RASI: Zonasi untuk Pelestarian Pesut Mahakam Bakal Terwujud

 

 

Rencana zonasi habitat pesut (Orcaella brevirostris) di Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur, yang diusulkan oleh Yayasan RASI (Rare Aquatic Species of Indonesia) bakal terwujud. Perjuangan yang dimulai 2012 itu, mulai menampakkan titik terang. Diharapkan, zonasi ini disetujui sebelum Mei 2017 berakhir.

Penasihat program ilmiah sekaligus peneliti utama RASI, Danielle Kreb mengatakan, pihaknya pada pertengahan Desember 2016 telah menemui Bupati Kukar Rita Widyasari, membahas usulan zonasi pelestarian habitat pesut tersebut. Terlihat jelas tanggapan positif Bupati Rita, mendukung usulan tersebut. “Saya yakin berhasil, meski prosesnya lama, kami tidak berhenti, ” kata dia.

Untuk Zona Pelestarian Habitat Pesut Mahakam, RASI mengusulkan area seluas 43.379 hektare. Mencakup daerah penyangga 100 meter dari tepi Sungai Mahakam. Kabar baiknya, masyarakat setempat menyetui wilayah tersebut, termasuk rawa.  “Rawa dijadikan zona pelestarian karena rawa dan sungai sebagai habitat pesut itu berkaitan. Ada daya dukung. Rawa biasanya menjadi tempat ikan-ikan bertelur. Dengan demikian pakan pesut semakin banyak,” jelas Danielle.

 

Baca: Lagi, Pesut Ditemukan Mati di Sungai Mahakam

 

Tercatat, 2013 hingga 2014, RASI telah melakukan pemetaan partisipatif dan sosisialisasi di setiap desa di zona pelestarian habitat Pesut Mahakam. Pada 23 – 26 Februari 2015, lokakarya telah dilaksanakan di Muara Muntai, Sangkuliman, dan Muara Kaman, Kukar. Sosialisasi zona pelestarian ini telah mendapatkan dukungan penuh masyarat beserta peraturannya.

“Zonasi ini sangat penting. Beberapa kali kita temukan pesut mati dengan berbagai faktor. Ada yang terkena racun atau jaring. Kalau terus dibiarkan, jumlah pesut akan terus menurun dan kepunahan telah tampak di depan mata,” sebutnya.

 

Pesut mahakam yang nasibnya harus diperhatikan. Foto: akun Facebook RASI

 

Penyebab kematian

Danielle mencatat, di sepanjang Sungai Mahakam dan beberapa anak sungainya, terdapat aktivitas perusahaan batubara. Kegiatan tersebut diyakini dapat menimbulkan dampak negatif bagi perikanan. Pasalnya, butiran batubara yang jatuh ke sungai selama proses pemuatan dan pengangkutan serta limbah pencuciannya yang berdekatan sungai melalui jalur sungai kecil, akan menurunkan kualitas air dan mengganggu keseimbangan ekosistem sungai.

“Hal tersebut dapat mengakibatkan menurunnya kelimpahan ikan, akibat perubahan kualitas air. Apalagi, saat ini di Muara Kaman hingga Kota Bangun ada pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit.”

Ancaman lain kematian pesut berdasarkan penelitian dan wawancara yang dilakukan Danielle dalam rentang 1997 – 2012 adalah akibat renggek sebesar 66 persen. Kebanyakan, pesut terjerat rengge pada ukuran mata jaring 10-17,5 cm. “Kita harap pemerintah setempat bisa memberlakukan peraturan untuk tidak memasang renggek di malam hari. Pesut mungkin tidak melihat jaring dan hanya melihat banyak ikan berkumpul, ketika dia menabrak jaring, dia terjebak dan mati lemas.”

Selain renggek, ada pula kematian langsung pesut akibat tertabrak kapal sebesar  11% yang umumnya pesut remaja. Sedangkan kematian sengaja dibunuh sebesar 7% dari semua yang tercatat yang kebanyakan terjadi di daerah terisolir. Untuk kematian saat dilahirkan sebesar 4%, serta akibat terperangkap di air dangkal, luka fatal akibat diserang ikan toman dan penangkapan ikan dengan setrum sebesar 3%.

“Selain itu, ada pula ancaman lain selain kematian langsung, seperti sedimentasi, polusi udara, bahan kimia, dan penurunan jumlah mangsa.”

 

Peta usulan zonasi pesut mahakam di Kabupaten Kutai Kartanegara. Sumber: RASI

 

Ancaman mendatang

Danilelle menyatakan, ancaman kematian pesut di masa mendatang adalah degradasi habitat yang terus berlangsung yaitu penebangan hutan, polusi suara dan bahan kimia. Polusi suara dapat menyebabkan stres yang berdampak pada penurunan tingkat reproduksi, sedangkan polusi bahan kimia mengakibatkan keturunan yang tidak sehat atau bahkan kematian.

“Yang tidak kalah meresahkan adalah ancaman menurunnya sumber makanan akibat teknik penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan, terutama menggunakan listrik.”

Bagaimana dengan tingkat perkawinan sedarah? Hasil analisa kelangsungan hidup populasi menunjukkan, tingkat perkawinan sedarah dalam populasi ini masih rendah. Bila dilihat dari populasi pesisir Orcaella brevirostris yang tersebar dalam kelompok-kelompok kecil, dapat ditarik kesimpulan bahwa pesut mahakam berasal dari sebuah populasi kecil yang mampu menjaga keanekaragaman genetikanya.

Sebelum dampak tekanan akibat perkawinan sedarah terlihat, dipastikan populasi pesut akan mencapai satu tahap ketika tidak mungkin lagi bertahan hidup. Ini dikarenakan jumlah kematian dan kelahiran yang tidak seimbang, sehingga populasinya tidak mampu berkembang lagi.

“Usulan zonasi ini berbicara bagaimana kita melestarikan habitat pesut dan nelayan. Kita tidak meminta pemerintah menghentikan semua ponton. Dipastikan tetap boleh lewat, tapi di daerah yang aman dengan nuansa yang tidak menggaggu pesut. Kita harapkan tidak ada lagi pencemaran lingkungan, seperti pembuangan limbah ke sungai atau sampah. Ini kita lakukan untuk melestarikan kehidupan pesut yang jumlahnya saat ini tidak banyak,” pungkasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,