Mengenal ‘Emas’ Hitam dari Toraja

 

Mobil tua, Suzuki Carry 1000 merah maron setiap hari nangkring di sudut Lapangan Bakti, Rante Pao, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Bak belakang mobil terbuka, bagian kursi dihilangkan, berganti papan datar guna meletakkan beberapa bahan racikan kopi. Pemiliknya anak muda, selalu pakai topi Stetson, topi koboi.

Kelana Street Coffee, begitu Eki, sang pemilik menamai kedai kopi mobil itu. Setiap hari sejak pukul 09.00-21.00 jika cuaca tak hujan, dia mampu menjual kopi sekitar 30 cup (cangkir) kecil.

“Saya sudah senang dengan itu. Di sini (Toraja) bukan tempat benar-benar untuk berburu keuntungan dari hasil jualan kopi,” kata pemilik nama lengkap Rezki Skretavara Paliling ini.

Eki lahir dari pasangan Toraja dan Bali. Dia sekolah di Bali, dan mencari nafkah sebagai peracik kopi. “Di Bali beberapa orang bercerita tentang kopi Toraja,” katanya. “Jadi sebagai orang Toraja, saya datang untuk mengenal kopi kampung sendiri,” katanya.

“Saya harap akan tetap menjual kopi terus. Seperti tadi, ini tanah kopi. Tanah yang diberi karunia kopi.”

Harapan sama dengan Micha Pali. Nama kedainya JAKKofie di Jalan Monginsidi. Eki dan Micha menjual kopi mengandalkan cita rasa. Biji kopi dipilih dan diperhatikan saksama. Mereka meracik dengan teknik seduhan khusus. Lebih nikmat menyeruput tanpa gula.

Penyajian bentuk ini, tentu berbeda dengan masyarakat Toraja umumnya. Di rumah-rumah warga, kopi bubuk diseduh dengan air panas dan gula. Aroma jadi bagian kedua. Kepekatan rasa jadi penentu.

Di Desa Awan Toraja Utara, Agustinus Takin Allo mempersilakan saya menikmati kopi yang diseduh istrinya. Kopi dipetik di kebun dan dikeringkan lalu digoreng sendiri. “Rasanya bagaimana?” kata Agustinus.

Saya belum sempat menjawab, ketika dia melanjutkan. “Ini kopi Toraja asli. Jadi kalau keluar daerah, saya selalu bawa kopi sendiri. Kopi di hotel-hotel atau di kampung orang itu rasanya tak sama dengan kopi Toraja,” katanya.

Di wilayah itu, Agustinus menjabat sebagai kepala lembang (kepala desa). Ada 400 kelurga di bawah pengawasan administrasinya. Sekitar 95% warga menggantung hidup sebagai petani ladang, kopi salah satu komoditi unggulan.

Inilah salah satu alasan kenapa saya mengunjungi Toraja. Mencari kopi dengan label “asli” Toraja.

Sejarawan Universitas Hasanuddin, Edwar Poelinggomang mengatakan, salah satu literatur menjelaskan asal mula kopi Toraja dari catatan harian kerajaan Gowa. Dimana dilukiskan jika orang-orang Gowa berlayar membawa kopi ke Toraja pada abad ke-16 melalui Pelabuhan Suppa.

 

Sulaiman Miting memperlihatkan proses roasting kopi dengan memadukan cara tradisional dan modern. Foto: Eko Rusdianto

 

Untuk itu,  lokal kopi di Toraja, adalah ka, atau ka’a, ada pula menyebut kahayya, ada pula mengeja ka’wa. Nama ini, disepakati dari perubahan pengejaan nama dari kata kahwa (Arab).

Kopi, kata Edwar, dikenalkan pedagang Arab, di Makassar, sebagai minuman yang mampu membangkitkan kekuatan, menambah vitalitas, membuat mata terjaga dan menjaga dari serangan kantuk.

“Cerita tentang khasiat kopi ini akhirnya cepat menyebar dan jadi primadona, khusus di Toraja,” katanya.

Di Toraja, kopi yang ditanam masa-masa awal, jenis Arabica typica. Ia dikenal memiliki cita rasa kuat, biji kecil dan produksi tak banyak. Di Toraja, saya bertanya dengan banyak orang mengenai kopi tua. Hasilnya nihil.

Untuk itulah saya menuju Awan–salah satu sentra kopi Toraja- mencari sisa-sisa pohon Arabica typica, tetap nihil. “Kopi jenis itu sudah ditebang masyarakat. Buah sedikit dan harga sama saja dengan kopi lain,” ucap Agustinus.

Di Toraja Utara,  ada dua perusahaan perkebunan kopi. Masing-masing, pada 1976,  PT Toarco Jaya,  anak perusahaan Key Coffee di Jepang,  mendapatkan lahan hak guna usaha (HGU) seluas 530 hektar di Padamaran.

Pada 1986,  PT Sulotco Jaya Abadi HGU 1.199 hektar di Awan dan Bittuang. Dua perusahaan ini mengembangkan varietas baru seperti Lini s atau pula Yellow katurra. Akhirnya, kopi “asli” Toraja, hanya jadi buah bibir para orangtua di Toraja.

Menurut Agustinus, 1980 awal, jenis Arabica typica masih mudah dijumpai. Aroma kopi saat dijemur, penggorengan hingga penyeduhan sangat kuat. Bahkan, daun sebagai pengganti teh. “Kopi sekarang itu biasa saja. Tak begitu harum. Tetap oke juga.”

 

Produk ekonomi?

Di Sulawesi Selatan, berkisah tentang kopi, maka kata kunci adalah Toraja. Tradisi minum kopi di sini, hampir menyamai menikmati tuak dari aren. Dalam setiap ritual besar, kopi jadi minuman penyambutan.

“Orang Toraja, tak bisa beraktivitas kalau tak minum kopi dulu,” kata Tato Dena, tokoh adat di Toraja Utara, beberapa waktu lalu.

Bagaimana perlakuan kopi di Toraja? Tak ada yang spesial. Kopi ditanam diantara musim kemarau dan penghujan. Panen antara Juli hingga Oktober.

Tanaman ini, bisa saja ditinggalkan jika tak lagi memiliki nilai jual. Itu pernah terjadi kala masa pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) lahan-lahan kopi tak terawat, jadi semak belukar. Akses pasar sebatas lokal. Keuntungan kecil. Warga beralih ke tanaman lain.

 

EKi di Kelana Street Coffee. Foto: Eko Rusdianto

 

Mengapa kopi jadi penting bagi masyarakat Toraja? Tak ada rujukan pasti. Saya mencari dalam beberapa ukiran tua Toraja. Tak ada simbol yang menggambarkan “emas hitam” ini. Saya juga tak menemukan cerita rakyat.

Kegemaran mengkonsumsi kopi memang tak selalu berhubungan dengan tradisi masyarakat, bahkan, salah satu karena genetika seseorang. National Geographic Indonesia Agustus 2016, menuliskan kebiasaan minum kopi setiap orang berbeda. Sebagian hanya bisa secangkir dalam sehari, yang lain hingga lima gelas.

Tim ilmuan dari Universitas of Edinburgh lah yang meneliti susunan gen PDSS2 yang berperan dalam metabolisme kafein pada DNA lebih dari 1.200 orang di Italia dan membandingkan dengan 1.731 orang di Belanda. “Orang dengan tingkat hen PDSS2 tinggi memiliki metabolisme kafein lambat. Itu sebabnya mereka hanya mengkonsumsi sedikit kopi untuk mendapatkan efek positif lebih lama,” kata ahli DNA Nicola Pirastu, dikutip dari National Geographic.

Mengapa kopi salah satu bagian penting di Toraja? Faktor ekonomi. Terance W. Bigalke dalam Sejarah Sosial Tana Toraja menegaskan hal itu. Kopi di Toraja bahkan menciptakan cerita perbudakan.

Para bangsawan yang memiliki akses kekuasaan lahan luas, mendominasi produksi kopi. Dua pelabuhan utama jadi arus ekonomi, Palopo dan Pare-pare.

Dua nama penting di Toraja, dalam perebutan kopi adalah Pong Tiku di Pangala yang berafiliasi dengan kerajaan Sidenreng dan Pong Maramba di wilayah lain, berafiliasi dengan Kedatuan Luwu. Kelak perebutan kekuasaan inilah yang menciptakan perang kopi. Desa-desa kecil jadi sasaran penaklukan untuk memperluas kebun kopi.

Tondok atau desa yang direbut oleh masing penakluk akan menculik laki-laki maupun perempuan untuk jadi budak. Pada rentang abad 19, jumlah budak mencapai 12.000 orang terkait upaya penguasaan kopi di dataran tinggi Sa’dan. Sekitar 4.000-an laki-laki (setara 90% populasi pria dewasa saat itu) ditangkap sebagai budak selama beberapa kali penyerbuan di Madandan.

Lepas kisah itu, saya cukup terhenyak ketika orang-orang di Makassar, dengan pertumbuhan kedai kopi hingga ribuan mengatakan, kopi sebagai minuman pemantik kreativitas.

Sulaiman Miting, pedagang Kopi di Rante Pao, bilang kopi Toraja adalah minuman para seniman.

Bagi Miting, kopi Toraja, dengan segala kekhasan telah jadi incaran orang-orang yang mengerti rasa dan hendak memahami filosofi lokal.

Bagaimana jika kopi hilang dari Toraja? “Saya kira salah satu kekayaan dan kebanggaan daerah Toraja akan ikut lenyap,” katanya.

Kopi, bagi Miting, telah jadi kebiasaan untuk mencairkan suasana. “Di tempat-tempat orang berkumpul. Suguhan kopi selalu tersedia. Lalu orang-orang yang ditawarkan akan mengatakan, ‘ma’mmi siara ka tu kopi mi?’ (apakah kopi itu enak?). Lalu cerita akan mengalir” katanya.

 

Pemandangan menuju Desa Awan, Toraja. Foto: Eko Rusdianto

 

 

Menciptakan pasar

Micha dengan kedai JAKKofie dan Eki dengan Kelana Street Coffee, berharap dengan segala kisah kopi, setiap orang menghargai dan menikmatinya. “Tak ada kopi jelek. Semua baik, tergantung selera,” ucap Micha.

Kedai-kedai modern akhirnya memunculkan varian rasa setiap wilayah. Ada kopi Sappan, Awan, Pangala, Baruppu, Bittuang, Pangli, Pango-pango dan lain-lain. Rasa kopi masing-masing berbeda. Ada asam tinggi, ada pula aroma tanah kuat, ada sangat lembut ketika melewati tenggorokan.

Saya berkunjung ke Pasar Rante Pao, melihat beberapa lapak penjualan kopi. Biji dan bubuk diletakkan dalam baskom plastik, kotak kayu, dan dikemas sederhana dalam kantong plastik. Varietas kopi ini adalah robusta–dikenal sebagai varian kopi Jember. Jenis inilah yang menjadi konsumsi masyarakat keseharian.

Robusta ditanam warga di beberapa wilayah tertentu. Harga dan pengerjaan lebih sulit. Pembeli hanya beli biji kopi beras atau kulit ari seharga Rp25.000 per kilogram dan kering utuh (dua sampai tiga hari penjemuran).

Sementara menanam arabica, seperti Lini S, petani hanya menjemur sehari. Pembeli memilih tak begitu kering harga Rp18.000 per liter. Hendrik, petani di Awan mengatakan, produksi Lini S dan Yellow Katurra, sangat cepat. Dalam rentang usia dua tahun mulai panen.

Setiap hektar lahan menghasilkan dua hingga tiga ton buah kulit tanduk. “Itu kalau dirawat baik. Selama ini, kegagalan kopi karena hama penggerek batang dan karat daun,” katanya.

“Belum pula, jika tiba-tiba biji buah busuk dan hitam. Kami tak tahu cara mengatasi. Kalau ada seperti itu, kami cabut dan tanam baru.”

Kondisi alam Toraja juga mempengaruhi. Pada 2010, curah hujan Toraja hingga 5.000 milimeter per tahun, membuat kualitas buah menurun.

 

Kopi yang ditanam sekitar rumah warga dan kena hama pucuk buah. Foto: Eko Rusdianto

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,