Tempat Rehabilitasi ini Ngos-ngosan Mengurus Satwa Liar Buangan

Di tempat ini, para satwa liar yang mengalami cacat akibat dipelihara tidak baik menemukan harapannya. Ada yang harapannya untuk bebas di alam liar terbuka lebar, namun tak sedikit yang mungkin hanya mimpi.

Mari berkenalan dengan Ayu, seekor beruk betina. Dibanding dengan temannya yang jantan di kandang lain, tubuhnya terlihat jauh lebih kecil dan kurus. Namun setelah diteliti karena sebagian besar bulu-bulunya hilang. Gundul. Ayu menyabuti dan memakan bulu-bulunya. Dokter hewan yang merawat memperkirakan Ayu mengalami gangguan jiwa.

“Kulitnya sehat, makannya bagus. Sepertinya gangguan mental karena bulu-bulunya dicabut lalu dimakan,” kata Dyah Ayu Risdasari Tiyar Noviarini yang dipanggil Rini ini. Ia dokter hewan di Bali Wildlife Rescue Center atau Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) yang dikelola Friends of The National Parks Foundation (FNPF) dan berlokasi di Kabupaten Tabanan ini. Sekitar 1,5 jam berkendara dari Kota Denpasar. Selain PPS, FNPF yang didirikan pada 1997 juga mengelola program konservasi dan rehabilitasi lahan di Kalimantan dan Nusa Penida.

Ayu pernah disatukan dalam kandang yang sama dengan Moon, nama seekor beruk jantan, sebagai persiapan untuk pelepasliaran, namun tak berhasil karena berkelahi. Moon kondisinya lebih baik, sebelumnya dipelihara seorang warga asing di Kuta. Ayu sepertinya tak punya harapan untuk kembali di alam liar setelah tinggal di PPS ini sejak 2007.

 

 

Satwa lain yang mungkin hilang harapan untuk dilepasliarkan adalah Martha, seekor kakaktua Seram (Mollucean cookatoo). Kakinya hanya satu, Martha adalah salah satu satwa terlama di PPS ini sekitar 7 tahun. “Tidak mungkin di-release, kakinya membusuk karena dirantai ketika dipelihara,” jelas Rini. Jadilah Martha menghabiskan sisa hidupnya di sebuah kandang yang terhubung dengan pohon. Pengurus PPS membuatkan tangga dan tempat bermain agar kakaktua berkaki satu ini masih bisa jalan-jalan.

Ayu, Martha, dan nyaris seluruh satwa liar sebanyak 89 ekor per 17 Maret lalu ini adalah titipan pemerintah dengan sejumlah latar belakang. Paling banyak sitaan dan pengembalian dari warga yang memelihara.

Terakhir pada 8 Maret, BKSDA Bali menitipkan 28 satwa liar dari sejumlah lokasi objek wisata pulau Penyu di Tanjung Benoa. Para pengusaha wisata yang mengandalkan penyu untuk menarik perhatian ini juga mengandangkan satwa liar tanpa izin konservasi.

 

Martha, kakaktua lansia ini berkaki satu karena diamputasi akibat membusuk terlalu lama dirantai oleh pemiliknya dahulu. Sekarang Martha berada di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tabanan, Bali. Foto: Luh De Suriyani

 

Dari sejumlah satwa yang diserahkan ke pemerintah melalui BKSDA ini secara umum kondisinya sehat, hanya satu burung julang yang diketahui tanpa ekor.

Ada lagi seekor elang brontok yang mata kirinya buta. Pupilnya tak bereaksi ketika disinari. Masih menjalani rehabilitasi, hampir 3 tahun untuk memastikan ia bisa bertahan di alam liar nanti.

Seekor beruang madu kecil, berusia sekitar satu tahun sibuk mengerat kayu. Ia diangkut dari Jawa dan dijual ke pembeli di Bali sebelum terdampar di PPS ini. Beruang yang belum diberi nama ini sempat dipelihara satu bulan oleh pembelinya, namun diserahkan ke BKSDA. Anakan beruang ini masih menyusui saat diperjualbelikan, usianya sekitar 5 bulan. Karena itu pengasuhnya di PPS memberikan susu dan madu untuk satwa pemanjat andal ini. Idealnya ia dikirim ke pusat rehabilitasi khusus beruang di Kalimantan namun PPS mengaku terkendala dengan birokrasi perizinan.

Berkunjung ke PPS adalah tentang melihat dan merasakan harapan untuk menemukan kebebasan kembali. Walau pada beberapa kasus harapan mereka sudah kandas.

Ada gerombolan lutung di sebuah kandang yang semuanya betina. Pengelola PPS berharap seekor lutung jantan tiba untuk dipersiapkan sebagai pimpinan di kelompok ini. Menurut Rini, kelompok lutung betina jika dilepasliarkan akan sulit bertahan karena rentan mendapat kekerasan dari kelompok lain. Jadi perlu ada pejantan, walau cuma seekor untuk lebih menjaga peluang hidupnya. Ternyat dunia satwa juga ada konsep patriarki.

Dari luar, PPS ini terlihat sunyi. Setelah masuk ke area kandang baru terlihat banyak sekali satwa yang harus ditangani tiap hari. Namun secara umum perilakunya tenang. Mungkin saking lamanya didomestifikasi atau sudah memahami sedang dalam proses pemulihan. Jenis terbanyak adalah julang dan buaya. Masing-masing 13 ekor. Kemudian kakaktua 12 ekor, elang 11 ekor, merak 6 ekor, landak 5 ekor, siamang dan lutung masing-masing 4 ekor, beruk 3 ekor, beruang madu, dan owa.

 

Seekor elang brontok ini buta mata kirinya Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tabanan, Bali, masih menjaga harapannya untuk bisa dilepasliarkan. Foto: Luh De Suriyani. Foto: Luh De Suriyani

 

Kelompok buaya yang paling banyak menghabiskan ruang. Juga tenaga, uang, dan kerusakan karena sering menyebol kandang. “Tangan saya pernah digigit,” kata Rini memperlihatkan jejak gigi tajam salah satu buaya yang melubangi kandang lalu memecahkan kaca sebuah ruangan dari hempasan ekornya.

Buaya-buaya ini diiurus seorang pawang yang sayang pada kawanan satwa muara ini. Sudah lama tinggal di PPS, karena buaya ini titipan dari kebangkrutan sebuah taman reptil di Padanggalak, Denpasar.

Masalah utama yang dihadapi PPS ini adalah biaya operasional yang lebih besar dari anggaran. Bayu  Wirayudha, Direktur FNPF, seorang dokter hewan yang berpengalaman luas dalam usaha konservasi di Indonesia mengatakan dari anggaran Rp25 juta, biaya operasional membengkak menjadi Rp40 juta per bulan untuk pakan, gaji staf, dan operasional lain.

Ia mengeluhkan ketiadaan biaya operasional dari pemerintah. “Seharusnya tanggung jawab pemerintah, kok bikin penyitaan  tanpa solusi perawatan barang buktinya,” kata pria yang masih giat melakukan konservasi jalak Bali di beberapa tempat ini.

Sejauh ini ia bersyukur biaya bisa ditanggung olehnya sendiri selain donasi dan penghasilan dari kegiatan di tempat lain. Idealnya menurut Bayu, ada yang adopsi satwa-satwa ini selama proses perawatan. “Dia bisa ikut merawat dan melepasliarkan, tapi saya tak cukup pintar soal ini,” ujarnya.

Selain itu PPS membuka pintu bagi volunteer yang datang untuk ikut merawat. Mereka dikenakan biaya tertentu dengan tawaran bisa tinggal di area PPS. Ada beberapa kamar yang disiapkan. Puluhan relawan yang pernah ke sini terlihat dari foto-foto mereka yang dipajang di salah satu tembok.

 

Pengelola Pusat Penyelamatan Satwa (PPS), Tabanan Bali, Bayu Wirayudha (baju merah) dan Rini, dokter hewan yang merawat puluhan binatang titipan yang sebagian punya masalah fisik dan mental. Foto: Luh De Suriyani

 

Masalah dana ini makin mencekik karena sebagian satwa menurutnya sulit dilepasliarkan dengan cepat karena birokrasi perizinan. “Saya pernah ingin memindahkan burung endemik ke NTB tapi ditolak karena takut flu burung,” Bayu heran. Padahal burung liar menurutnya terus bermigrasi antar pulau.

Birokrasi yang panjang ini dicontohkannya, misalnya ingin melepasliarkan satwa ke luar Bali. Maka pihaknya harus mengajukan ke KSDA sejumlah laporan soal kesehatan dan lainnya, lalu mengajukan surat ke lokasi pelepasliaran ke Gubernur melalui Dinas Peternakan tujuan dan daerah asal satwa, baru Pemprov membuat rekomendasi kesehatan satwa. Setelah itu melalui karantina dan mengantongi surat pengantar agar bisa lewat pos jaga. Lama waktu mengurus surat tiap jenis itu bisa lebih seminggu. “Lebih susah melepaskan dibanding beli illegal,” tandasnya.

Catur Marbawa, Kepala Bagian Tata Usaha BKSDA Bali menyatakan pihaknya menitiprawatkan di PPS. “Secara umum ini kewajiban PPS, kan ada lembaga donor. Pemerintah beri izin (PPS) karena ada kemampuan cari donor sendiri,” elaknya.

Ia mengakui tak ada anggaran khusus untuk penitipan ini tapi kadang ada yang dana sekadar seperti biaya pakan buaya di PPS. Terkait rumitnya birokrasi untuk izin pelepasliaran menurutnya tak ada. “Kalau tujuan konservasi kan lalu lintas satwanya diistimewakan, dikecualikan,” katanya soal larangan transportasi terkait siaga flu burung dan rabies dari dan ke Bali.

Dalam kondisi tata kelola penyelamatan satwa liar seperti ini, pada siapa berpihak? Tentu kebaikan satwa. Salah satunya, segera dilepasliarkan jika sudah memungkinkan.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,