Ekowisata Banyuwangi : Mantan Pengebom Ikan itu Kini justru Menjaga Pesisir

Bagi Suyanto, ikan-ikan hiu di keramba penangkaran Bangsring Underwater (Bunder) Banyuwangi tidak terlihat menakutkan. Sebaliknya, bagi warga Denpasar, Bali itu, ikan yang biasanya dianggap suka menggigit manusia itu justru terlihat menarik.

Akhir Maret lalu, ketika liburan Nyepi, Suyanto pun nyebur ke dalam keramba di pesisir timur Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur tersebut. Keramba itu hanya berjarak kurang dari 100 meter dari pantai. Dengan membayar Rp5.000, Suyanto dan keluarganya bisa naik perahu cepat menyeberang ke Rumah Apung, tempat hiu-hiu itu dibudidayakan.

Dengan memakai baju pelampung dan snorkel, Suyanto pun menikmati hiu-hiu berenang di bawahnya. Ikan warna-warni di keramba yang sama dan tiga keramba lainnya makin memanjakan mata. Tak hanya bagi Suyanto tapi ribuan pengunjung lainnya.

Empat keramba masing-masing berukuran sekitar 2×2 meter itu berada di salah satu sisi Rumah Apung. Di depan dan belakang rumah mengapung itu, laut membiru dengan ikan warna-warni berenang di dalamnya. Puluhan turis, sebagian besar domestik, asyik snorkeling atau sekadar duduk di lantai kayu rumah apung sambil memberi makan ikan-ikan itu.

 

 

Di pantai lebih banyak lagi pengunjung. Hari itu jumlahnya mencapai lebih dari 1.000 orang. Ada yang memilih duduk bersama rombongannya di bawah teduh pohon cemara laut. Ada yang di gazebo. Ada pula yang mandi di laut dan main perahu. Sebagian lagi mengunjungi Pulau Tabuhan yang berjarak sekitar 30 menit dengan perahu mesin atau di melihat ikan di Rumah Apung seperti Suyanto.

 

Ekosistem Hancur

Maraknya pengunjung ke Rumah Apung maupun Bunder, tak pernah dibayangkan sama sekali oleh para nelayan di Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi, Jawa Timur. Hingga sekitar sepuluh tahun, kondisi ekosistem di bawah air justru sebaliknya, hancur. Terumbu karang rusak. Ikan nyaris punah.

“Kami sendiri yang merusaknya dengan bom dan potas untuk menangkap ikan,” kata Fauzan, salah satu nelayan.

Desa Bangsring berada di pantai timur Banyuwangi. Lokasinya menghadap Selat Bali yang memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Bali. Selama puluhan tahun, warga Bangsring dan sekitarnya menggantungkan hidup dari penangkapan ikan hias di selat itu, termasuk Fauzan. Mereka menjual ikan hias itu ke berbagai kota, termasuk Bali.

Untuk memudahkan penangkapan, mereka menggunakan bom dan potas. Hasilnya, ikan hias memang mudah didapatkan namun habitat mereka rusak. Pelan-pelan, ikan hias makin susah mereka dapatkan. Terumbu karang banyak mati.

 

Untuk menjaga kelestarian lingkungan, pengunjung yang snorkeling di perairan Bangsring, Banyuwangi, Jawa Timur, dibatasi. Foto : Anton Muhajir

 

Sukirno, salah satu nelayan sekaligus pengepul ikan hias, resah dengan kondisi tersebut. Dia kemudian mengajak sesama nelayan untuk mengubah pola penangkapan dengan cara lebih ramah lingkungan. Salah satunya dengan menggunakan jaring.

Tapi itu bukan pekerjaan mudah. “Dulu sulit banget mengajak nelayan untuk mengubah kebiasaan,” katanya. Salah satu sebabnya karena maraknya pungutan liar (pungli) dari aparat penegak hukum terhadap nelayan yang merusak lingkungan. Karena sudah merasa bayar pungli, nelayan pun melanjutkan mengebom dan menggunakan potas.

Melalui Kelompok Nelayan Samudera Bakti, Sukirno meyakinkan 27 nelayan anggota untuk tidak lagi mengebom dan memakai potas. Dengan tidak melanggar hukum, nelayan pun tidak lagi ditangkap polisi dan harus bayar pungli. “Nelayan pun aman. Mereka bisa membawa hasil tangkapan dengan utuh. Sebelumnya kan hasilnya terpotong untuk membayar polisi,” kata Ketua Kelompok Nelayan Samudera Bakti itu.

Dari situ nelayan makin percaya bahwa menangkap ikan hias tanpa potas dan bom justru lebih menguntungkan.

 

Rehabilitasi

Sejak 2010, mereka juga mulai menanam terumbu karang untuk merehabilitasi. “Tujuan awal kami hanya untuk mengembalikan terumbu karang dan ikan,” kata Sukirno. Pelan-pelan, terumbu karang dan ikan kembali seperti sedia kala di pesisir Bangsring. Tidak hanya warga lokal yang kemudian menikmati keindahan bawah lautnya tapi juga warga dari desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, atau bahkan negara lain.

Bangsring pun menjadi tempat wisata baru bagi penikmat perjalanan. Jualan utamanya adalah pesona bawah laut serta pesisirnya.

Popularitas Bangsring, menurut Sukirno, tak bisa dilepaskan dari tren orang berswafoto (selfie). Sejak anak-anak muda suka swafoto dan mengunggahnya ke media sosial, makin banyak orang berkunjung. Nelayan pun mulai melirik wisata bawah laut sebagai kegiatan yang mendatangkan keuntungan.

 

Pengunjung di pantai Bangsring, Banyuwangi, Jawa Timur, makin meningkat. Ekowisata Bunder tidak hanya mengubah perilaku tapi juga taraf hidup nelayan Bangsring. Foto : Anton Muhajir

 

Dengan modal Rp1,5 juta, mereka membeli peralatan snorkeling yang disewakan Rp 30 ribu per alat. “Tapi waktu itu tidak laku sampai cepat rusak,” kata Sukirno. Tarif sewa lalu diturunkan menjadi Rp25 ribu. Pada saat yang sama, Bangsring juga makin populer.

Seiring makin banyaknya pengunjung, ekowisata di Bangsring makin menggeliat. Tak hanya di laut tapi juga di darat. Kelompok Nelayan juga menanam ratusan pohon cemara laut di pantai. Tujuannya selain untuk mencegah abrasi laut juga untuk tempat berteduh.

Dengan merehabilitas lingkungan bawah laut, nelayan Bangsring justru memperbaiki taraf hidup mereka. Sehari-hari, mereka masih mencari ikan hias namun sekarang ada tambahan pekerjaan lain. Misalnya menjadi pemandu, menyewakan perahu, atau tukang parkir.

“Kalau musim ramai begini, kami kerja di sini dulu,” kata Fauzan yang sekarang juga jadi tukang antar ke Rumah Apung dengan perahu cepatnya.

Dari semula hanya 27 orang nelayan, sekarang 180 anggota. Ada 32 perahu cepat nelayan yang melayani para pengunjung Bunder tiap hari.

 

Pengunjung menikmati pantai Bangsring, Banyuwangi, Jawa Timur dengan bersantai di bawah pohon. Foto : Anton Muhajir

 

Perubahan

Sebagai ekowisata, Bangsring makin berkembang. Dari semula hanya satu rumah apung sumbangan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur, sekarang bertambah dengan rumah apung lebih besar dukungan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dari semula hanya ada snorkeling, sekarang mulai ada banana boat dan menyeberang ke Pulau Tabuhan.

Rehabilitasi juga terus dilakukan. Saat ini 500 rumah ikan (fish apartement) di kawasan seluas 15 hektare tersebut. Adapun di darat, penanaman cemara laut juga diperluas di sisi pantai sebelah selatan dari semula hanya di utara. Bulan lalu, mereka juga membuka dua kamar penginapan (homestay).

Sebagai kegiatan ekowisata, menurut Sukirno, Bangsring Underwater juga memberikan kegiatan edukasi, tak hanya wisata. Kini mereka sedang merintis Rumah Baca. Sebelum itu mereka sudah memberikan pendidikan konservasi laut. Pengunjung diajak menanam terumbu karang pula.

Beberapa mahasiswa, misalnya, dari Universitas Trunojoyo, Bangkalan dan Universitas Brawijaya, Malang melakukan kegiatan magang ataupun penelitian di sana. Keberhasilan Bunder juga ditularkan ke daerah lain, seperti Makassar, Wakatobi, dan Manokwari. Sukirno dan anggota kelompok lainnya melakukan pendampingan ke kelompok nelayan-nelayan lain untuk melakukan penangkapan ikan secara berkelanjutan serta konservasi.

Upaya lain yang mereka lakukan untuk menjaga agar kegiatan pariwisata tidak merusak lingkungan adalah bersih-bersih sampah laut (beach clean up) tiap Jumat dan memantau kondisi lingkungan. Mereka juga membatasi pengunjung yang melakukan snorkeling. Dalam sehari, hanya ada 250 alat yang disewakan.

Bagaimanapun juga, konservasi tetap menjadi tujuan utama mereka saat ini. Ekowisata dan manfaat lain hanya bonus. “Kami lebih mengedepankan konservasi daripada wisata. Pariwisata itu hanya jangka pendek. Kalau mengedepankan konservasi, maka pariwisata akan berkembang dengan sendirinya,” tegas Sukirno.

 

Sukirno, Ketua Kelompok Nelayan Samuder Bakti dan penggerak ekowisata Bangsring, Banyuwangi, Jawa Timur. Foto : Anton Muhajir

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,