Tim Panel Expert Monitoring Populasi dan Habitat Badak Sumatera telah dibentuk. Tim akan fokus pada Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dan Taman Nasional Way Kambas, bentang alam yang merupakan habitatnya mamalia kebanggaan Indonesia ini.
Bambang Dahono Adji, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH), Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melalui SK No 42/KKH/A3/KSA.2/3/2017 tanggal 16 Maret 2017 telah menetapkan tim panel tersebut. Terhitung dari masa penetapan, para ahli ini bekerja hingga 31 Desember 2017 dengan melaporkan langsung progres kegiatan kepada Direktur KKH.
Tim panel diketuai oleh Moh. Haryono (Direktorat KKH) dan Gono Semiadi (Pusat Penelitian Biologi LIPI) sebagai wakil. Untuk susunan anggota ada nama Mochamad Indrawan (Universitas Indonesia), Hario Tabah Wibisono (FFI-IP), dan Sunarto (WWF-Indonesia) yang memperkuat formasi.
Dalam surat keputusan dituliskan dua tugas utama tim. Pertama, mereview hasil kegiatan monitoring populasi dan habitat badak sumatera yang telah dilakukan para pihak sebelumnya. Kedua, mempersiapkan teknis monitoring populasi dan habitat yang akan diimplementasikan semua pihak di semua landscape.
“Kondisi badak sumatera (Dicerorhinus sumatraensis) yang saat ini mengalami tekanan akibat perburuan dan aktivitas manusia, belum diketahui secara pasti populasinya, sehingga perlu dicermati upaya penyelamatannya,” uraian jelas di SK tersebut.
Senin, 27 Maret 2017, di Bogor, tim melakukan konsolidasi. Meski tidak berkekuatan penuh, bersama pegiat lingkungan undangan lainnya, tim panel coba menggali informasi kondisi badak sumatera terkini. Sebagai langkah awal.
“Tim Ahli ini independen, sehingga harus melakukan segera tindakan apa yang tepat untuk penyelamatan badak sumatera di tiga bentang alam tersebut. Ini berkaitan dengan SRAK (Strategi dan Rencana Aksi Konservasi) Badak yang berakhir 2017 dan akan disusun lagi tahun depan untuk sepuluh tahun kedepan,” tutur Gono Semiadi.
Gono menjelaskan, keputusan yang kemungkinan agak “ekstrim” harus diambil demi upaya penyelamatan satwa bercula dua ini. Ekstrim yang dimaksud adalah, penetapan habitat badak yang sesuai harus dilakukan terkait populasi yang ada sekarang, yang tersebar di beberapa kantong. “Namun, untuk menuju kesimpulan tersebut, analisa menyeluruh harus dilakukan agar tidak salah perhitungan.”
Tim Ahli sepakat, dari tiga habitat habitat yang difokuskan saat ini, TNBBS yang paling “urgent” sehingga diprioritaskan lebih dahulu. Ini dikarenakan meski kelengkapan data badak telah ada di taman nasional tersebut akan tetapi tofografi kawasan yang sulit dan ancaman perambahan kawasan yang nyata membuat keselamatan badak harus diutamakan.
“Aksi prioritas apa yang harus dilakukan di TNBBS, TNWK, dan TNGL inilah yang dikejar. Sekaligus sebagai bahan pertimbangan untuk penyusunan SRAK episode dua nanti,” paparnya.
Samedi, Direktur Program TFCA-Sumatera menuturkan, pihaknya berkomitmen kuat terhadap penyelamatan badak sumatera. Menurutnya, TFCA memiliki dana penyelamatan spesies sebesar 12,6 juta dollar Amerika untuk empat spesies di Sumatera yaitu badak, gajah, harimau, dan orangutan. Khusus badak, ada anggaran sebesar 6 – 7 juta dollar Amerika hingga tahun 2021 yang bisa diserap. “Siklus hibah ini sudah dibuka dan diutamakan NGO lokal.”
Kondisi badak sumatera yang diperkirakan tidak lebih dari 100 individu memang mengkhawatirkan. Konsolidasi populasi yang kuat dan bagaimana keputusan yang diambil harus dilakukan segera. “Kami dari TFCA akan mem-back up apapun keputusan pemerintah, tentunya melalui skala prioritas berdasarkan hasil rekomendasi yang diberikan Tim Panel tersebut,” terang Samedi.
Pengamanan TNBBS
Yuyun Kurniawan, National Rhino Conservation Coordinator WWF-Indonesia menuturkan, meski pihaknya memiliki kelangkapan data badak di TNBBS akan tetapi hal tersebut bukan sesuatu yang menjanjikan. Intensitas survei yang dilakukan dari 2012 – 2017, justru menunjukkan minimnya temuan badak dalam bentuk aslinya. Kalau tanda-tanda keberadaan badak dalam bentuk jejak tapak, bekas pakan dan lainnya, menurut Yuyun, sering dijumpai. Namun, tanda-tanda tersebut masih sumir karena jejak badak tidak jauh berbeda dengan tapir.
“Badak sesungguhnya, terakhir kali tertangkap kamera pada 2012 dan 2013. Hingga saat ini kami belum temukan lagi, meski lebih 50 kamera jebak dipasang dan intensitas ditingkatkan.”
Terlepas dari kondisi yang ada, keberadaan badak di TNBBS memang harus dipantau intensif. Terkait prediksi jumlah individu badak yang ada, Yuyun tidak berani berandai-andai. Namun, jika dilihat kondisi TNBBS yang tingkat gangguannya tinggi mulai dari perambahan, dan adanya jalan yang membelah taman nasional dipastikan akan memutus ruang gerak badak.
“Hal penting yang harus dilakukan adalah kita harus memastikan dimana keberadaan badak tersebut dan kita harus berani membuat keputusan penyelamatan, sebelum terlambat. Rekomendasi dari Tim Panel Ahli Badak sangat kita nantikan.”
Baca: Hidup Badak Sumatera Dibayangi Ancaman, TNBBS Perkuat Tim Pengamanan
Dihubungi terpisah, Kepala Balai Besar TNBBS Timbul Batubara kepada Mongabay Indonesia mengatakan, pertengahan tahun ini, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) akan menerapkan pendekatan Intensive Protection Zone (IPZ). Tujuannya, untuk melindungi kelestarian badak sumatera di wilayah tersebut, di hamparan seluas 100.000 hektare sebagai lokasi penerapannya.
“Pemilihan lokasi tersebut berdasarkan hasil analisis habitat, ketersediaan pakan, indikasi perjumpaan, dan lainnya. Kalau tidak ada kendala, lauching pendekatan IPZ akan dilakukan Juni nanti.”
Skenario penerapan akan dilakukan berlapis. “Tiga lapis. Ringkasnya, lapis pertama sebagai lapis keras (hard). Sama sekali tidak boleh ada gangguan. Lapis kedua, penerapannya dengan patroli. Dan lapis ketiga, merupakan lapis lembut (soft) yaitu penyadartahuan (awareness) kepada masyarakat,” ujarnya.
Penerapan IPZ, sambung Timbul, akan melibatkan 7 resort TNBBS. “Nanti, para kepala resort akan dilatih untuk mengoptimalkan segala sumber daya yang dimiliki demi perlindungan dan pelestarian badak sumatera. Dengan penerapan IPZ ini, diharapkan badak sumatera dapat berkembang biak dan populasinya bertambah.”
Menurut Timbul, penerapan IPZ diadopsi dari penerapan di Afrika yang diadaptasikan dengan kondisi TNBSS. “Kalau di Afrika, kawasan yang menjadi lokusnya dipagar beton. Untuk di TNBBS, kurang memungkinan, karena selain mahal kondisi geografisnya juga tidak sesuai,” terangnya.
Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Deddy Rusman (2016) badak sumatera diperkirakan memilih tutupan lahan hutan primer dengan keluasan yang paling besar 100,502 hektare. Luasan itu diketahui dari hasil tumpang susun antara temuan jejak badak pada 2011 – 2014, 2015 dan 2016, dengan penutupan kawasan TNBBS.
Rusman menambahkan, badak sumatera di TNBBS cenderung memilih daerah dengan kisaran curah hujan rata-rata 4-7 mm/hari, relatif dekat sungai, jauh dari segala aktivitas manusia, areal relatif datar dan kondisi dingin sebagai habitat. Dari luasan 100,502 hektare itu, diketahui daerah yang paling sesuai bagi kehidupan badak sumatera sekitar 25,940.80 hektare.
“Informasi mengenai variabel lingkungan yang berpengaruh terhadap keberadaan badak sumatera dan struktur lansekap habitatnya, dapat dipertimbangkan untuk mencari daerah lain yang jika direhabilitasi akan memiliki kriteria sesuai bagi habitat badak sumatera. Adanya peningkatan kualitas dan kuantitas habitat bagi badak sumatera diharapkan dapat menambah populasi yang ada.”
Referensi tambahan:
Rusman, Deddy, 2016, Prediksi Kehadiran Badak Sumatera (Dicerorhinus Sumatrensis) dan Analisis Struktur Lanskap Habitatnya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Tesis, UGM