Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) punya penghuni baru. Pada 7 Februari 2017, Tarsius fuscus atau balao cangke–dalam bahasa lokal–di kandang pengamatan TN Babul, melahirkan. Seluruh staf menyambut penuh bahagia.
Akhir Maret, kabar baru tersebar. Pado, staf Balai TN Babul yang menjaga satwa, terlihat ceria. Setiap malam, dia pakai senter kepala dan jaring penangkap mencari belalang untuk pakan tarsius. “Akhirnya melahirkan. Senang,” katanya.
Tarsius, salah satu primata kecil di dunia. Binatang nokturnal alias aktif malam hari ini berukuran kecil, sebesar kepalan tangan. Ekor panjang dan berbulu. Primata ini memiliki empat kaki, lima jari. Pada ujung-ujung jari, berbentuk bulat– kemungkinan meredam suara saat melompat. Letak kuku juga unik, berdiri tegak dan agak meruncing.
Secara fisik, untuk membedakan tarsius berita dan jantan bisa dari warga. Jantan coklat dan lebih gelap. Untuk betina coklat lebih terang.
Di alam liar, tarsius mampu melompat hingga jarak tiga meter dari satu dahan ke dahan lain. Bahkan, dapat memburu mangsa ke lantai hutan. Keunikan khas primata ini, kepala mampu memutar 180 derajat, wajah lucu dengan mata besar dan bulat berwarna merah.
Tarsius tergolong satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 dan Peraturan Pemerintah No.7/1999. Satwa ini masuk Appendiks II dalam perdagangan internasional atau Convention on International Trade in Endangered Species (CITES 2003).
Menjelang siang, Kamis (30/3/17), ketika saya berkunjung ke kandang pengamatan bawah, dua pasangan tarsiu sedang menempel di batang bambu. Kepala menggeleng-geleng memperhatikan saya saat mendekati.
Sebenarnya yang saya lakukan mengganggu, karena siang hari waktu istirahat mereka.
Di Taman Nasional Babul, ada dua kandang pengamatan. Yang bagian bawah ada sepasang tarsius, sedang hamil sekitar dua bulan. Kandang atas, pasangan sudah melahirkan anak awal Februari. Saya tak ingin mengganggu bayi hingga harus menunggu malam hari.
Indra, peneliti tarsius dari Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar mengatakan, usia kehamilan primata sekitar enam bulan. “Mungkin saja, dalam keadaan normal di alam liar, setahun bisa melahirkan dua kali. Dan hanya satu anak,” katanya.
Usia hidup tarsius di alam bisa 14 tahun dengan perbandingan dari sejawat di utara (Tarsius tarsier). Literatur tentang fuscus, katanya, masih sangat minim.
Primata ini masuk dalam famili atau keluarga Tarsiidae, di Sulawesi terdapat 11 jenis masing-masing; Tarsius tarsier, Tarsius fuscus, Tarsius sangirensis, Tarsius pumilus, Tarsius dentatus, Tarsius pelengensis, Tarsius lariang, Tarsius tumpara, Tarsius wallacei dan dua jenis lain belum diberi nama.
Secara umum, tarsius di Sulawesi memiliki warna putih di bagian belakang telinga. Panjang tubuh antara 85–160 mm dan panjang 135–275 mm. Berat tubuh jantan dewasa antara 75–165 gram.
Tarsius fuscus di pegunungan karst Maros Pangkep dalam pengamatan TN Babul pada 2011, di hutan primer primata ini tidur di rongga-rongga pohon, rimbunan tanaman merambat, bambu, atau ceruk atau celah tebing karst.
Ia hidup berkelompok masing-masing antara satu sampai empat. Kehidupan kelompok ini jugalah yang kemungkinan mengahasilkan suara has untuk menandakan kawanan.
Menurut Pado, jika menjelang subuh atau ketika matahari mulai muncul, siulan tarsius berulang-ulang dan cepat. “Saya kira itu untuk memanggil kawanan pulang,” katanya.
Tarsius juga mengenal pembagian dan kekuasaan teritori kelompok. Ketika saya dan Indra, sedang duduk mengamati induk tarsius di kandang atas, jantan beberapa kali kencing mengeluarkan aroma pesing khas.
“Kalau kencing, tarsius ini berjalan mundur seperti mencakar-cakar batang dahan yang ditempati. Itu untuk menjaga teritori dan kawasan.”
Menjumpai si bayi mungil
Indra memegang sebuah ballpoint tinta hitam dan selalu menempel di buku catatan. Seorang gadis kecil–anak Pado– membantu memperhatikan jam. Malam itu, dia fokus mencatat perilaku sang induk. Ketika induk melompat, tangannya– karena dia menulis dengan tangan kiri – akan bergerak cepat. “Jam berapa itu?”
“Melompat kemana tadi?”
“Itu lagi makan ya?”
“Lagi menyusui anaknya ya?”
Berapa lama sang induk menempel di dahan, pohon, atau rangka bangunan kandang akan dicatat detil. Berapakali dia melompat terekam di catatan waktu.
“Malam kemarin saya fokus pada anaknya. Dia sudah bisa melompat sekitar 60 sentimeter,” katanya.
Menjelang pukul 22.00, sang induk makin gesit dan lincah. Tiga buah bola lampu dalam kandang pengamatan membuat kami leluasa melihat tingkah lakunya. Makin larut, si anak mulai tak segan melompat mendekati kami.
“Ih, dia (bayi tarsius) sudah bisa makan sendiri,” katanya.
“Bayi itu jenis kelaminnya apa?” kata saya.
“Belum tahu. Saya belum berani menangkap dan memegangnya. Harus biarkan benar-benar mandiri dulu. Setelah bayi tidak menyusu lagi,” katanya.
Kalau bayi kena pegang, ada kemungkinan induk enggan menyusui lagi.
Kekhawatiran itu ada benarnya. Pada 2013, tiga tarsius yang ditangkarkan Taman Nasional Babul mati tiba-tiba. Kala itu, ada beberapa orang berkunjung dan mendekati kandang. Salah seorang pakai parfum aroma menyengat.
“Waktu pulang itu pengunjung, tiba-tiba tarsius langsung kayak mabok dan jatuh. Tidak lama mereka mati,” kata Pado.
“Sekarang, ada kelahiran individu baru. Ada yang bilang ini keberhasilan. Saya bilang belum. Berhasil itu, kalau si anak menghasilkan keturunan,” ucap Indra.
Bagi Indra, pertumbuhan bayi dalam kandang pengamatan lebih cepat dibandingkan hidup di alam. Kemungkinannya, karena persediaan pakan cukup. Di alam, tarsius sebagai predator hama, semua serangga akan dimakan.
Dalam semalam, tarsius dewasa mampu melahap antara 20 hingga 50 belalang. Selain itu, memakan kadal dan burung kecil. Pemangsanya, ular dan burung hantu.