Bedah Standar Hijau Sawit Indonesia, Berikut Penilaian FWI

 

 

Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sudah memasuki tahun kelima tetapi dalam perjalanan belum banyak kemajuan. Niat produksi sawit berkelanjutan bisa dikatakan masih jauh panggang dari api.

Hingga kini, baru 225 dari 2.302 perusahaan perkebunan sawit bersertifikat ISPO dengan 1,5 juta hektar atau produksi minyak sawit mentah 7,4 juta ton. Pemerintah tengah menggodok penguatan standar hijau ISPO.

“Masih banyak lahan belum bersertifikat ISPO. Meskipun sudah ber-ISPO, ada juga perusahaan perkebunan sawit belum terhindar dari konflik dan deforestasi,” kata Linda Rosalina, Pengkampanye Forest Watch Indonesia di Jakarta, Kamis (30/3/17).

Luas perkebunan sawit di Indonesia, sekitar 11,6 juta hektar. Sampai 2016, sekitar 800 perusahaan perkebunan sawit masih tahap pendaftaran, 115 perusahaan masih proses penilaian.

Baca juga: Perkuat ISPO tetapi Masih Mau Nanam Sawit di Gambut, Apa Kata Mereka?

Angka ini, katanya, jelas sangat minim meskipun ISPO bersifat wajib. Pemerintah,  sudah mewajibkan seluruh perusahaan sawit punya ISPO dengan batas akhir 31 Desember 2014, kemudian diperpanjang hingga September 2015.

Dia mengatakan, beberapa kasus di banyak daerah ditemukan perusahaan perkebunan sawit meskipun telah mendapatkan ISPO, juga melakukan praktik-praktik pengabaian keberlanjutan.

FWI pada Maret 2016, di konsesi PT Jabontara Eka Karsa (JEK), anak perusahaan Kuala Lumpur Kepong Berhad (KLK) di Berau, Kaltim. Uji analisis citra satelit periode 2009-2013 menunjukkan, terjadi deforestasi 7.800 ribu hektar untuk perluasan perkebunan sawit. Atau lebih 55% konsesi total 14.000 hektar yang miliki JEK.

“Kami juga menemukan terjadi pembukaan lahan dan penebangan di area seharusnya dikonservasi seperti area kemiringan curam atau lereng bukit dan tepi anak sungai.”

Padahal, katanya, di area itu sebenarnya terpasang plang rambu-rambu peringatan untuk tak buka lahan. Kondisi ini mengindikasikan, perusahaan melanggar kaidah konservasi tanah dan air dalam proses pembukaan lahan.

Dia juga dinilai melanggar prinsip ISPO yang menyatakan, pembukaan lahan sawit tak boleh dekat sungai dan lahan yang memiliki kecuraman tinggi.

Linda juga menemukan fakta, terjadi tumpang tindih hutan 1.005 hektar dengan HTI PT Swadaya Perkasa. Temuan dikuatkan laporan Greenpeace 2014. Laporan itu menyatakan, JEK merambah hutan alam habitat orangutan.

Laporan FWI 2014, menyebut areal perizinan baik perkebunan sawit, HTI maupun HPH yang berkonflik 14,7 juta hektar, tujuh juta hektar tumpang tindih dengan hutan alam.

Kasus lain PT Gawi Bahandep Sawit Mekar (GBHM) di Kabupaten Seruyan, Kalteng. Perusahaan ini telah mendapatkan ISPO. Pemetaan FWI, pada konsesi perusahaan Desember 2015 memperlihatkan perusahaan telah mengubah fungsi lahan gambut.

Warga juga menemukan ada pembuatan kanal-kanal dan penanaman sawit pada lahan gambut basah. Temuan itu diperkuat wawancara dengan seorang karyawan GBHM. Dia bilang, terjadi pembukaan lahan gambut dengan membakar 15-25 hektar.

Perusahaan lain pantauan FWI ialah PT Bhumireksa Nusa Sejati (BNS) di Kaltim. Hasil pemantauan memperlihatkan, perusahaan itu menanam sawit di lahan gambut dengan kedalaman mencapai empat meter. Hal ini bertentangan dengan Permentan nomor 19 tahun 2009 yang menyatakan bahwa penanaman hanya bisa dilakukan di lahan gambut kurang dari tiga meter. Hal tersebut juga diatur dalam prinsip dan kriteria ISPO.

 

Sawit cipta konflik. Seratusan warga masyarakat adat Moi dari tiga Distrik di Kabupaten Sorong, yaitu Distrik Klaso, Saengkeduk dan Distrik Persiapan Selekobo melakukan aksi menolak perkebunan sawit di perempatan jalan masuk ke ibukota Distrik Klaso. Foto: Agus Kalalu

 

Linda mengatakan, masih banyak konflik terjadi di konsesi. Sepanjang 1990-2010, ada 563 kasus konflik sektor perkebunan melibatkan masyarakat adat atau lokal.

Data HuMa, misal, pada 2012 mencatat ada 232 konflik sumber daya alam dan agraria di 98 kota kabupaten atau 22 provinsi dengan luas konflik 2.043.287 hektar. Lalu, 119 konflik dari perkebunan.

Data dilansir KPA 2015, menyebut angka 252 konflik agraria telah terjadi, 127 konflik sektor perkebunan dengan melibatkan 108.714 kepala keluarga.

“Prinsip dan Kriteria ISPO hanya menitikberatkan pada perolehan lahan kosong atau pertanian. Namun faktanya pembangunan perkebunan kelapa sawit sering dialokasikan di dalam kawasan hutan. Ia juga tidak menjelaskan dengan rinci mengenai status kepemilikan lahan masyarakat adat. Sehingga perlu diperjelas,” katanya.

Soelthon Gussetya Naggara, Direktur Eksekutif FWI menyoroti kelembagaan dan standardisasi ISPO. Selama enam tahun, katanya, kinerja ISPO belum bisa dibanggakan. Dia mencatat beberapa poin kelemahan ISPO.

“Dalam sistem sertifikasi ini, kewenangan Komisi ISPO terlalu besar. Komisi ISPO memiliki wewenang mulai membentuk sekretariat ISPO, tim penilai, Komite Penyelesaian Keluhan Sertifikasi, sampai membentuk anel arbitrase atau banding.”

Kewenangan terlampau besar, katanya, menjadikan kinerja Komisi ISPO lamban.  Komisi ISPO, katanya,  juga rentan praktik transaksi kepentingan.

Menurut dia, perlu kejelasan posisi dan peran masing-masing aktor di kelembagaan dan pada setiap proses sertifikasi. Dengan begitu bisa jaga kredibilitas sistem, kejelasan posisi dan pembagian kewenangan mempersempit peluang perilaku oportunistik. Termasuk penyimpangan kekuasaan berujung praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).

“Juga perlu ada pembagian kewenangan antara penyelenggara dan pengembang sistem, pembinaan para aktor, akreditasi, penilaian sertifikasi, serta penanganan keluhan.”

Kewenangan Komisi ISPO saat ini perlu ada delegasi kepada lembaga sertifikasi dan lembaga akreditasi. “Komisi ISPO seharusnya membatasi dan memperkuat peran sebagai pengembang sistem, pembinaan, dan evaluasi sistem keseluruhan,” katanya.

Sisi lain, Soelthon menganggap lembaga sertifikasi tak memiliki independensi dalam mengeluarkan sertifikasi ISPO.

Sertifikasi ISPO , katanya, hanya berlaku untuk usaha perkebunan tahap operasional. Padahal, katanya, kalau ingin melihat aspek keberlanjutan dari usaha perkebunan sawit, seharusnya penilaian mulai tahap pra-produksi, produksi, sampai pascaproduksi.

Ketika penilaian hanya diterapkan pada tahap produksi, pelanggaran-pelanggaran selama konstruksi bisa dikesampingkan. Padahal, katanya, pembukaan lahan tahap pra produksi justru banyak mengakibatkan tutupan hutan hilang hingga berimbas pada ekosistem.

Dia menilai, ISPO ini masih kesulitan menerapkan aspek ketelusuran (traceability). “Sudah seharusnya berlaku wajib untuk seluruh usaha perkebunan sawit tanpa terkecuali.”

Lembaga sertifikasi, katanya, sebagai pihak ketiga independen harus memiliki kendali penuh atas keputusan hasil sertifikasi berdasarkan audit ini.

Soelthon juga melihat, partisipasi publik masih minim. Padahal, partisipasi publik merupakan prasyarat utama menuju tata kelola yang baik.

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,