Mampukah Indonesia Penuhi Kebutuhan Pakan pada 2019?

Besarnya biaya belanja pakan untuk kebutuhan industri perikanan budidaya, masih menjadi sorotan Pemerintah Indonesia dalam menyikapi ongkos produksi sektor perikanan budidaya selama ini. Kebutuhan pakan, menempati urutan pertama dan bisa menghabiskan 70 persen dari total ongkos produksi perikanan budidaya.

Demikian disampaikan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto di Jakarta pekan lalu. Menurut dia, produksi perikanan budidaya nasional diperkirakan akan mencapai total produksi hingga 31,3 juta ton pada 2019. Dari jumlah tersebut, diperkirakan 11,7 juta ton di antaranya berasal dari produksi ikan di masa tersebut.

“Tantangan perikanan budidaya ke depan adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pakan ikan yang efisien dan berkualitas, seiring dengan perkembangan budidaya yang kian dinamis dari tahun ke tahun,” ungkap dia.

Slamet menuturkan, karena besarnya potensi perikanan budidaya, pada 2019 mendatang, diperkirakan kebutuhan pakan ikan bisa mencapai 14 juta ton. Itu artinya, kebutuhan untuk pakan mendesak harus segera ditingkatkan pasokannya dari jumlah yang ada sekarang.

 

 

“Isu pakan merupakan bagian penting yang perlu menjadi fokus perhatian bersama. Hal ini karena pakan merupakan penyusun terbesar biaya produksi usaha budidaya yang mencapai lebih dari 70 persen,” jelas dia.

Akan tetapi, menurut Slamet, besarnya kebutuhan pakan yang terus meningkat dari waktu ke waktu, ternyata tidak diiringi dengan harga pakan yang terjangkau di pasaran dan justru harga terus mengalami kenaikan. Akibatnya, usaha perikanan budidaya dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan efisiensi.

“Kondisi ini, sebenarnya karena dipicu oleh keterbatasan industri pakan dalam memanfaatkan bahan baku lokal untuk dijadikan pakan ikan, sehingga mau tidak mau industri masih bergantung pada bahan baku pakan impor, terutama tepung ikan,” jelas dia.

Belum kompetitifnya harga pakan di pasaran, menurut Slamet, menyebabkan isu tersebut kini bukan lagi menjadi isu nasional yang dikonsumsi di dalam negeri saja. Namun juga, saat ini sudah menjadi isu global yang menjadi salah satu faktor pembatas utama dalam bisnis akuakultur di dunia.

Dalam kaitan dengan hal itu, Slamet menyebut, organisasi pangan dunia PBB (FAO) mulai melibatkan diri dan saat ini sudah melihat bahwa isu pakan harus menjadi isu trans-nasional dan mendesak dicarikan solusi. Dengan demikian, upaya dalam mewujudkan ketahanan pangan global melalui pengembangan akuakultur akan mampu tercapai.

 

Seorang pekerja sedang memberikan pakan pada ikan nila dalam budidaya keramba jaring apung di Danau Toba, Sulawesi Utara. Foto : Jay Fajar

 

Stategi Pengembangan Pakan Mandiri

Kepala Regional FAO Asia Pasifik Weimin Miao dalam kesempatan yang sama menjelaskan, mengingat penting dan strategisnya isu pakan di Indonesia dan juga dunia, FAO bertekad untuk membuat formula tentang strategi pengembangan pakan mandiri yang saat ini sedang berusaha dilaksanakan di Indonesia.

“Dengan membantu Indonesia, diharapkan ke depannya bisa diterapkan secara global apa yang sudah dilakukan Indonesia,” ujar dia.

Weimin menyebutkan, sebagai negara pertama di dunia yang melaksanaan program pakan mandiri, itu bisa menjadi contoh bagi negara-negara yang memiliki tradisi perikanan budidaya untuk menerapkan program serupa.

“Keberhasilan pengembangan pakan mandiri di Indonesia dapat menjadi rujukan tersendiri di level Asia Pasifik,” jelas dia.

 

Model Pengembangan Pakan Mandiri

Sebagai negara pertama yang melaksanakan program pakan mandiri, Indonesia menggandeng FAO untuk membuat model pengembangan pakan mandiri di Indonesia. Dari kerja sama itu, FAO menyepakati untuk memberi  bantuan bagi TCP project pakan mandiri senilai kurang lebih Rp3,25 miliar.

Adapun, fokus dari kerja sama tersebut adalah sebagai berikut:

  • Penyediaan informasi dasar terkait ketersediaan suplai bahan baku, kebutuhan nutrisi, jenis dan formulasi pakan khususnya untuk pakan ikan patin di Indonesia.
  • Pemanfaatan varian bahan baku pakan ikan lokal yang potensial dimanfaatkan.
  • Perbaikan formulasi dan kualitas pakan ikan yang diproduksi kelompok GERPARI (gerakan pakan ikan mandiri).
  • Optimalisasi strategi farm feed management.

 

Pekerja sedang memanen ikan nila dari budidaya keramba jaring apung di Danau Toba, Sulut. Tingkat produksi ikan nila dipengaruhi salah satunya oleh pakan ikan yang baik. Foto : Ariefsyah Nasution/WWF Indonesia

 

Slamet Soebjakto mengatakan, sebagai bentuk implementasi, untuk tahap awal kerja sama ini akan dilakukan percontohan pembuatan  pakan mandiri dan percontohan penggunaan pakan mandiri disertai dengan cara pemberian pakan yang baik (Good Feed Management Practices).

“Percontohan ini akan dilakukan dengan cara melibatkan 30-40 orang pembudidaya dengan mekanisme cost sharing, dan diharapkan akan menjadi model rujukan bagi pengelolaan pakan mandiri di berbagai daerah di Indonesia,” papar dia.

 

Pertumbuhan Pakan Mandiri

Ketua Asosiasi Pakan Mandiri Nasional Syarifuddin mengungkapkan, dalam mengembangkan program pakan mandiri secara nasional, sedikitnya dilibatkan sebanyak 20 pelaku usaha yang menyebar di seluruh Indonesia. Pelaku-pelaku usaha tersebut, secara mandiri melaksanakan pengembangan pakan mandiri dengan caranya masing-masing.

Menurut Syarifuddin, dalam waktu dua tahun selama 2015-2016, program gerakan pakan mandiri sudah memperlihatkan hasil yang bagus. Dalam periode tersebut, produksi ikan mandiri yang dihasilkan meningkat dari 16.800 ton pada 2015 menjadi 62.100 ton pada 2016.

“Atau mengalami peningkatan sebesar 300 persen,” tutur dia.

Tak hanya itu, Syarifuddin menyebutkan, selama program pakan mandiri dilaksanakan dua tahun tersebut, penggunaan varian bahan baku pakan ikan lokal berkontribusi menurunkan volume impor bahan baku pakan ikan.

Dia menggambarkan, pada 2016 impor bahan baku pakan ikan menurun hingga 27 persen dari 303.932 ton pada 2015 menjadi 221.564 ton pada 2016. Penurunan impor tersebut, kata dia, dipengaruhi juga oleh kebijakan KKP yang pada waktu bersamaan melaksanakan program pemberantasan perikanan ilegal.

“Sehingga berdampak terhadap ketersediaan ikan non ekonomis sebagai bahan baku tepung ikan,” jelas dia.

Slamet Soebjakto mengungkapkan, pemanfaatan pakan mandiri untuk sementara akan difokuskan untuk budidaya ikan air tawar. Hal itu, karena hingga saat ini konsumsi pakan untuk budidaya di air tawar masih lebih banyak dibandingkan dengan budidaya di air payau.

“Selain itu, harga jual ikan air tawar juga tidak terlalu tinggi. Jadi, biaya produksinya harus ditekan. Beda dengan air payau, udang saja bisa Rp100 ribu per kilo, sementara ikan air tawar hanya Rp12 ribu per kilo,” papar dia.

Karena fokus untuk air tawar, Slamet menyebut, pihaknya saat ini berusaha menggenjot produksi pakan mandiri untuk mengurangi suplai pakan dari industri pakan nasional. Kata dia, jika dalam tahun ini bisa mengurangi sebesar 1 persen saja, maka itu sudah sangat bagus.

“Sekarang ini keperluan pakan untuk budidaya ikan di air tawar bisa mencapa 200 ribuan kilo per tahun. Jika kita bisa mensuplai 1 persen saja dari pakan mandiri, itu prestasi tahun ini,” tandas dia.

Sementara itu Dekan Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Luky Adrianto menjelaskan, saat ini masih ada tiga masalah yang menghambat pengembangan pakan mandiri di seluruh Indonesia.

Tiga masalah tersebut, tutur dia, adalah masih belum adanya hasil identifikasi oleh akademisi terkait bahan baku yang bisa dimanfaatkan untuk menjadi pakan mandiri. Kemudian, jikapun sudah bisa teridentifikasi, masih belum diketahui bagaimana pasokan bahan baku tersebut untuk produksi pakan mandiri.

“Ketiga atau terakhir, adalah problem mekanisasi. Tidak mungkin mengolah bahan baku dengan tangan. Itu pasti memerlukan bantuan mesin, supaya pengolahannya masif. Dan itu hingga saat ini masih belum kita miliki,” ucap dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,