Triliunan Rupiah Telah Dikucurkan, Tapi DAS Citarum Tetap Rusak. Kenapa?

Selama 2 dekade terakhir, dana triliunan rupiah telah dikucurkan untuk memperbaiki kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, Jawa Barat. Sudah sejak lama kondisi Sungai Citarum masuk kategori sungai dengan tingkat pencemarannya tertinggi di dunia.

Berdasakan data dari Dinas Lingkungan Hidup Pemprov Jabar, sebanyak 48% industri yang diamati, rata-rata membuang limbahnya 10 kali melampaui baku mutu yang telah ditetapkan. Sekitar 800 industri berada di DAS Sungai Citarum yang memiliki panjang 300 kilometer dengan melintasi 12 kabupaten/kota.

Menurut Kepala Bidang Pencemaran Dinas LH Jabar, Eva Fandora, mengatakan LH Jabar telah mencanangkan Program Perencanaan Daerah (Properda) khusus untuk mengukur kinerja perusahaan dari aspek pengelolaan air, dokumen lingkungan, pengelolaan pencemaran udaranya dan limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3).

“Yang berhak menentukan kualitas air Citarum adalah pusat. Tapi Berdasarkan metode storet dan titik yang telah dipantau oleh LH Jabar, kondisinya tercemar berat. Sampai saat ini pusat belum memutuskan kualitas Citarum tapi bisa dikatakan masuk klasifikasi kelas 2 (pencemaran tinggi),” kata Eva saat ditemui usai acara Forum Bisnis Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Restorasi Citarum di Kantor Puslitbang SDA, Jalan Dago, Kota Bandung, Selasa (21/03/2017).

 

 

Dia mengatakan Properda sendiri baru diluncurkan pada tahun 2015. Terhitung sejak dimulai program tersebut, LH Jabar sudah memeriksa 200 perusahaan di DAS Citarum, yaitu di Wilayah Bandung Raya dan Kabupaten Sumedang. Namun, di tahun 2017 Properda akan diujicobakan mengawasi di 9 kabupaten/kota.

“Pendanaannya dari APBD sebesar Rp1,6 miliyar terdiri dari dana sosialisasi dan pelatihan. Dalam jangka pendek kami akan melakukan sosialisasi ecovillage atau desa binaan di pemukiman penduduk yang berdekatan dengan sepadan Sungai Citarum. Karena peran serta masyarakat juga sangat dibutuhkan,” tambahnya.

Setiap harinya, Sungai Citarum menampung buangan limbah tidak hanya dari industri tetapi juga limbah domestik  dan limbah pertanian serta peternakan. Tak hanya itu, sungai yang sarat akan nilai sejarah ini dibebani volume sampah yang mencapai 500.000 meter kubik per tahun.

Dapat dipastikan betapa buruknya kualitas air Sungai Citarum. Padahal, dari aliran Sungai Citarum terdapat 3 waduk yang digunakan sebagai suplai air baku untuk Wilayah Jabar dan DKI Jakarta, irigasi serta PLTA.

Greenpeace pernah melakukan investigasi mengenai bioakumulasi, dengan sampel dua spesies ikan nila (Oreochromis nilotica) dan ikan hampal (Hampala macrolepidota) yang hidup di Sungai Citarum. Hasilnya terkandung logam berat seperti kadmium (Cd), tembaga (Cu), nikel (Ni), dan timbal (Pb).

Penelitian serupa juga dilakukan oleh PT Indonesia Power dan Universitas Padjadjaran di Waduk Saguling tahun 2014, dengan hasil kualitas air Sungai Citarum tidak memenuhi standar kualitas normal.

Terkait pencemaran, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Wilayah Jabar, Sugih Wiramikara, menegaskan pihaknya bertanggung jawab mengenai industri yang kurang optimal dalam mengolah Instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Untuk solusi kedepan, KADIN akan menunjuk salah satu pengeolala untuk mengolah air limbah secara kolektif untuk mempermudah pengawasan.

 

Aktivis Greenpeace menandai saluran pembuangan limbah yang mengalir ke Sungai Citarum. Foto: Greenpeace

 

Sugih mengatakan akan membuat water treatment di beberapa titik di sempadan Sungai Citarum. Dia mengungkapkan ada investor dari Singapura, Korea Selatan dan Jepang yang tertarik pada bisnis pengolahan limbah. Dari proses tersebut air limbah diubah menjadi air layak pakai yang kemudian akan dijual lagi sehingga bisa mengurangi pengambilan air tanah.

“Kami sebagai pengusahan memakai prinsip ekonomi, tidak ingin ribet terkait urusan IPAL sebetulnya. Bukan mahal tapi cuma lama prosesnya. Makanya, kami menghimpun para pengusaha untuk mau gotong royong membangung instalasi IPAL skala besar sehingga bisa meminimalir beban perusahan terutama diproses pengolahan. Tapi juga ada niatan untuk memperbaiki lingkungan,” katanya.

 

Program Konservasi

Persoalan yang mendera Sungai Citarum bukan tanpa penanganan, program – pogram berlabel konservasi pun sering dicanangkan oleh pemerintah daerah/pusat.

Hampir 20 tahun terakhir, dana triliunan rupiah telah dikucurkan guna keperluan reboisasi kawasan hulu dan rekayasa fisik DAS Citarum. Namun, kualitas air Sungai Citarum sampai saat ini belum pernah memenuhi standar kualitas air yang ditetapkan oleh pemerintah pusat/daerah.

Dari data yang dihimpun Mongabay, tercatat Program Kali Bersih (PROKASIH) pertama diluncurkan pemerintah tahun 1989 silam untuk menanggulangi kualitas Sungai Citarum saat itu. Lalu tahun 2007, ada Program Integrated  Citarum  Water  Resources Management  Investment  Program (ICWRMIP) atau Pemulihan Citarum Terpadu. Terakhir program yang sedang digalakkan adalah Citarum Bestari (Bersih, Sehat, Lestari).

Pemerintah Provinsi Jabar menganggarkan Rp25 miliar per tahunnya untuk merehabilitasi lahan kritis di hulu Sungai Citarum. Awal tahun 2017, Pemerintah Pusat melalui Dirjen Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga menggangarkan Rp257 miliar untuk rehabilitasi rusaknya lahan dan hutan di kawasan hulu Citarum dan Cimanuk.

 

Sungai Citarum. Foto : Greenpeace

 

Sebenarnya, program normalisasi Sungai Citarum sudah dimulai sejak tahun 1994 oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum. Hasilnya, telah terjadi pelurusan sungai sepanjang  kurang lebih 70 kilometer. Pada saat itu, Indonesia mendapat pinjaman 500 juta dollar AS dari Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk penanganan Citarum secara komprehensif.

 

Persoalan Banjir “Abadi”

Selain kasus pencemaran, masalah lain yang sulit dihilangkan dan terus terjadi adalah tentang bencana banjir “abadi” di kawasan pemukiman penduduk sekitar bantaran DAS Citarum. Daerah tersebut memang langganan banjir tepatnya di Kecamatan Dayeuhkolot, Bojong Soang dan Baleendah yang masuk di Wilayah Kabupaten Bandung.

Ketika memasuki musim penghujan, wilayah itu akan terendam banjir setinggi 60 – 200 sentimenter. Kebanyakan warga terlihat pasrah karena sudah terbiasa menghadapi banjir yang terus berulang setiap tahunnya. Kasus banjir kemarin saja telah mengungsikan lebih dari 1000 Kepala Keluarga (KK). Tak banyak dari mereka ingin pindah tapi tak sedikit pula yang ingin bertahan dengan asa menunggu janji pemerintah menetaskan persoaln banjir.

Proyek strategis nasional lainnya yang segera dilakukan untuk menanggulangi banjir yakni dengan membangun kolam retensi di Desa Cieunteung, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Proyek itu dikerjakan melalui Satuan Kerja Pelaksanaan Jaringan Sumber Air (PJSA) BBWS Citarum.

Kepala PJSA, Suwarno, mengatakan, pihaknya sudah melakukan pembebaskan lahan seluas 1,3 hektare dengan anggaran Rp33 miliar. Pada tahun ini urusan pembayaran ganti rugi kepada 146 KK diharapkan tuntas dan proyek tersebut bisa diselesaikan sesuai jadwal.

 

Kondisi Sungai Citarum di Desa Rajamandala Kulon, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Sabtu (12/11/2016). Akibat derasnya arus sungai menengelamkan 1 jembatan proyek PLTA Saguling. Foto : Dony Iqbal

 

Degradasi Lingkungan

Perlu diketahui, kondisi Wilayah Sungai Citarum telah mengalami degradasi yang cukup serius. Tetapi anehnya kondisi ini kadang luput dari perhatian semua pihak. Dalam waktu 10 tahun terakhir, penggunaan lahan di wilayah Sungai Citarum jelas terlihat dari penggunaan lahan hutan, rawa dan sawah yang semakin berkurang oleh pertambahan lahan untuk kebutuhan permukiman.

Hal ini semestinya mendapat perhatian lebih. Sebab pembukan lahanakan mengurangi luas daerah resapan air di wilayah Sungai Citarum.

Berdasarkan perhitungan KLHK, saat ini telah terjadi peningkatan suhu 0,8 derajat celcius dalam 50 tahun terakhir. Dibuktikan dengan curah hujan yang sedikit meningkat di musim penghujan antara 1 – 5 persen sedangkan hujan di musim kemarau cenderung menurun antara 5-20 persen.

Rata-rata curah hujan tahunan di Wilayah Sungai Citarum berkisar antara 2.000 mm untuk wilayah utara yang relatif datar, hingga 4.000 mm untuk wilayah selatan Jabar yang merupakan daerah pegunungan.

Kepala Bidang Kajian Kebijakan Puslitbang SDA, Adji Kriabandono, menuturkan, belum ada satu lembaga manapun yang khusus mengurusi Sungai Citarum secara kesuluruhan. Beberapa pihak masih sibuk dengan kinerja sesuai tugas pokok yang telah ditetapkan. Sehingga target atau solusi yang diharapkan pada tahap pengerjaannya sering terganjal batasan – batasan itu.

Untuk itu, pihaknya, lanjut dia, sedang merancang action plan agar terjadi sinergi dan kesepahaman antar lembaga yang mempunyai wewenang mengurusi Sungai Citarum supaya sesuai dengan apa yang ditargetkan.

“Diharapkan apapun pendekatanya untuk Citarum moga dapat disingkronkan,” tambahnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,