Pemerintah Diminta Segera Jalankan Rekomendasi KLHS CAT Watuputih

 

 

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih sudah keluar. Berbagai kalangan meminta Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berubah pikiran, menerima serta menjalankan sesuai dokumen itu.

“Sebelumnya kita sepakat menunggu KLHS. Sekarang KLHS sudah ada, ayo kita taati,” kata Gunretno, perwakilan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

Koalisi untuk Kendeng Lestari terdiri dari berbagai lembaga lintas bidang juga mengapresiasi tim KLHS bentukan Presiden Joko Widodo di bawah koordinator Kantor Staf Presiden (KSP).

Perwakilan pendamping warga Kendeng dari YLBHI, Muhammad Isnur mengatakan, KLHS pertama ini dapat jadi  alasan mengoreksi pembangunan Jawa Tengah, terutama dengan menetapkan CAT Watuputih sebagai kawasan lindung.

KLHS, katanya, tak langsung menguatkan putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tentang rencana penambangan dan operasi pabrik.

“Kita dukung pemda dan Kementerian ESDM secepat mungkin menetapkan CAT Watuputih sebagai Kawasan Bentang Alam Karst.”

Berdasarkan hasil KLHS, koalisi memaksa pemda Jateng menghentikan tambang ilegal dan tambang lain di sekitar CAT Watuputih baik yang belum beroperasi maupun izin baru.

Pemerintah, katanya,  perlu audit lingkungan bagi semua izin usaha produksi (IUP), secara terbuka, tranparan dan partisipatif melibatkan masyarakat.

Koalisi juga mendukung pemerintah daerah dan nasional segera revisi tata ruang dan tata wilayah dengan prinsip mengedepankan keselamatan rakyat dan berlanjutan lingkungan.

“Pemerintah juga harus pastikan operasi pabrik dan tambang lain di sekitar CAT Watuputih mengingat risiko lingkungan,” ucap Isnur.

Dalam KLHS disebutkan, kala CAT Watuputih tertambang, pertahun rugi Rp2,2 triliun.  Perkiraan kerugian ini, praktis membantah argumen pihak pendukung pabrik yang mengklaim negara rugi terlanjur Rp5 triliun kala semen setop.

Sehari setelah pengumuman KLHS tahap I, masyarakat Pegunungan Kendeng Utara yang menolak pertambangan dan pendirian pabrik semen gelar syukuran dengan hidangan bubur beras, Kamis (13/4/2017).

“Kami dulur di pegunungan semua punya kondo, sok nek KLHS lahir perlu brokohan,” kata Gunretno.

 

Sumber: dokumen KLHS

 

Dukungan akademisi

Sebelum KLHS terbit, 250 akademisi dan peneliti dari berbagai universitas dan lembaga penelitian pemerintah dan non pemerintah, menyerukan dukungan dengan berbagai pernyataan mendukung warga Pegunungan Kendeng mempertahankan karts lestari.

Mereka ini antara lain:

“Masyarakat Kendeng memperjuangkan kedaulatan pangan. Industri semen mencari untungnya sendiri. Kita bisa hidup tanpa semen, tapi tidak bisa berdaulat tanpa pangan,” pernyataan PM Laksono, Guru Besar Antropologi UGM.

“Kerusakan lingkungan biasa memicu krisis kemanusiaan dan yang jadi korban utama perempuan dan anak-anak masa depan negeri ini. Melindungi Kendeng adalah melindungi kemanusiaan,” pernyataan Mia Siscawati, Ketua Program Studi Kajian Gender UI.

“Pembangunan pabrik semen di Kendeng Utara akan merusak lingkungan dan ruang hidup masyarakat. Sudah saatnya lingkungan hidup jadi panglima pembangunan,” kata Sonny Keraf Mantan Menteri Lingkungan Hidup 1999-2001

Ratusan akademisi ini dikumpulkan Sulistiyowati Irianto, seorang guru besar Universitas Indonesia yang mendalami antropologi hukum, hukum masyarakat dan perempuan.

“Kami merasa terpanggil untuk membuat seruan moral. Ini bukan gerakan politik, sama dengan yang diperjuangkan ibu-ibu pegunungan Kendeng ini,” kata Sulis.

Perjuangan perempuan Pegunungan Kendeng, bagi Sulis semacam alarm, kondisi darurat ekologi. Dalam banyak kajian budaya perempuan identic dengan bumi dan tanah yang diamanatkan alam, mempunyai fungsi reproduksi melahirkan keturunan.

“Kalau bumi terancam rusak, perempuan keluar. Perempuan selalu jadi survivor kemiskinan yang bersedia melakukan pekerjaan apapun.”

Perempuan-perempuan Kendeng yang sudah akrab dengan alam punya pengetahuan lokal yang tak kalah canggih dengan ilmu pengetahuan modern. Terbukti,  hasil KLHS secara tak langsung menunjukkan pengetahuan petani-petani Kendeng sejalan dengan pengetahuan modern yang dimiliki akademisi dan peneliti.

Telaah lebih jauh dan pesan lebih dalam yang ingin disampaikan akademisi dan penelti yang diwakili Sulis, terkait jendela demografi yang akan menghampiri Indonesia pada 2050.

Bonus dari jendela demografi ini akan memberi Indonesia penduduk usia produktif sekkitar 200 juta orang, dari total 500-600 juta penduduk Indonesia.

Potensi ini mesti mengubah paradigma pembangunan Indonesia, tak lagi mengeksploitasi sumber daya alam. Paradigma pembangunan mesti mengarahkan potensi-potensi muda ini untuk menghasilkan dan menciptakan penemuan kreatif, inovatif dan teknologi pengetahuan serta budaya mendukung pembangunan.

“Pembangunan dengan mengeksploitasi sumber daya alam itu tidak zaman lagi. Kami mendukung ibu-ibu Kendeng karena kami tak mau tendon air di Pulau Jawa hilang.”

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,