Apa Manfaat Ekonomi Biru untuk Sektor Kelautan dan Perikanan?

Indonesia ingin mempromosikan konsep ekonomi biru (blue economy) untuk sektor kemaritiman di seluruh dunia kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Konsep tersebut akan dikampanyekan, karena dinilai bisa membantu menyelamatkan ekosistem bumi yang semakin terpuruk akibat eksplorasi ekonomi dunia.

Deputi Koordinasi Bidang Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman Arif Havas Oegroseno di Jakarta, akhir pekan lalu mengatakan, konsep ekonomi biru bisa menjadi pilihan utama bagi semua negara di dunia, karena menawarkan konsep berkelanjutan dalam pelaksanaannya.

“Saat ini, kita mengalami berbagai permasalahan yang sama, yaitu yaitu kenaikan air laut karena pemanasan global, acidifikasi atau peningkatan kadar asam air laut, dan sampah plastik laut,” ungkap dia.

Karena permasalahan yang dihadapi secara bersama itu, Arif menyebut, Indonesia memiliki kepentingan untuk menunjukkan komitmen dan menggalang dukungan global dalam memanfaatkan potensi kelautan dengan pendekatan keberlanjutan sebagai inti dari konsep ekonomi biru.

 

 

Selain Indonesia, kata Ari, sesuai hasil konferensi PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan (United Nations Conference on Sustainable Development) yang dilaksanakan di Rio de Janerio, Brasil pada Juni 2012 lalu, masih banyak negara kepulauan dan negara pulau yang menggantungkan hidup mereka pada sumber daya laut dan perikanan.

“Miliaran orang bergantung pada laut untuk mata pencaharian dan ketahanan pangan oleh karena itu pendekatan pemanfaatan yang berkelanjutan sangat dibutuhkan. Ini yang menjadi pertimbangan Indonesia untuk mendorong ekonomi biru diterapkan di dunia,” papar dia.

Lebih jauh Arif mengutarakan, berkaitan dengan ekonomi biru, pada 2015 World Wildlife Fund (WWF) sudah melakukan pembahasan dan menghasilkan kesimpulan bahwa laut yang sehat itu potensinya sangat besar. Dari WWF, diketahui juga bahwa potensinya bisa mencapai USD24 triliun atau ekuivalen Rp319,560 triliun.

 

Promosi di PBB

Lebih jauh, Arif Havas Oegroseno menjelaskan, kampanye ekonomi biru di PBB dilakukan di sela-sela perundingan persiapan pembentukan norma internasional terkait keanekaragaman hayati di luar area 200 mil laut. Perundingan tersebut dilaksanakan di Markas Besar PBB New York, Amerika Serikat, 28-29 Maret 2017.

Menurut Arif, promosi yang dilaksanakan di PBB tersebut, erat kaitannya dengan penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Indian Ocean Rim Association (IORA) yang digelar di Jakarta awal Maret lalu. Dalam KTT tersebut, Pemerintah Indonesia berupaya menindaklanjuti bahasan konsep ekonomi biru dengan langkah yang lebih nyata.

“Kita ingin mempromosikan ke PBB tentang rencana aksi dari KTT IORA dengan menyelenggarakan pertemuan tingkat menteri ke-2 negara-negara anggota IORA tentang konsep ekonomi biru di Jakarta pada bulan Mei mendatang,” papar dia.

 

Kapal berjejer di pantai Nusa Lembongan, Klungkung, Bali. Foto : Wisuda

 

Saat berada di Markas PBB, Arif Havas menyebut, wakil dari Tonga dan Filipina di PBB memberikan tanggapannya. Kedua negara tersebut berharap ada inisiatif dari Indonesia terkait konferensi negara-negara pulau dan kepulauan dapat menjadi forum untuk mengatasi persoalan-persoalan khas negara pulau dan kepulauan.

Selain kedua negara tersebut, wakil dari Maroko dan Oman juga mengapresiasi kampanye Indonesia tentang ekonomi biru. Kedua negara tersebut mendorong Indonesia untuk menginisiasi pengembangan ekonomi biru di kawasan Samudera Hindia.

“Kedua kegiatan yang dilaksanakan delegasi Indonesia dan PTRI ini penting untuk menunjukkan kepemimpinan Indonesia dalam penuntasan persoalan kelautan global,” ujar dia.

 

Ekonomi Biru untuk Ekonomi Indonesia

Pemerintah Indonesia mengakui sektor kemaritiman sebagai sektor penting bagi perekonomian nasional. Hal itu, ditandai dengan masuknya sektor tersebut dalam sumbangan produk domestik bruto (PDB) hingga 20 persen setiap tahun. Jumlah tersebut, diyakini bisa terus ditambah karena potensi kemaritiman masih harus dikembangkan.

Demikian dikatakan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla saat berbicara di hadapan peserta forum World Ocean Summit (WOS) 2017 yang digelar di Nusa Dua, Bali, 22-24 Februari 2017. Menurut dia, untuk bisa meningkatkan jumlah PDB dari sektor kemaritiman, Indonesia harus mencari celah sebaik dan sebijak mungkin.

“Kami belum memanfaatkan potensi tersebut, padahal memang masih besar potensinya. Untuk itu, kami sedang fokus mempromosikan konsep blue economy agar bisa menuai hasil banyak,” ungkap dia.

 

Suasana pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada November 2016. Foto : Junaidi Hanafiah

 

Dalam pidatonya, Jusuf Kalla mengatakan, selain menyumbang hingga 20 persen PDB nasional, sektor kemaritiman, termasuk kelautan dan perikanan di dalamnya, disebutnya juga mampu menyerap tenaga kerja hingga 11,38 persen angkatan kerja nasional.

Salah satu upaya yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk mengeksplorasi potensi sektor kemaritiman, menurut Kalla, adalah melakukan kerja sama dengan organisasi pangan dunia (Food and Agriculture Organization/FAO). Kerja sama tersebut, dimaksudkan untuk menerapkan blue economy  yang memuat aspek saling menguatkan.

Adapun, aspek yang dimaksud, disebutkan Jusuf Kalla, adalah bagaimana memanfaatkan ekonomi maritim yang mengandung potensi luar biasa, memastikan konservasi dan perlindungan ekosistem laut berjalan dalam kegiatan ekonomi dengan tujuan untuk pembangunan aman yang berkelanjutan.

Terakhir, ujar dia, blue economy juga memuat nilai bagaimana menghargai karakteristik sosial dan budaya yang unik dari masyarakat yang terhubung ke laut. Jika aspek-aspek tersebut sudah dipahami dan diterapkan, Jusuf Kalla optimis sektor kemaritiman dengan blue economy bisa menyumbang pendapatan lebih besar lagi.

“Dari penerapan konsep blue economy, kita berharap ada lapangan kerja baru hingga 77.770 dengan potensi pendapatan setiap tahunnya mencapai Rp1,3 triliun,” jelas dia.

 

Keberlanjutan Kelautan dan Perikanan dalam Ekonomi Biru

Tentang konsep ekonomi biru tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berkomentar bahwa itu adalah cara yang baik untuk menjaga segala potensi kelautan dan perikanan yang ada di dunia, khususnya di Indonesia. Penjagaan yang dimaksud, di antaranya dari penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab.

“Kegiatan IUU Fishing adalah kegiatan yang akan menghancurkan potensi yang ada di laut. Untuk itu, harus ada penjagaan bersama, salah satunya dari PBB dan Uni Eropa. Kedua lembaga tersebut harus ikut mengawal pelaksanaan aturan IUU Fishing,” ucap dia.

Dengan konsekuensi hukuman tegas, Susi menyebut, ada dampak positif lain yang akan didapat oleh Indonesia dan negara lain di seluruh dunia. Dampak itu, adalah diterapkannya ekonomi biru yang tidak lain adalah pemanfaatan ekonomi di sektor kelautan dan kemaritiman dengan ramah lingkungan.

“Jadi antara pertumbuhan dan ekonomi kelestarian itu jalan berbarengan. Kita upayakan ekosistem di marine resources ini memperkuat produktivitas kita,” tutur dia.

 

Kapal yang menggunakan pukat hela (trawl) untuk menangkap ikan. Foto : youtube

 

Menurut Susi, sejak IUU Fishing terjadi di perairan Indonesia, potensi Indonesia sebagai negara pemilik garis pantai terpanjang kedua dunia, tidak bisa dimaksimalkan. Padahal, dengan panjang 97 ribu kilometer garis pantai, seharusnya Indonesia bisa menjadi negara produsen perikanan besar di dunia.

Namun, kata Susi, kenyataannya Indonesia hanya mampu menjadi peringkat ketujuh negara penghasil tuna di dunia, kalah dari Taiwan yang garis pantainya bahkan jauh di bawah Indonesia. Untuk itu, lanjut dia, pengelolaan perikanan berkelanjutan penting diterapkan di Indonesia.

“Saya pikir, dalam bisnis perikanan ini kita harus membuat tata kelola yang berkelanjutan dengan produktivitas yang baik. Bisnis yang menghasilkan produktivitas tinggi tanpa menjaga keberlanjutan hanya akan merugikan negara kita,” ujar dia.

Susi kemudian mencontohkan, pada periode 2000 hingga 2003, transaksi ekspor Indonesia mengalami fase penurunan yang sangat jauh hingga menyebabkan industri perikanan saat itu mengalami penurunan drastis. Semua itu, salah satunya karena tata kelola perikanan berkelanjutan tidak diterapkan.

Susi menilai, kesadaran masyarakat Indonesia akan kelestarian laut masih rendah dan harus ditingkatkan. Kata dia, salah satu upaya yang sedang digalakkan saat ini adalah pembangunan sektor perikanan dan kelautan dan mulai memperlihatkan hasil yang baik, meskipun secara umum stok ikan mengalami penurunan.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,