Pemerintah Sigi Komitmen Jalankan Reforma Agraria, Seperti Apa?

 

Pemerintah Sigi berkomitmen menjalankan kebijakan reforma agraria sebagai isu strategis di daerah itu. Peta jalan dan rencana aksi pun dibuat. Demikian disampaikan Bupati Sigi Irwan Lapata kala sarasehan Kongres Masyarakat Adat di Sumatera Utara, pekan lalu.

Kabupaten Sigi terdiri 15 kecamatan dan 176 desa, 75,97% wilayah merupakan kawasan hutan. Di dalamnya ada hutan adat, hutan masyarakat dan lain-lain termasuk hutan konservasi. Sekitar 24,9% merupakan kawasan budidaya seperti pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan usaha kecil menengah.

Irwan mengatakan, persoalan besar masyarakat Sigi wilayah kelola masyarakat sangat kecil sedang laju pertumbuhan penduduk terus meningkat. Jika tak segera diatasi, angka kemiskinan akan naik.

Dia berharap, kawasan konservasi bisa untuk kepentingan bersama. Selama ini, katanya,  klaim negara terlalu kuat dalam kawasan konservasi hingga sangat menyulitkan masyarakat sekitar. “Misal, ketika akan membangun mikrohidro untuk areal-areal terpencil dan terisolir karena ada klaim negara dan masuk kawasan konservasi, kami tak bisa melakukan apapun,” katanya.

Selain itu, banyak masyarakat tinggal sekitar kawasan huatn menanam pohon untuk kehidupan sehari-hari seperti cokelat. Masyarakat sudah menanam bertahun-tahun, tetapi tak bisa menikmati karena masuk kawasan konservasi. Masyarakat yang tak mengerti soal hukum, justru dibuat ketakutan dengan ancaman pidana.

“Tak ada keadilan bagi mereka. Mereka menanam cokelat selama tujuh sampai delapan tahun, tapi tak bisa diambil. Tak ada yang peduli. Lalu dimana peran negara? Ini semua yang menjadi persoalan kita. Saya ingin reforma agraria menjadi jawaban atas permasalahan itu.”

Pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sigi ini mengatakan, saat maju menjadi calon bupati, dia sudah banyak mendapatkan informasi mengenai banyak hak masyarakat adat tak diperhatikan negara. Jadi, sejak awal berkomitmen mendorong penuh pengakuan hak-hak masyarakat adat.

“Saat itu saya berpikir harus ada konsep pengakuan wilayah itu. Selama ini wilayah adat banyak jadi areal konservasi dan kekuatan negara sangat penuh. Kami tak bisa bergerak. Kita tahu kawasan konservasi tak bisa diganggu, klaim negara sangat kuat.”

Kabupaten Sigi, katanya,  ada 143 desa masuk kawasan. Angka ini, terlampau besar. Penguasaan negara terlalu kuat terhadap kawasan hutan, hingga rentan merugikan masyarakat di sekitar hutan.

“Ini harus kita akui hingga masyarakat bisa bekerja dan mencari nilai kehidupan. Termasuk banyak ketimpangan sosial, konflik tanah di Sigi. Pemerintah harus memberikan pengakuan terhadap wilayah-wilayah itu.”

Bupati Sigi, sebelumnya, pernah mendeklarasikan wilayah sebagai Kabupaten konservasi. Irwan dengan jelas menolak. Ketika jadi kabupaten konservasi ada kekhawatiran justru makin marak kriminalisasi yang kepada masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan.

Meski menolak menjadi Kabupaten konservasi, bukan berarti program kerja tak ramah lingkungan. Sesuai visi misi, dia ingin jadikan Sigi itu kabupaten hijau.

“Ini jawaban dari upaya kita menolak kabupaten konservasi. Sigi hijau berarti menjunjung nilai-nilai konservasi. Mungkin agak berbeda, saya melawan justru menjunjung nilai-nilai konservasi. Setiap tahun kami berikan bantuan bibit-bibit tanaman endemik yang kami dorong ke gunung-gunung yang memang sudah dirambah. Kemudian tanaman produktif kepada masyarakat yang mempunyai kawasan untuk dihidupkan.”

DIa yakin, reforma agraria bisa menjawab berbagai permasalahan di wilayahnya. Karena itu, dalam rencana daerah, reforma agraria jad isu penting.

Untuk menjalankan reforma agraria, tentu memerlukan dukungan sinergis dari banyak pihak.

“Kemarin saya bersama ibu Eva Bande dan teman-teman menyusun program reforma agraria sebagai isu strategis dalam RPJMD selama lima tahun ke depan. Kami dorong hingga dianggarkan oleh pemerintah. Semua pemangku kepentingan harus bersatu mendorong reforma agraria ini. Hingga pengakuan tanah adat jadi bagian dari kita.”

Dia bilang, rencana aksi tahun ini, Sigi menargetkan beberapa hal. Sigi sudah terdata sekitar 107 hektar menjadi tanah objek reforma agrarian yang akan didistribusikan bertahap kepada masyarakat sekitar hutan.

Tanah ini, katanya, dari eks HGU, tanah transmigrasi sudah dikeluarkan dari kawasan hutan dan belum bersertifikat. Rencana aksi lain, mendorong pengakuan dan pengesahan beberapa wilayah seperti hutan adat di Marena 1.000 hektar, Toro 3.000 hektar, Boladangko 3.000 hektar, Tangkulowi 1.500 hektar. Lalu, hutan desa di Sigimpu 400 hektar, Bobo 300 hektar, hutan adat Moa 2.500 hektar dan Masewo 1.500 hektar.

“Insya Alloh bisa terealisasi dengan dukungan dari semua pihak.”

 

Eva Bande dari Gugus Tugas Reforma Agraria Sigi mengatakan, masih banyak kesalahan anggapan bahwa reforma agraria itu bagi-bagi tanah. Padahal, reforma agraria ialah suatu operasi yang pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap tanah-tanah rakyat yang terancam beralihfungsi, atau dialihkan kepemilikan kepada badan-badan raksasa. Reforma agraria ini mengubah struktur penguaaaan atas tanah.

Eva ikut terlibat mengawal ketat apa yang dilakukan Sigi dengan menjadikan reforma agraria sebagai landasan dan isu strategis tertuang dalam dokumen daerah.

Tim kerja Eva juga merumuskan langkah atau peta jalan reforma agraria di Sigi yang tiap daerah mempunyai problem berbeda-beda.  Ada kawasan dalam hutan, bekas HGU yang sudah dikuasai masyarakat tetapi belum ada penegasan atas hak, dan lain-lain.

“Perlu diidentifikasi subyek dan obyek. Kemudian ada non dan kawasan yang spesifik di beberapa tempat yang memiliki adat istiadat kuat. Perlakukan setiap tempat berbeda-beda. Itulah yang dirumuskan tim.”

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,