Bela Masyarakat Meratus Trisno Terjerat Pasal Sudah Dicabut, Apa Kata Para Pakar?

 

 

Pada 30 Maret lalu, Trisno Susilo, pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Daerah Tanah Bambu, Kalimantan Selatan, dituntut JPU Pengadilan Negeri Batulicin, dituntut enam tahun penjara. Pria yang gigih memperjuangkan hak-hak masyarakat adat Dayak Meratus ini terjerat terjerat Pasal 50 ayat 3, huruf  a jo dan Pasal 78 ayat 2 UU Kehutanan.

Lucunya, pasal dalam UU Kehutanan ini sudah dicabut Mahkamah Konstitusi alias tak berlaku lagi! Banyak kalangan menilai, proses penahanan dan peradilan kepada Trisno janggal, hanya upaya menjegal perjuangan warga.

Semua berawal dari kekhawatiran masyarakat adat Napu/Kamboyan di Desa Canting Kiri Hulu, Kecamatan Hampang Kotabaru, Kalsel yang bakal tergusur. Perusahaan kayu, PT Kodeco Timber, pemegang konsesi HPH mengklaim warga ada di lahan mereka.

Kasus makin memanas awal 2017. Penggusuran berulang kali. Masyarakat sepakat menolak Kideco Timber. Warga juga mengadukan kasus ini kepada Presiden Joko Widodo dengan mengirimkan surat.

Dalam prosesnya, intimidasi kepada warga terus terjadi, berujung 1 Februari 2017, Trisno ditangkap Polres Tanah Bambu dengan tuduhan melanggar UU Kehutanan.

Baca juga: Pertahankan Wilayah Adat di Meratus, Satu Persatu Mereka Kena Ciduk Polisi (Bagian 2)

Polisi beralasan Trisno terjerat kasus lama, pada 2011. Tuduhan dia menduduki kawasan hutan tidak sah. Tahun itu, dia dan delapan warga lain pernah ditahan lalu proses penangguhan penahanan.

“Pak Trisno dipidana dengan pasal yang sebenarnya sudah dicabut dan tak berlaku lagi,” kata Fati Lazira, pengacara Trisno, kepada Mongabay, awal April.

Seharusnya, kasus pidana Trisno dihentikan demi hukum. Penyidik kepolisian, katanya, seharusnya, mengeluarkan surat perintah penghentian penyelidikan (SP3), karena pasal yang dituduhkan sudah dicabut.

“Kalau sudah terlanjur masuk persidangan, hakim wajib mengaju pada ketentuan di Pasal 1 ayat 2 KUHP. Hakim wajib menjatuhkan putusan meringankan bahkan membebaskan terdakwa. Sebab hakim tak bisa memberikan vonis karena ketentuan pasl sudah dicabut. Itu pelangaran hukum dan HAM.”

Alasan jaks enam tahun penjara karena ada ketentuan Pasal 110 UU Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan menyatakan, kasus-kasus yang sudah sampai tahap penyidikan, penuntutan tetap lnjut sampai ada ketentuan hukum tetap. Begitu argumentasi JPU.

“Betul harus dilanjutkan, tapi pasal sudah dicabut, kecuali kalau masih hidup. Trisno dituduh mengerjakan atau menguasai hutan tanpa izin. Ini administratif. Harusnya sebelum masuk persidangan, dibuktikan dulu keabsahan administrasinya.”

 

Kata pakar

Dalam persidangan Rabu, (22/3/17), pakar hukum pidana Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa dihadirkan pengacara yang tergabung dalam Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

Eva mengatakan, perkara Trisno seharusnya dihentikan demi hukum pada tingkatan penyidikan atau penuntutan. Mengingat Pasal 50 ayat (3) huruf a UU Kehutanan, telah dicabut dan tak berlaku lagi.

“Karena ini sudah terlanjur memasuki persidangan, orang tak boleh dihukum kalau perbuatan bukan tindak pidana lagi. Tidak bisa memidana orang dengan suatu ketentuan yang tidak berlaku lagi,” katanya.

Dia bilang, ada tiga alasan mengapa perkara Trisno harus dihentikan. Pertama, perbuatan disangkakan bukan tindak pidana. Kedua, tak cukup alat bukti. Ketiga,  jika merujuk ketentuan Pasal 109 ayat 2 KUHAP, disebutkan dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tak terdapat cukup bukti atau peristiwa bukan tindak pidana.  Ataupun penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarga.

Eva mengatakan, Pasal 110 UU P3H yang mengatur saat UU P3H mulai berlaku, perkara tindak pidana perusakan hutan telah dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan berdasarkan UU Kehutanan tetap lanjut sampai memperoleh putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, hanya berlaku pada pasal-pasal yang masih hidup.

“Persoalannya, Pasal 50 ayat 3 huruf a UU Kehutanan, sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Menurut Pasal 1 ayat 2 KUHP, terhadap terdakwa diterapkan ketentuan paling menguntungkan, tetapi karena Pasal 112 UU P3H sama sekali telah mencabut norma itu. Kita tidak bisa memidana orang dengan suatu ketentuan yang sudah tak berlaku.”

Majelis Hakim, katanya,  wajib tunduk pada ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHP. “Akibat dicabut dan dinyatakan tidak berlakunya pasal yang didakwakan terhadap terdakwa, seharusnya mengakibatkan dakwaan JPU, tak jelas atau kabur (obscuur libel).”

Namun, katanya, karena sudah memasuki tahap pembuktian, majelis hakim yang menyidangkan, haruslah tunduk Pasal 1 ayat 2 KUHP dengan dasar asas legalitas, merupakan soko guru hukum pidana dunia. “Jika asas legalitas itu diterobos, tentu implikasi berdampak pada pelanggaran HAM,” ucap Eva.

Merujuk pada Declaration of Human Right, jika seseorang dituntut atas suatu perbuatan harus jelas aturan hukumnya. Jika tidak, akan terjadi pelanggaran HAM. Proses hukum yang melanggar HAM, dapat dikualifikasi sebagai peradilan sesat (miscarriage of justice).

“Peradilan sesat terjadi karena mengadili seseorang dengan jalan salah, prosedur salah, atau salah menerapkan aturan hukum, hingga menimbulkan kerugian bagi terdakwa. Peradilan sesat selalu menimbulkan kewajiban hukum bagi negara untuk mengganti kerugian dan merehabilitasi nama baik korban.”

Martua Sirait, ahli kehutanan dalam keterangan tertulis di persidangan 23 Maret mengatakan, kasus Trisno, salah satu dari 40 kasus yang direkomendasikan melalui cara dialogis di luar pengadilan dengan menjujung tinggi HAM.

Penggarapan lahan oleh Trisno dan masyarakat di Jalan Kodeco Timber KM 26, Desa Mentawakan Mulia, Kecamatan Mantewe, sejak 1995 merupakan masalah besar dalam tata kelola hutan. Ia jadi tugas besar bagi ahli kehutanan dan ahli hukum serta praktisi untuk mencarikan jalan keluar atas “keterlanjuran” yang terjadi sejak lama.

“Menyelesaikan apa yang disebut keterlajuran itu, dengan menggunakan konstruksi hukum pasca keputusan Mahkamah Konstitusi atas kawasan hutan, dengan menggunakan pendekatan penyelesaian di luar pengadilan. Sekaligus upaya melaksanakan amanat Pasal 13 UU Kehutanan mengenai survei status tanah dan kondisi sosial masyarakat di dalam dan sekitar hutan,” katanya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, katanya, telah mengubah pendekatan dan mengedepankan penyelesaian di luar pengadilan seperti diamanatkan Pasal 74 UU Kehutanan. Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak bersengketa.

Apabila dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilanmaka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan setelah tak tercapai kesepakatan antara para pihak bersengketa.

 

Trisno Susilo, pengurus AMAN Tanah Bumbu yang terjerat Pasal UU Kehutanan yang telah dicabut MK. Foto: AMAN

 

Martua menyesalkan tindakan Polres Tanah Bumbu hingga menyeret Trisno ke Pengadilan Negeri Batulicin. Menurut dia, kasus Trisno salah satu yang direkomendasikan di luar pengadilan.

“Komnas HAM pada 2015 memeriksa khusus 40 kasus konflik sejenis termasuk kasus ini, dikenal dengan kasus Batulasung, Desa Mentawakan Mulia, Kecamatan Mantewe, Kabupaten Tanah Bumbu, dan merekomendasikan beberapa hal dalam Ikuiri Nasional 2015 guna mencegah pelanggaran HAM berkepanjangan,” katanya.

Rekomendasi itu, antara lain revisi kebijakan yang melanggengkan pelanggaran HAM, dengan mengacu keputusan MK yang mengoreksi beberapa Pasal UU Kehutanan, yaitu putusan MK 34/PUU-IX/2011 tentang hak-hak perorangan atas kawasan hutan, MK No. 35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat bukan Hutan Negara. Lalu putusan MK 45/PUU-IX/2011 tetang prosedur penetapan kawasan hutan serta MK 95/PUU-XII/2014 yang membatalkan pasal kriminalisasi masyarakat setempat yang beraktifitas di dalam kawasan hutan. Juga penyelesaian konflik tenurial melalui cara-cara dialogis di luar pengadilan dengan menjunjung tinggi HAM.

Andiko Sutan Mancayo, Direktur Eksekutif Malaka Institute dihubungi Mongabay mengatakan, pasal jerat Trisno sebenarnya tak bisa dipakai karena sudah tak berlaku.

UU P3H pun tak bisa menjerat masyarakat yang sudah tinggal lama di satu wilayah. “Jadi poin begini, dikecualikan kepada masyarakat yang hidup turun menurun dan tak untuk kepentingan komersil. Itu nanti kalau tetap dilanjutkan jadi peradilan sesat. Hakim harus membebaskan Trisno.”

Belum lagi, katanya, pasal pidana yang menjerat Trisno sudah hilang. “Menurut saya, kalau dia tetap dituduh harusnya kepolisian sudah mengeluarkan SP3,” katanya.

Pria juga advokat AsM Law Office itu mengatakan, supaya jangan terjadi hal serupa, pemerintah seharusnya segera merevisi UU Kehutanan dengan mengadopsi putusan MK.

“Sekarang UU Kehutanan sudah compang camping meskipun sudah mulai diinisiasi perubahan, tapi proses sangat tertutup.”

Padahal, katanya, UU Kehutanan sangat strategis, bahkan jauh lebih penting daripada UU Pertanahan. “Harusnya dibuka ruang ke publik untuk berikan masukan atas perubahan UU Kehutanan. Yang mendampingi masyarakat di lapangan sangat tahu situasi seharusnya dilibatkan revisi ini.”

Rikardo Simarmata Pakar Hukum Universitas Gadjah Mada mengatakan, kasus Trisno banyak terjadi di beberapa daerah lain. Dalam banyak perkara, proses penanganan berbeda-beda. Ada secara hukum, ada juga sama sekali tak proses hukum.

Dia mengatakan, agar kasus serupa tak terjadi, pemerintah harus meninjau ulang kawasan hutan. Mana saja proses pengukuhan kawasan hutan tanpa ada kunjungan ke lapangan. Harus cek keseluruhan. “Apakah di kawasan itu ada masyarakat setempat atau tidak.”

Dalam ketentuan UU Kehutanan, katanya, terutama terkait pengukuhan kawasan hutan, menyebutkan, tahapan penataan batas bila ada hak-hak pihak ketiga harus diselesaikan.

“Ini hampir tak dilakukan Kementerian Kehutanan (Sekarang KLHK-red). Proses inventarisasi jarang memperhatikan hak-hak pihak ketiga. Sertifikat hak milik atau bukti kepemilikan lain yang muncul dalam inventarisasi tadi, kalau diseriusi, penataan batas sampai penetapan kawasan harus ada persetujuan pihak ketiga,” katanya.

Untuk kasus-kasus yang terlanjur proses hukum, katanya, hakim dan jaksa seharusnya bisa memeprtimbangkan hak-hak masyarakat adat/lokal. Selama ini, dalam banyak kasus, hak-hak masyarakat adat jarang jadi pertimbangan.

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,