Mencari Gubernur Air untuk Masalah Lingkungan di Bali. Apa Maksudnya?

Gubernur air untuk 2018. Pilih yang tidak haus! Demikian poster yang tersebar semingguan ini di sejumlah warga Bali dan jaringan pertemanannya di media sosial. Air dijadikan jalan masuk untuk penekanan persoalan lainnya seperti sampah dan konservasi laut.

Haus dalam kata itu sangat mungkin merujuk pada metafora haus kekuasaan. Sejumlah kandidat calon Gubernur Bali yang membuat baliho-baliho saat ini adalah mereka yang sudah berkuasa di eksekutif dan legislatif. Tahun depan, Bali akan memilih gubernur baru karena kepala daerah saat ini sudah dua kali menjabat.

Sebagai tawaran wacana tandingan, sebuah inisiatif digulirkan. Dicari Gubernur Air yang tidak haus kekuasaan. Berani mengambil kebijakan yang tak populis untuk menyelamatkan Bali dari perebutan sumber air di masa depan.

Gubernur Air digelindingkan melalui seni melalui pertunjukan Arja Siki, kesenian tradisi yang jarang dipanggungkan padahal menunjukkan kemampuan masyarakat Bali melakukan monolog atau orasi. Sebagai gubernur adalah Cokorda Sawitri, seniman perempuan dan budayawan kritis dan produktif berkarya. Pada sabtu (18/3) malam, Cok Sawitri mulai “berkampanye” dengan mendatangi warga yang menonton pagelaran memperingati Hari Air Internasional bertajuk Perempuan dan Air ini.

 

 

Sebelum kampanye terbuka calon gubernur air ini sebuah pertunjukan gender kolaborasi dengan tarian bertajuk Sesapi Ngundang Ujan, artinya burung layang-layang mengundang hujan. Seperangkat gamelan gender, repertoar klasik ini dimainkan oleh empat bersaudara seniman Kelompok Misra. Anak-anak seorang etnomusikolog Bali, Ida Oka Granoka yang masyur dengan parade Bhineka Tunggal Ika.

Tarian, kidung, dan gender berpadu. Tiga perempuan penari menengadahkan kepala ke langit, mencari jejak burung layang-layang (sesapi) yang kerap menjadi penanda alam, hujan akan dimuntahkan dari langit.

Sayangnya hujan yang masih datang saat musim kemarau tak banyak terserap ke tanah. Beton-beton sudah menggantikan halaman tanah, sawah, dan jalanan. Termasuk kawasan world heritage landscape subak Jatiluwih di Tabanan. Sementara cadangan air tanah di Bali terus berkurang sampai intrusi air laut makin parah.

Cok Sawitri memilih air sebagai pernyataan politik. Saat ini Gubernur berhadapan dengan otonomi, raja-raja kecil di kabupaten dan kota yang tak sinergis melakukan strategi penyelamatan lingkungan. Padahal sumber utama air bersih di tanah berada di kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) yang melintasi nyaris semua wilayah di Bali.

“Ada desentralisasi, 11 pihak yang bekerja terkait air. Sementara sulit untuk duduk bersama misal dalam penanganan sampah, air, dan transportasi,” ujarnya. Tiga hal ini dianggap bukan kebijakan yang populer.

“Warga akan benci saya karena larang pestisida di Batur. Saya tahu akan dibenci karena akan mengubah cara berpikir mereka,” seru Cok dalam orasinya.

 

Seni kolaborasi gender dan tari bertajuk Sesapi Ngundang Ujan merespon isyarat alam yang terabaikan, bahwa burung layang-layang terbang petanda akan hujan. Foto: Luh De Suriyani

 

Arja Siki “Gubernur Air” ini dibawakan selama satu jam dengan beraneka gaya dan bahasa. Gaya nyinyir, komedi, marah, dan satir menelanjangi para pemimpin yang tak begitu tergerak dengan perspektif penyelamatan lingkungan.

“Buatlah biopori, sumur resapan hentikan pemasangan baliho itu, saya akan jadi calon yang tidak terpopuler  tapi anak cucu anda akan terselamatkan karena tanpa air semua mata pencaharian hilang,” gugahnya.

Saat ini, lanjut Gubernur Air ini, banyak perusahaan yang menggali sumur bor tanpa izin, lalu lapisan bawah tanah yang mengandung air atau aquifer makin menipis. Saat hujan, air melimpah tapi jadi banjir bukan meresap ke tanah. “Biopori dibanding harga baliho, buat 3 titik biopori harganya Rp90 ribu. Sangat menolong cadangan air,” serunya lagi.

Pada beberapa bagian, fakta-fakta penelitisan tentang kenapa Bali akan krisis air meresap dalam orasi-orasinya. Solusi lain yang ditawarkan adalah sumur resapan yang bisa lebih banyak dan cepat menyuntikkan cadangan air ke bawah tanah.

 

Uji coba sumur imbuhan ini didukung – Sumur imbuhan di Sukawati, Gianyar, Bali ini didukung pembuatannya oleh Fiveelements. Cara ini lebih efektif dibanding biopori. Foto Luh De Suriyani

 

Cok mengingatkan ia tak punya kelompok preman, baliho, dan dana untuk iklan di media. Ia juga menyinggung konstestasi PIlkada Jakarta yang dipenuhi isu rasisme untuk menarik suara warga. “Kenapa tak bertanya pada partai politik yang tak pernah bicarakan kepentingan rakyat. Hanya demi kemenangan isu sektarian dibawa. Kenapa tak bicarakan yang riil, stop pembangunan tak perlu. Kembalikan ke subak,” ajaknya.

Dalam filosofi subak, sistem pengelolaan irigasi tradisional di Bali pembagian air yang adil dan konservasi air memang menjadi landasannya. Teknologi di masa lalu itu bernama empelan/empangan sebagai sumber aliran air/bendungan. Bungas/buka adalah sebagai pemasukan (in take). Aungan adalah saluran air yang tertutup atau terowongan.

Tiap kelompok subak akan mendapat akses pengalapan (bendungan air), jelinjing (parit), dan sebuah cakangan (satu tempat/alat untuk memasukkan air ke bidang sawah garapan) sehingga pembagian air adil dan sesuai dengan kondisi lahan masing-masing.

Pada Juni 2012, sistem subak ditetapkan oleh UNESCO, sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD). Secara resmi pengakuan UNESCO terhadap subak disebutkan sebagai Cultural Landscape of Bali Province, Subak as Manifestation of Tri Hita Karana Philosophy. Peneliti subak  Wayan Windia memberi catatan, pengakuan UNESCO itu mencerminkan beberapa hal yakni pengakuan terhadap eksistensi lembaga subak, sistem subak yang menerapkan konsep Tri Hita Karana (THK), dan lanskap yang hadir di Bali dalam bentuk persawahan-subak, adalah lanskap yang berisikan muatan aktivitas budaya.

Kesenjangan akses pada air bersih disebut Cok makin lebar. “Warga sekitar sumber mata air dibiarkan miskin seperti di kabupaten Bangli dan Karangasem. Sebuah hotel menggunakan air untuk keperluan 3 desa,” sebutnya. Menutup orasi dan kampanye sebagai Gubernur air, Cok Sawitri mengingatkan krisis air itu nyata.

“Pada 2025 air akan berkurang di mana-mana. Tolak reklamasi Teluk Benoa karena akan menenggelamkan kepala sang naga. Bali memerlukan kalian semua, jagalah air itu,” seru Cok Sawitri dalam orasinya.

Subak, salah satu sistem irigasi tradisional di Bali yang memberikan pasokan air untuk pertanian setempat secara berkelanjutan. Foto: Rhett Butler

 

Kampanye dan wacana gubernur air untuk Bali ini didukung Iam An Angel (IAA), sebuah lembaga filantropis di Bali yang membuat sejumlah kegiatan sosial di daerah terpencil di Bali. Selain menggaungkan air sebagai wacana politik, IAA juga mengadakan pameran inisiatif konservasi air dan diskusi dengan pemangku kebijakan dan para ahli. “Yang jadi prioritas adalah menjaga anak-anak kami, semua yang terbaik termasuk aturan setelah itu air,” ujar Asana Viebeke Lengkong pengelola IAA.

Kampanye ini mendapat respon serius dari warga Bali dan menganggap sangat penting memunculkan kandidat pemimpin daerah yang serius dan berpihak pada upaya pelestarian lingkungan. Hal ini terlihat dalam diskusi-diskusi di media sosial dan respon langsung saat orasi Gubernur Air ini di Bentara Budaya Denpasar.

“Tentu wacana yang serius. Kebutuhan akan air merupakan kebutuhan dasar manusia. Di tahun mendatang akan ada pertambahan penduduk sedangkan kapasitas air kita tetap atau bahkan berkurang. Jika saat ini banyak dari kita yang tidak mendapatkan air secara adil, lalu bagaimana di tahun-tahun mendatang,” ungkap Eka Mulyawan, seorang arsitek muda.

Demikian juga untuk Catur Yudha Hariani, Direktur Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali. “Cok menawarkan gagasan yang harusnya jadi perhatian pemimpin Bali. Walaupun wacananya dianggap sepele, tanpa air tidak ada agenda kesejahteraan yang akan terjadi kan?” serunya.

Menurutnya calon gubernur Bali ke depan harus berfikir soal tanah dan air. Subak sudah banyak yang hilang. “Malu menjadi penyandang world heritage kalau tidak ada penegakan hukum alih fungsi lahan. Kualitas air di Bali semakin hari semakin tidak bisa dijamin karena sampah, limbah dan  banjir,” tambah Catur.

Air juga makin tidak bisa dibagi secara adil karena hotel, villa semakin menjamur yang memerlukan air lebih banyak dari pada rumah tangga biasa. “Air rumah tangga dari PDAM mati bergilir, sementara hotel dan villa seolah tak berhenti mengalir. Gubernur dipilih untuk mensejahterakan rakyatnya, kebutuhan dasar hidup tanah air harus dijamin,” tukas Catur.
 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,