya, kata Widiada ada tambak udang.

Ada apa di balik kematiannya? Megafauna langka dan dilindungi makin banyak ditemukan mati terdampar.

Dugong biasanya memiliki panjang tubuh 2,5-3,3meter dan berat antara 250-600kg. Reproduksi lambat, yaitu setiap 14 bulan. Dugong betina akan terus bersama anaknya selama menyusui sekitar 18 bulan.

Makanannya rumput laut (seaweed) dan umur maksimum hidup di alam liar 70 tahun. Dugong kerap dikira pesut/lumba-lumba Irrawaddy atau lumba-lumba tanpa sirip(finless porpoise).

Dwi Suprapti, Marine Species Conservation Coordinator WWF Indonesia tak melihat secara langsung namun menganalisis dari data-data yang didapatnya terutama perilaku sebelum kematian. “Dilihat dari perilaku ante mortemnya menunjukkan Dugong berenang dalam kondisi yang tidak normal, tak sehat dengan beberapa gejala diantaranya lemah, mengapung dipermukaan dalam waktu lama, bernafas lebih cepat, tidak memiliki kemampuan menyelam dan terlihat adanya akumulasi gas pada bagian abdomen,” paparnya. Abdomen adalah bagian dari tubuh yang berada di antara dada dan pelvis di hewan mamalia.

 

Dugong di perairan Sulawesi Utara. Foto : Toar Pantouw

 

Ia memperkirakanDugong mengalami Bloat atau tympani atau biasa disebut kembung perut.

Bloat atau tympani merupakan penyakit alat pencernaan yang disertai penimbunan gas dalam lambung akibat proses fermentasi berjalan cepat.Bloat bisa disebabkan oleh beberapa faktor, faktor umum adalah mengonsumsi makanan yang mudah menghasilkan gas. Bisa juga karena faktor keracunan baik kimiawi maupun mikrobial.

“Guna mendukung diagnosis maka seharusnya dilakukan nekropsi secepat mungkin pasca kematian (post mortem) untuk mengetahui penyebab terjadinya bloat atau penyebab kematiannya,” tambah Dwi.

Namun bangkai Dugong sudah ditenggelamkan sebelum diteliti dokter hewan, maka sarannya peneguhan diagnosa yang bisa dilakukan saat ini dengan investigasi kondisi habitat lamun yang menjadi lokasi pakan Dugong dan kualitas airnya. “Apakah ada indikasi pencemaran kimiawi, alga atau mikrobial lainnya,” papar perempuan yang mengampanyekan program perlindungan Dugong and Seagrass ini.

Jika ditemukan indikasi pencemaran, menurutnya harus ada program aksi terkait dengan penanganan cemaran diwilayah tersebut atau aktifitas masyarakat yg tidak ramah lingkungan.

Undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyebutkan “Barang siapa menangkap, mengambil dan memanfaatkan satwa dilindungi (termasuk Dugong, Paus dan Lumba-lumba) secara sengaja akan dikenakan pidana maksimal 5 tahun atau denda paling banyak Rp100 juta.”

Rencana Aksi Nasional Dugong and Seagrass Conservation Project salah satunya adalah mencegah perburuan dan pemanfaatan daging serta bagian tubuhnya. Ada banyak mitos terkait penggunaan bagian tubuh Dugong ini. “Pernah di Sulawesi anaknya diambil, lalu dipukul untuk dapat air mata. Padahal mengeluarkan garam dikira keluar air mata,” cerita Dwi.

Dugong terdampar terjadi beberapa kali di Bali, misalnya di Teluk Benoa. Saat peristiwa ini, seorang dokter hewan dikabarkan terluka karena melompat dari jalan tol ke laut dangkal lokasi Dugong. Ia ingin buru-buru menyelamatkan sementara yang paling cepat diakses dari jalan tol di atas perairan ini.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,