Alex Waisimon, Penjaga Hutan dari Lembah Grime

 

“Ada orang bilang kalau saya sudah gila di Jawa, lalu pulang dan tinggal di kampung,” kata Alex Waisimon mengenang saat-saat awal pulang ke kampung halaman. Pulang kampung sama sekali tak pernah ada dalam rencana,  30 tahun Alex meninggalkan Papua, terakhir menetap di Bali.

Semua berubah ketika tantenya, yang menjaga kala sekolah dulu, berpesan untuk pulang. “Ko pulang.” Dia teringat pesan serupa dari sang ayah, saat meninggalkan Papua. “Ko boleh pergi tapi nanti ko harus pulang lagi.”

Akhirnya pada 2015, Alex pulang, istri dan empat anak menetap di Bali.

Alex lahir di Kampung Yenggu Akwa 19 September 1961. Kini kampung ini masuk wilayah administrasi Distrik Nimbokrang,  Kabupaten Jayapura, Papua. Semasa dia kecil, sekolah di kampung susah. Orangtuanya mengirim ke Sekolah Rakyat di Padang Bulan Abepura (Sekarang SD YPK).

Tamat SD Padang Bulan umur 19 tahun, Alex masuk SMP YPK Genyem, lalu melanjutkan ke STM Dok V Jayapura. Alex sempat kuliah di jurusan ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana, namun tak selesai.

Selama 30 tahun meninggalkan Lembah Grime, Alex menjalani segala macam pekerjaan dari mencuci baju, bangunan, pemetik apel, tour guide hingga mengembangkan information center untuk wisatawan.

Alex pernah juga bergabung denga Red Cross Asia Pasific dan International Labour Organization (ILO) yang mengantar dia keliling dunia. Fiji, Vanuatu, Australia, India, Tiongkok, Thailand, Birma, Laos, Prancis, Belanda hingga Amerika Latin sudah pernah dia kunjungi. Perjalanan keliling dunia itu justrus membuat dia makin mencintai Papua.

Di Nimbokrang, Suku Waisimon memiliki 15.000 hektar lahan. Saat Alex kembali, keluarga sedang giat penebangan kayu untuk dijual. “Itu menjadi fenomena umum di Papua.” Tak hanya nebang kayu, perburuan juga marak, termasuk cenderawasih.

Puluhan tahun berkecimpung di dunia pariwisata membuat dia mudah berpikir tentang apa yang bisa dilakukan bersama masyarakat untuk mendapatkan uang dengan tetap menjaga tanah dan hutan.

“Pariwisata sebenarnya buat orang Papua itu tanpa modal. Modal pertama hutan itu. Tinggal kita mengolah sesuai kemampuan dan talenta.”

Tiga bulan pertama kembali ke kampung, Alex menumpang tinggal bersama kakaknya.

Tiap pagi sekitar pukul 04.00, Alex masuk hutan hanya berbekal air minum. Lama menikmati hidup di luar dengan segala kenyaman tak membuat Alex lupa makanan hutan yang dulu diajarkan orang tua. “Di hutan saya potong nipa hutan untuk saya makan. Orangtua sudah ajarkan kita. Ketika kita lapar, itulah yang jadi makanan.”

 

Penginapan di Isio Hill. Foto: Asrida Elisabeth

 

Menggagas Isio Hill’s Bird Watching

Hutan di Nimbokrang memiliki keragamanhayati kaya termasuk burung. Sayangnya, penebangan kayu membuat hutan tak lagi jadi habitat bagi burung dan binatang. Alex pun berupaya mengembalikan kondisi hutan, mulai dari hutan milik sukunya. Penebangan kayu dihentikan, begitupula perburuan binatang. “Tak gampang menghentikan keluarga sendiri. Masih lebih mudah menghentikan orang lain”.

Alex juga mempelajari burung dengan segala tingkah laku. Buku yang jadi panduan Alex adalah Birds of New Guinea yang ditulis Bruce M. Beehler, Thane K. Pratt, dan  Dale A. Zimmerman. Dari situ Alex membuat spot-spot yang jadi tempat mengamati burung.

Sisa-sisa kayu bekas tebangan dibawa keluar. Dia mulai membuat pondok di lahan yang sekarang disebut camp Isio Hill’s bird Watching. Berbekal pengetahuan tentang pariwisata, sisa-sisa kayu bekas tebangan juga jadi meja dan tempat duduk unik tamu.

Bulan kedelapanBird Watching. Tamu-tamu manca negara mulai berdatangan. Keluarga masih tebang hutan. Baru 1,5 tahun, keluarga benar-benar setop tebang hutan.

Dari kerja keras ini, hutan di tempat ini pelan-pelan berubah. Binatang-binatang kembali menjadikan rumah mereka hidup dan berkembang biak. Makin banyak cenderawasih, kasuari, babi hutan, ayam hutan, rusa, tikus tanah dan berbagai satwa lain di sini.

Suara-suara mereka terdengar dan jejak  banyak ditemukan saat berjalan di dalam hutan. Saat mengamati burung, misal, kita bisa mendengar babi hutan, terasa begitu dekat.

Kini wisata bird watching terus berkembang. Jadwal rutin kunjungan bird club dunia tiap Mei hingga Oktober. Camp juga terus berbenah. Saat ini,  sudah ada tempat menginap buat tamu berkunjung dilengkapi toilet dan kamar mandi.

Alex mempersiapkan pemandu lokal. Jika sedang tak ada tamu, dia akan berkeliling hutan mempelajari burung bersama para pemandu. “Bahasa Inggris paling sulit. Kalau Pak Alex tak ada yah, kita pandu saja, kasi tunjuk spot-spot untuk lihat  burung,” kata Marthen Bay, salah satu pemandu lokal di Isio Hill’s Bird Watching.

Mimpi Alex belum usai.  Sekitar satu km dari kamp dia berencana membuat sekolah alam. Ada lima Hektar lahan untuk membangun sekolah alam. Peletakan batu pertama pada 25 Oktober 2015. Sekolah ini pelan-pelan dibangun menyesuaikan kondisi keuangan. Sudah ada ruang belajar. Dalam perencanaan, 2018 sekolah alam akan mulai.

“Sekolah alam bukan hanya untuk orang di kampung Rhepang Muaif. Semua orang terutama orang Papua boleh datang. Ketika dia pulang, dia bisa memahami apa yang bisa dilakukan.”

Dia berharap, masyarakat bisa belajar alam dan kekayaannya, juga bahasa dan budaya. Tim untuk mengelola sekolah ini sudah terbentuk bersama masyarakat. Ada apotik hidup dan pertanian juga.

 

Alex Waisiomon, pulang kampung setelah 30 tahun meninggalkan Papua. Kini, bersama masyarakat dia merawat hutan adat mereka untuk ekowisata. Foto: Asrida Elisabeth

 

Ajak masyarakat jaga hutan

Ketika bird watching mulai berjalan, Alex berpikir dan merasa terpanggil untuk menyelamatkan hutan bukan hanya milik sukunya. “Saya merasa terpanggil selamatkan hutan di Grime.”

Dia khawatir sudah ada sawit masuk juga banyak sawmill, dan banyak penebangan liar. “Akhirnya saya berpikir kenapa hanya bikin kecil ini. Saya harus bikin yang besar untuk selamatkan semua.”

Alex mulai berbicara dengan suku-suku lian tentang niat ini. Awalnya sulit. Pro dan kontra terjadi di tengah masyarakat. Tak jarang orang menaru curiga. Dia terus beri penjelasan.

“Ketika ko tebang kayu, ko hanya dapat kulit dan tulang, daging bukan ko yang makan. Kalian sedang bertengkar untuk merebut tulang dan kulit. Cemburu dan berkelahi dengan saudara, dengan adik dan kakak. Daging siapa yang makan? Katanya kamu tuan tanah.” Begitu kalimat yang selalu dikatakan Alex menggugah kesadaran masyarakat.

Baginya berbicara saja tak cukup. Dia memberikan contoh dengan ekowisata di Isio Hill. Makin banyak tamu berkunjung membuat dia lebih mudah meyakinkan masyarakat. Hingga masyarakat dari 10 suku di 11 kampung bersepakat menyerahkan lahan seluas 98.000 hektar untuk jadi hutan lindung dan ekowisata.

Sepuluh suku itu termasuk sukunya yakni, Bay, Wouw Remobu, Wiu Awiyano, Waisimon Akrwa, Waipon Singgriway, Wandi Denaigreng, Kekri, Tecuari, Kasmando dan Bernipu.

 

Buah-buah hutan yang jadi pangan satwa. Foto: Asrida Elisabeth

 

Alex sadar, kesepakatan menyerahkan lahan saja tak cukup. Bersama masyarakat dia ingin pemerintah memberikan perlindungan hukum atas niat masyarakat ini hingga ke depan tak ada izin penebangan dan perusahaan sawit masuk.

Di dalam wilayah seluas 98.000 hektar ini tersimpan kekayaan alam sangat banyak. Ada belasan danau, air terjun, aliran sungai, juga berbagai jenis hewan  dan tumbuhan khas wilayah pasifik ada di tempat ini.

Ada dua kelompok sedang menyiapkan diri mengelola ekowisata dengan mandiri.  Kelompok Tabo (pegunungan) khusus mengelola potensi ekowisata di bagian pegunungan dan kelompok ketu (dataran rendah) akan mengelola potensi wisata lembah dan pesisir pantai.

 

Tantangan

Meskipun sudah sepakat, bukan berarti tak ada tantangan menjalankan niat baik ini. Alet bilang, banyak tantangan antara lain, pertama, belum ada kekuatan hukum memastikan pemerintah tak akan menyerahkan hutan untuk peruntukan lain.

Bersama World Wide Fund (WWF) Alex dan masyarakat akan mengusahakan status hutan ini menjadi cagar alam atau suaka marga satwa. Proses terus berjalan. Kedua, dari internal masyarakat. Tak sedikit juga yang tak tergiur uang kala tawaran perusahaan pengolah kayu dan perusahaan sawit datang.

“Kamu yang akan kasih kita makan kah?” Alex menirukan warga kala diminta tak menebang kayu dan jual tanah.

Semua tantangan itu sudah diperhitungkan. “Pepatah mengatakan kalau engkau mau mendapat ikan besar, kau harus ke tengah laut. Ketika kau ke tengah laut, pasti kau hadapi gelombang, angin, dan badai. Ingat, ketika kau pulang, pasti bawa ikan besar. Kalau ko mau aman saja, ko pancing dari pesisir pantai saja. Maka ko akan dapat ikan kecil untuk cukup ko makan,” ucap Alex.

 

Spot bird watching. Foto: Asrida Elisabeth

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,