Sebagian Warga Jakarta Masih Sulit Teraliri Air Bersih

 

Saat penyaluran air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum terhenti di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara pada 1997, Halimah langsung mendatangi kantor PDAM. Seorang diri, dia mengadu dan protes, mengapa air PDAM tak mengalir.

“Bu, kalau orang perorang datang mengadu tak akan digubris. Kalau mau (dilayani), kumpulkan masyarakat yang airnya mati,” kata Halimah mengenang pelayanan PDAM kala itu.

Atas dukungan Serikap Perempuan (SP), Halimah lantas mengumpulkan warga yang airnya mati. Dia bergabung dengan SP dan kini jadi dewan penasihat  SP Jabotabek.

Hingga 2007 tak ada perubahan berarti. Tak ada realisasi tuntutan warga. Halimah mulai turun ke jalan menyuarakan pemenuhan hak warga atas air bersih. Perlahan-lahan setelah banyak disksusi dari kampung ke kampung, dari Cilincing hingga Rawa Badak, Halimah mulai sadar. Sebagai warga negara dia berhak atas pelayanan akan air bersih yang baik, dan dijamin UU.

“Sejak 2009, kita turun ke jalan.”

Kondisi tak berubah, sumber air bersih makin susah. Geram, pada 2013, Halimah dengan dorongan sejumlah lembaga jaringan SP lain, ikut memasukkan gugatan ke pengadilan. Mereka menggugat Gubernur Jakarta hingga Presiden.

Baca juga: Menakar Kebijakan Jokowi soal Air Bersih Jakarta

Perjuangan Halimah cs menggugat pemerintah yang menyerahkan pengelolaan air kepada swasta, Palyja dan Aetra, bukan hanya untuk warga kampungnya. Di Marunda Kepu, perkampungan nelayan, pipa PDAM bahkan belum sampai ke rumah warga.

“Pipa air baru sampai depan gang,” kata Susan H. Romica, Deputi Pengelolaan Program, Monitoring dan Evaluasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).

Warga Marunda Kepu kini menghadapi dua ancaman sekaligus: ancaman reklamasi Teluk Jakarta dan akses mereka terhadap air bersih.

 

Sungai bagi orang Betawi

Bicara Jakarta, tak bisa tak lepas dari orang Betawi. Dalam budaya Betawi ada hal penting dalam setiap pesta pernikahan, yakni roti buaya. Mengapa roti buaya penting bagi masyarakat Betawi? Apa hubungan binatang hidup di sungai ini dengan orang Betawi?

Sejarawan muda, JJ Rizal mengatakan, bagi masyarakat Betawi, buaya adalah simbol kesetiaan. Dalam ensiklopedi binatang, buaya hanya berhubungan dengan satu buaya lain.

“Secara geografi orang Betawi hidup diantara 13 sungai. Termasuk masyarakat sungai paling besar,” katanya mengutip buku Anthony Reid.

Buaya ditempatkan sebagai mitologi kuat di Betawi, tak bisa dipisahkan dari kedung dan kobakan di Jakarta. Buaya dianggap menghuni seluruh kedung dan kobakan diJakarta. Orang Betawi dulu bahkan memberi sesajen dan doa untuk hewan-hewan sungai di kedung dan kobakan.

Hewan sungai sangat dihormati karena simbol roh nenek moyang yang menjaga sumber kehidupan.

“Kalau sumber ini dirusak tak ada lagi harmoni. Ciliwung itu artinya harmoni,” ucap Rizal.

Hingga akhir abad 19, pesisir Jakarta menjadi pusat peradaban dan orientasi hidup masyarakat Betawi. Sejak Daendels membangun jalan raya pos orientasi hidup masyarakat berubah. Air makin tak penting. Kedung dan kobakan makin langka.

Apa hubungan dengan privatisasi air Jakarta? Rizal menyayangkan, putusan pengadilan yang memenangkan gugatan warga tak ada argumentasi soal budaya yang menunjukkan hubungan sungai dengan pantai dan laut dan pengelolaan saat ini.

“Di Jakarta, kota paling kasihan sekarang, Di darat nggak bisa lihat sungai, di pesisir nggak bisa lihat laut.”

 

Salah fokus

Prathiwi Widyatmi Putri, Peneliti kota dan infrastruktur menilai, dalam pengelolaan air pemerintah malah sibuk mengurus bagian administrasi, pembagian saham dengan pihak asing, tetapi tak melihat kompleksitas di luar itu. Yakni soal tata ruang, sumber air dan air sebagai sumber kehidupan.

 

Sungai Ciliwung yang memisahkan Jakarta dalam penguasaan dua perusahaan swasta pengelola air Jakarta, Palyja dan Aetra. Foto: Setkab.go.id

 

Sejak dulu, kata Ami, sapaan akrabnya, Indonesia belum punya model pengelolaan air yang baik. Sistem pipanisasi, dengan cakupan pipa sekitar 60% hanya melayani sambungan 800.000 warga.

“Kalau lihat hitungan ekonomi sejak 30 tahun lalu kita menggali sejauh itu tapi pelayanan sedikit sekali.”

Dari penelitiannya, ada dua kelompok di Jakarta yang tak menikmati pelayanan air ini yakni pemukiman elit sangat mahal dan kampung-kampung seperti Marunda dan Marunda Kepu. “Yang satu sama sekali tak terlayani dan menggunakan air sumur dangkal yang sudah tercemar, ada golongan sangat kaya yang mampu membuat sistem pengelolaan air privat.”

Yang terlayani pun tak bisa mengandalkan sistem pipa utuh. Saat air mati, misal, masyarakat kembali ke sumber air lain, seperti sumur atau terpaksa membeli air gorobakan seperti Halimah di Cilincing.

“Berdekade kita berupaya menggali dan menaruh pipa tapi tidak menyelesaikan masalah.”

Menurut Ami, sistem pemasangan pipa, lompat kodok, alias mencari area kosong tanpa menghiraukan tata kota hingga seringkali jauh dari pipa induk dan praktis bikin biaya besar.

Dalam diskusi memperingati Hari Air 2017 ini, Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMSAJ) hendak membangun kampanye bersama atas sengkarut pengelolaan air, penggusuran atas nama normalisasi sungai, reklamasi dan pemukiman, hingga jadikan isu pengelolan air prioritas pemerintah.

“Saya tak setuju istilah air langka. Air kita banyak, cuma salah urus,” ucap Ami.

 

Sumber air

Pada diskusi berbeda, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, Indonesia kini terbebani permasalahan krisis air bersih di berbagai daerah.

Melihat air, perlu tahu sistem secara keseluruhan, mulai sumber air atau hulu, kemudian sebagai masnusia perlu mengkonservasi air agar mampu mengalir dan berkesinambungan, dari hulu ke hilir.

”Konservasi air dari hulu ke hilir masih perlu pendekatan lebih baik lagi,” kata Wahjoe Soeprihantoro, Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, di Jakarta, Kamis (23/3/17).

Hal paling utama, katanya, tetap mempertahankan cekungan air tanah dan tak mengubh tata ruang sumber air.

Melalui, sistem terintegrasi, katanya, sumber air mampu jadi pondasi perekonomian daerah. ”Pondasi dalam ketahanan pangan dan energi suatu wilayah yang berujung pada kesejahteraan perekonomian masyarakat di daerah tersebut,” kata Anto Tri Sugiarto, Kepala Balai Pengembangan Instrumentasi LIPI.

Selama 10 tahun, LIPI berhasil mengaplikasikan konsep ketahanan air pada wilayah minim akses terhadap ketersediaan air bersih atau krisis air.

Hal itu dengan konsep pengelolaan dan penerapan teknologi, yakni, one island, one plan, one water yang dilakukan di Bangka Barat.

”Di Jawa sering krisis, tapi daerah lain ada yang kelebihan, ini terlihat air tak dikelola dengan baik,” katanya.

Dia mengatakan, setiap daerah seharusnya memiliki perencanaan terkait sumber air, bagaimana menjaga dan ketersediaan dengan mengacu aspek ekohidrologi.

Adapun, konsep terintegrasi LIPI, adalah teknologi pengelolaan sumber air, pengolahan air, konservasi air, monitoring kualitas dan kuantitas air, teknologidistribusi air, testing kualitas air dan daur ulang air limbah.

Dia mencontohkan, pengolahan Bangka Barat, LIPI bekerjasama pemerintah daerah itu dan PDAM. LIPI pakai metode advanced oxidation processes dan electromagnet water treatment.

”Kita menetralkan asam dari kolong-kolong tambang, kemudian diolah jadi air minum masyarakat.”

Pada dasarnya, teknologi ini menjadi lebih mahal, dibandingkan menjaga sumber lahan untuk jadi serapan air, dan mengalir jadi air tanah.

Selain itu, katanya, pengelolaan limbah industri dapat melalui lahan basah, menanam tanaman, baik di lereng badan air ataupun di tengah badan air.

”Jadi mengapung, ini sudah banyak diterapkan beberapa negara, seperti Singapura, Vietnam, Jepang,” kata Cynthia Henny, Peneliti Pusat Penelitian Limnologi LIPI.

Langkah ini, katanya, mampu menahan laju air dan ambil bagian menyerap kadar limbah di dalam tanah. Meski demikian, kata Chyntia, sangat sulit dilakukan di Indonesia, salah satu di Jakarta.

”Perlu goodwill, selama ini selalu dipermasalahkan terkait APBD, padahal terhitung murah,” katanya, seraya mengatakan, ukuran 5×5 meter biaya Rp20 juta.

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,