Kala Belasan Warga Kena Vonis Tujuh Bulan, Teror Masih Tak Henti di Seko

 

 

Senin (27/3/17), majelis hakim Pengadilan Negeri Masamba, Sulawesi Selatan, menjatuhkan vonis tujuh bulan penjara kepada 13 warga Seko, yang menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) PT Seko Power Prima.

Pada Rabu (15/3/17), agenda sidang pembacaan tuntutan, dengan satu orang tuntut dua tahun penjara, dua orang lain 1,6 tahun, dan 10 orang lain satu tahun. Putusan hakim semua tujuh bulan.

Puluhan warga Seko menghadiri sidang putusan dengan berlinang air mata. Mereka menangis terharu. Ada yang menyesalkan hukuman. Ada yang menerima, pasrah.

Ketigabelas warga Seko ini didakwa pasal-pasal antara lain soal pengrusakan bersama-sama, pengrusakan disaksikan sendiri, dan pengancaman dengan kekerasan.

Andri Karyo, warga yang terjerat hukum mengatakan, tuduhan kepada mereka ini akal-akalan. “Kami beberapa kali meminta selesaikan dulu urusan lain. Perusahaan (Seko Power Prima-red) sebaiknya berdialog. Masyarakat adat maunya bukan langsung masuk wilayah dan mematok,” katanya beberapa waktu lalu.

Andri warga Desa Tana Makaleang. Rumah dia biasa sebagai tempat diskusi pembangunan PLTA. “Bagaimanapun, kami tetap menolak. Penjara bukan akhir segalanya.”

Kekhawatiran itu akhirnya muncul. “Akhirnya saya merasakan penjara. Semangat saya makin tinggi,” katanya, saat menjalani persidangan di PN Masamba, Januari lalu.

Di Makassar, saya bertemu Ivan Stovia (18) dan Aris Marlon (32). “Kami bahagia mendengar vonis itu. Tentu lebih bahagia jika bebas,” katanya.

Marlon, warga Desa Tana Makaleang. Dia di Makassar sejak awal Maret. Dia ikut aksi 28 Agustus 2016, dan mendatangi basecamp Seko Power Prima. “Saya ambil sampel tanah yang dibor perusahaan. Saya gantung di depan rumah,” katanya.

Setelah aksi itu, namanya masuk daftar pencarian orang (DPO). Marlon tak pernah tahu, sehari-hari tetap beraktivitas di kampung. Pagi menuju kebun dan sore mengunjungi keluarga. Menjelang malam kembali ke rumah.

Ketika Amisandi (39) warga Seko lain, yang diundang dialog ke Masamba ditangkap kepolisian 9 Januari 2017. Penangkapan inilah kemudian didampingi tim pengacara Perhimpunan Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN). Kini, masih proses sidang.

Dalam penangkapan Amisandi inilah, Marlon dan Ivan akan jadi saksi. Akhirnya, 5 Maret, mereka berboncengan menuju Masamba. Sekitar pukul 14.00, deru mesin mulai meninggalkan Pokapaang. Di belakang stang motor mereka, ada beras, kopi bubuk, dan beberapa liter cabai. Sebagai bekal 13 warga Seko yang masih ditahan.

Sekitar 30 menit perjalanan, di Pohayaang, sebelum mencapai salah satu rumah warga pos anggota kepolisian, tiba-tiba lima polisi muncul dari dua sisi jalan. Mereka menenteng senjata. Membentak dan menghentikan dia.

“Tangan saya langsung dipegang. Ditarik paksa ke atas rumah (rumah panggung),” kata Marlon.

 

Tim pengacara dari PPMAN saat pelaporan praperadilan terhadap polisi yang menangkap Amisandi, kala yang bersangkutan bersedia menghadiri undangan dialog perusahaan. Foto: Eko Rusdianto

 

Di rumah itu, ada beberapa orang sedang di dapur. Polisi memerintahkan keluar. “Kami (Marlon dan Ivan) ke dapur. Duduk di bangku. Ditanya macam-macam,” katanya.

“Kamu mau kemana?” kata salah seorang polisi seperti ditirukan Marlon.

“Mau ke Sulbar (Sulawesi Barat),” jawab Marlon.

“Ini bekal kau bawa untuk DPO ya,” kata polisi.

“Kapan kau jujur, mana kakimu yang paling kau sayang, saya tembak yang itu,” kata polisi bernama Roby, sembari mengacungkan pistol ke kaki Marlon.

Ini pertama kali Marlon berhadapan dengan anggota kepolisian. Beragam pertanyaan, bertubi-tubi pula pukulan ke badannya. Pukulan pertama, mendarat di wajah tepat mata sebelah kiri. “Masih sakit. Masih agak biru sampai sekarang,” katanya memperlihatkan pada saya.

Tak puas, polisi itu juga memukul kepala Marlon dengan parang, meski dengan sarung tertutup. Benjol. Tendangan juga mendarat di tulang rusuk. “Ternyata polisi itu memang kejam. Saya tidak tahu, berapa kali pukulan. Saya bersama LBH Makassar melaporkan ke Polda dan hasil visum saya bilang tujuh kali.”

Ivan tak pun luput dari bulan-bulanan polisi. Dia dapat hadiah tiga bogem di belakang kepala. “Sakit sekali,” katanya.

Puas melepaskan pukulan, selama dua setengah jam (antara pukul 14.30 hingga pukul 17.00) polisi mengikat tangan Marlon dengan tali nilon dan rotan. Ikatan kencang sekali.

Ivan sedikit beruntung, tangan tak diikat, tetapi dia bertugas membonceng salah seorang polisi dengan motornya.

Pukul 17.30, lima polisi bersama Marlon dan Ivan meninggalkan Pohayaang. Kala malam, rombongan menginap di Sae–basecamp Seko Power Prima–tempat kelak bendungan PLTA dibangun.

Selama perjalanan, Marlon tersiksa menjaga keseimbangan. Tangan terikat membuat dia kurang memiliki keseimbangan dengan medan jalan berlumpur.

Di Sae, Marlon dan Ivan, tidur di teras rumah. Lima polisi bergantian menjaga. “Di kasi kasur, ada juga selimut. Ikatan tangan tidak dilepas, malah kaki juga dirantai. Pakai gembok,” kata Marlon.

Keesokan hari, sekitar pukul 09.00, rombongan bergerak menuju Sabbang. Mereka mencapai Mabusa, sore hari. Di Mabusa, mereka berganti kendaraan pakai mobil 4WD jenis Toyota Starda hitam milik Seko Power Prima.

Polisi Roby duduk di depan. Di kursi tengah, Marlon dengan tangan terikat duduk diapit dua polisi. Ivan duduk di kabin terbuka belakang bersama dua orang polisi lain. Sekitar pukul 19.00, mereka tiba di Mapolres Luwu Utara.

Marlon dan Ivan ditahan satu malam. Keesokan hari, Marlon masuk sel dengan tuduhan perusakan aksi 28 Agustus. “Kemana saja kau selama ini?” kata polisi.

“Tidak kemana-mana pak. Saya di kampung. Di rumah. Tidak ada juga polisi pernah datang,” kata Marlon.

Tak lama berselang seorang anggota kepolisian di Polres Luwu Utara menawari jalan agar bebas. Marlon kebingungan. Akhirnya menyetujui tawaran itu. “Bagaimana caranya pak?” kata Marlon.

“Tulis pernyataan. Kau tandatangani,” kata polisi itu.

Polisi itu membuat surat pernyataan dan mengetik di komputer. Marlon, membaca dengan teliti. Dalam ingatan dia, ada empat pernyataan, pertama, tak akan demonstrasi tolak PLTA, kedua, tak akan mengambil sampel dari perusahaan, ketiga, tak akan mengusir perusahaan, dan keempat, tak akan merusak fasilitas perusahaan. Diapun bebas.

 

Warga Seko yang terjerat hukum (pakai baju tahanan wargan orange) bersama keluarga, usai vonis hukuman tujuh bulan penjara. Foto: Desma Warty

 

Makin tertekan, perempuan melawan

Sabtu, (25/3/17),  di Poririang, tempat perusahaan hendak beroperasi, ratusan perempuan menghalau kegiatan. Mereka membuat tenda sejak sebulan lalu, membuat pagar pembatas alat-alat perusahaan dan mendudukinya.

Beberapa polisi mendatangi. Mereka coba menghalau pengunjuk rasa, dan menarik keras. “Ibu-ibu itu diangkat dan dipindahkan paksa,” kata seorang warga yang menelpon saya Selasa, (28/3/17).

Warga, nara sumber saya ini berkali-kali menginformasikan kondisi Seko melalui pesan pendek dan telefon. Di Seko, Desa Tana Makaleang dan Hoyane, jantung gejolak penolakan warga,  tak ada sinyal seluler.

Kejadian berselang sehari atau kadang tiga hari kemudian baru mendapatkan kabar, jika warga Seko menuju Seko Padang mencari jaringan, jarak sekitar enam jam perjalanan motor.

Kembali ke aksi 25 Maret, kepolisian tak kuasa membubarkan aksi. Betapa tidak, seorang perempuan yang sudah memiliki tiga anak, tiba-tiba histeris dan membuka pakaian.

“Dia sudah kasihan melihat ibu-ibu yang lain diperlakukan dengan tak wajar. Jadi waktu ibu buka pakaian, polisi mundur.”

Senin 27 Maret, bersamaan ketika pembacaan vonis 13  warga Seko di Masamba, polisi datang membubarkan aksi. Kali ini, kaum ibu  tak kuasa menahan. Tenda aksi dibongkar, pagar, pakaian dalam tenda dibuang, bendera merah putih diturunkan, sampai persediaan makanan dihamburkan.

Di Makassar, Marlon, tertunduk lesu mendengar kabar itu. “Di atas (Seko) itu kasihan, keadaan makin mencekam. Semua orang seperti dapat teror,” katanya.

“Kalau warga jalan menuju lokasi perusahaan, polisi benar-benar menjaga dan mengawasi. Jika ada warga yang mengeluarkan hape dan memiliki kamera akan disuruh simpan. Tidak boleh ambil gambar lagi.”

“Jalan utama desa, warga tukang ojek, atau warga yang hendak keluar dan masuk kampung, akan dihentikan polisi dan ditanya, arah dan tujuan dengan jelas. Kita seperti di penjara saja,”

Di Makassar, katanya, teman-teman menyarankan dia tak kembali ke Seko. “Kalau kembali saya akan ditangkap. Siapa yang akan jadi saksi Pak Amisandi? Maka saya bertahan.”

Marlon meneguk kopi susu terakhir. Ampas hitam mengendap jelas dari gelas bening yang dipakainya. Tak terasa air mata menetes. Dia ingat istri dan dua anak. “Kalau ini jalannya, saya akan bertahan. Itu kampung saya,” katanya.

Dia juga teringat tanaman di kebun yang siap panen. “Semoga keluarga yang lain bantu panen. Mereka bisa makan bersama.”

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,