Monster Ini Menyayangi Bumi

Menyambut tahun baru Saka 1939 ini, sekelompok anak muda dari Desa Penarungan, Mengwi, Kabupaten Badung, Bali menciptakan sebuah monster ramah lingkungan. Namanya Samantha Mahotama.

Monster ini adalah salah satu dari ribuan ogoh-ogoh, karya seni berukuran besar yang diarak pada malam Nyepi (27/03/2017)  oleh sebagian warga pulau dewata. Keesokan harinya, pada Nyepi Bali akan mengheningkan diri, seluruh aktivitas di area publik terhenti termasuk bandara, pelabuhan, dan jalan raya. Kecuali ada situasi darurat.

Samantha Mahotama istimewa karena ia diciptakan dengan kesadaran penuh penghargaan pada alam, seperti filosofi Nyepi. Jika monster-monster lain yang diarak terbuat sebagiannya dari bahan baku sintetis, Samantha nyaris 100% bahan alami.

Ogoh-ogoh biasanya dibuat dalam bentuk menyeramkan, perwujudan Bhuta Kala atau sifat-sifat buruk manusia. Hanya tradisi tambahan bukan ritual agama. Diarak untuk refleksi diri kemudian dibakar atau pralina usai parade. Tradisi mengarak ogoh-ogoh ini membuat malam sebelum Nyepi sangat riuh di jalanan, dengan suara gamelan bahkan musik disko.

 

 

Dalam konteks ini, Samantha Mahotama dibuat dalam upaya penyelamatan bumi dari sifat rakus manusia yang merusaknya. Monster ini adalah perwujudan mahluk hidup yang ada di bumi yakni tumbuhan. Saudara tertua manusia yang memiliki bayu atau energi angin. Samantha Mahotama artinya mahluk hidup pelindung bumi dan mahluk lainnya. Sementara manusia harusnya bisa lebih melindungi alam karena dianugerah Tri Pramana yakni Sabda, Bayu, dan Idep (pikiran).

Sekaa Teruna Teruni (STT) Acarya Perkasa, semacam karang taruna ini mewujudkan Samantha bersama komunitas Gadgad Organic. Menggunakan nyaris semua bahan dari alam seperti bambu, pewarna alami, kertas bekas, dan lem kanji. Hanya tambahan selembar kain yang mengandung material sintetis. Biasanya ogoh-ogoh lain dibuat dengan kandungan besi, plastik, dan pewarna sintetis.

“Setelah selesai digunakan, ia tak merusak bumi karena ramah lingkungan tak mencemari udara dan tanah. Bisa terurai dengan cepat,” kata Gede Agustinus Darmawan, warga desa setempat dan pegiat Gadgad Organic yang terlibat dalam proses perencanaan sampai eksekusi ini. Pria muda ini menjadi salah satu patron anak muda di Banjar Blungbang, Desa Penarungan, lokasi ogoh-ogoh ini.

 

Gede Agustinus Darmawan dari Gadgad Organic yang menjadi patron anak muda Banjar Penarungan mewujudkan mosnter peduli bumi yang akan diarak saat malam jelang Nyepi nanti. Gadgad membuat sablon kaos dengan pewarna dari dedaunan. Foto: Luh De Suriyani

 

Selama sekitar dua bulan, puluhan remaja bahu membahu menyiapkan desain dan diskusi bagaimana agar Samantha benar-benar perwujudan semangat menghormati alam. Mereka ingin belajar menjadi generasi yang bertanggungjawab.“Untuk buat ogoh-ogoh ini kami minta dari alam dan kami kembalikan dengan menanam pohon sekitar desa,” ujar Adi Wisnu Ambara, ketua STT Acarya Perkasa. Misalnya bambu diperoleh di sekitar desa, demikian juga dedaunan sebagai pewarna alami.

Sebagian anak muda terlibat sehingga belajar dan praktik langsung.Bagaimana alam sudah menyediakan bahan baku asalkan mau memelajari caranya. Untuk membuat pewarna alami misalnya mereka mulai mencari daun mangga, ketapang hitam, dan mahoni. Tumbuhannya mudah ditemukan.

Dedaunan ini dicacah kemudian dimasak dengan api kecil. Diendapkan satu hari sebelum disaring. Endapannya menjadi pupuk organik. Warna yang dihasilkan seperti hijau, hitam, merah marun, dan abu-abu.

Proses mewujudkan Samantha Mahotama dimulai dari pembuatan rangka dari bambu, biasanya ogoh-ogoh lain dari besi agar lebih cepat selesai. Bilah bambu yang sudah diiris tipis dijalin dengan tali bambu.

Kemudian dilanjutkan dengan prose penganyaman badan dengan bambu juga. Pembentukan detail dengan jalinan kertas bekas sehingga tubuhnya bergurat-gurat seperti tekstur pohon. Bagian paling detail adalah kepala dari kertas bekas juga. Sebagai lem, digunakan tepung kanji yang direbus.

Sentuhan akhir yang cukup lama pewarnaan, dengan keseluruhan menggunakan dedaunan dan kulit kayu. Cat dibalurkan beberapa kali agar lebih pekat.

 

Aneka jenis daun seperti daun mangga, ketapang, dan lainnya serta warna cat yang dihasilkan. Foto: Luh De Suriyani

 

Selain Samantha, STT Acarya Perkasa juga membuat atraksi topeng yang pakaiannya dirakit dari bahan-bahan alami seperti daun pisang kering (kraras). Mengadopsi Topeng Brutuk di desa tua Trunya, Kabupaten Bangli.

Semangat untuk mengurangi input sintetis dalam pembuatan ribuan ogoh-ogoh di Bali jelang Nyepi ini mendorong pemerintah membuat larangan menggunakan styrofoam karena material yang sangat buruk. Gabus sering digunakan tahun-tahun sebelumnya karena proses pembuatan lebih cepat dan mudah diwarnai.

Tiap kabupaten dan kota menjadikan atraksi ogoh-ogoh sebagai lomba dan menyantumkan imbauan menggunakan material yang lebih ramah lingkungan. Styrofoam bisa diganti dengan anyaman bambu sebagai badan ogoh-ogoh namun masih menggunakan material sintetis lainnya.

Sementara itu Samantha Mahotama membuktikan ogoh-ogoh bisa dibuat dengan 99% material alam. Respon warga dari kehadiran monster ini sangat baik dengan apresiasi pada pembuatnya lewat media sosial.

Pada 2015, Marmar Herayukti, seorang arsitek ogoh-ogoh, vokalis band metal, dan tattoo artist di Denpasar mengampanyekan ogoh-ogoh tanpa styrofoam.

“Ia memulai di Gemeh, banjarnya sendiri. Selain kembali menggunakan rakitan bambu, kertas bekas, dan lainnya. Ia juga mendorong mengurangi cat dengan thiner yang juga berbahaya. Bisa diganti dengan cat air untuk mewarnai ogoh-ogoh.

Perhitungan penghematan juga sangat tinggi. Marmar menghitung biasanya ogoh-ogoh gabus itu menghabiskan Rp6-25 juta tergantung ukuran. Sementara dari rakitan bambu, maksimal Rp10 juta sudah bagus hasilnya.

Kebutuhan gabus untuk sebuah ogoh-ogoh ukuran tinggi 3-5 meter sekitar 3-5 balok gabus yang besar, dengan harga Rp800 ribu per balok. Jadi menurut Marmar sekitar Rp4 juta biaya bahan baku gabus saja.

Sementara dengan rakitan bambu menghabiskan 20 batang dengan harga sekitar Rp15 ribu per batang. Ditambah anyaman bedeg 10 ikat dengan harga Rp30 ribu. Jatuhnya kurang dari Rp1 juta. Styrofoam terbukti menguras kantong dan meracuni semesta.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,