Dua Tahun Ganjaran bagi Pedagang Kulit Harimau dan Sisik Trenggiling

 

 

Sidang kasus perdagangan satwa dilindungi di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Sumatera Utara, memasuki putusan, Jumat siang (24/3/17). Budi alias Akhing, penampung satwa dilindungi seperti kulit harimau dan ratusan sisik trenggiling, sekaligus pemilik gudang penyimpanan terima vonis dua tahun penjara, denda Rp50 juta.

Jhoni Siahaan, hakim ketua mengatakan, Budi terbukti sah dan meyakinkan bersama-sama terdakwa lain yang sudah vonis yaitu Sunandar alias Asai, dan Edy Murdani, memperdagangkan, memiliki atau menyimpan satwa dilindungi secara ilegal. Dia melanggar UU Konservasi Sumbedaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Budi, kena penjara dua tahun, denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan. Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumut, Debora Sabarita, menuntut Budi 3,6 tahun, denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan.

Sedangkan Sunandar dan Edi Murdani, dituntut dua tahun penjara denda Rp10 juta subsider satu bulan kurungan. Vonis majelis hakim penjara 1,6 tahun, denda Rp10 juta subsider satu bulan kurungan.

Hukuman dua terdakwa lain lebih ringan dari Budi. Hakim menilai, Budi tak memberikan keterangan benar di persidangan. Dua terdakwa lain dinilai kooperaktif selama persidangan.

“Menjatuhkan hukuman penjara dua tahun dan denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan. Terdakwa juga tetap ditahan,” kata Jhoni saat membacakan putusan.

Usai mendengarkan putusan, Budi melalui kuasa hukum menyatakan pikir-pikir. JPU Debora, langsung banding. Alasannya, putusan majelis hakim di bawah tuntutan jaksa, dan terdakwa dianggap mempersulit persidangan.

“Saya banding, karena hukuman di bawah tuntutan,” katanya.

Dalam dakwaan,  Budi, sebagai penampung satwa seperti kulit harimau dan ratusan sisik trenggiling, sekaligus pemilik gudang penyimpanan sebelum diperdagangkan.

Unandar alias Asai, penghubung antara pedagang dan pembeli. Dia mencari calon pembeli dan menentukan harga.

Edy Murdani, sebagai pencari kulit harimau, yang diperoleh dari pemburu di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Aceh. Satwa dibawa Edi ke Medan.

Irma Hermawati, Legal Advisor Wildlife Crime Unit (WCU), kepada Mongabay usai mendengarkan putusan majelis hakim, mengatakan, putusan masih terlalu ringan hingga tak berikan efek jera.

 

Budi usai sidang putusan. Foto: Ayat S Karokaro

 

Para pelaku, bukan lagi pemain kecil atau eceran. Mereka, jaringan besar.  Khusus, Sunandar, pemain besar jual trenggiling tetapi hukuman malah lebih kecil, 1,6 tahun penjara, denda Rp10 juta. “Harusnya beri hukuman maksimal.”

Budi, katanya, sebenarnya kaki tangan Sunandar, yang bertugas sebagai penghubung ke pembeli. Sunandar merupakan penghubung ke pemilik barang.

Dia bilang, vonis pengadilan tinggi baru di Pengadilan Rengat dalam kasus dagang kulit harimau ilegal terima hukuman empat tahun penjara dan denda Rp100 juta.

Di Indonesia,  sejak 2000, vonis tertinggi memang dari pengadilan di Rengat. Di PN Palembang,  tuntutan tinggi tetapi vonis satu tahun, baru setelah banding hukuman jadi tiga tahun.

Dia menilai, vonis rendah karena komunikasi dari jaksa soal sepak terjang para pelaku di dunia perdagangan satwa. WCU, katanya, sudah memberikan informasi detil soal sepak terjang pelaku ini, seperti Sunandar. Sayangnya, berkas tak tereksplore di peradilan.

Untuk penguatan sumberdaya manusia dari penyidik, jaksa hingga hakim, WCU sudah kerjasama dengan pelatihan dengan Mabes Polri di 33 Polda di Indonesia.

Selain itu, sudah MoU  dengan Lembaga Pendidikan Kepolisian (Lemdikpol) atas nama Kapolri. Level Kejagung sudah MoU khusus Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum).

Mahkamah Agung (MA), katanya, juga mulai kerjasama memasukkan satwa liar ke sertifikasi hakim lingkungan di Badiklat MA.

Halasan Tulus, Kepala Balai PamGakum Wilayah Sumatera, kepada Mongabay, mengatakan, soal putusan jaringan perdagangan satwa dilindungi di PN Medan, belum memuaskan.

Jadi perlu mencoba melalui sektor lain memberikan informasi kepada hakim dan jaksa. Bahkan, katanya, mengganggu tumbuhan dan satwa liar (TSL) menganggu ekosistem. Ia tak hanya dari segi nilai, tetapi harus melihat ekosistem rantai makanan dan rantai energi.

 

Kulit harimau sitaan. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,