Kenapa Kebijakan Impor Garam Harus Ditinjau Kembali?

Pemerintah Indonesia didesak untuk meninjau kembali kebijakan importasi garam yang akan dilaksanakan pada 2017 ini. Peninjauan dilakukan, karena Pemerintah dinilai belum bisa menjamin penyerapan garam produksi rakyat di semua sentra produksi dan pergudangan rakyat.

Demikian disampaikan Direktur Eksukutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim. Menurut dia, selain penyerapan hasil produksi, Pemerintah juga harus memastikan tersalurnya asuransi perlindungan jiwa dan asuransi pergaraman bagi petambak garam, baik laki-laki maupun perempuan.

“Pemerintah Indonesia dinilai gagal memberdayakan petambak garam nasional yang ada di sejumlah sentra produksi garam untuk memenuhi kebutuhan garam nasional sepanjang 2016. Akibatnya, produksi garam di tahun tersebut anjlok ke angka 118.054 ton saja dari target 3,2 juta ton,” ungkap dia pekan ini.

(baca : Garam Nasional Gagal Produksi Sepanjang 2016, Kenapa Bisa Terjadi?)

 

 

Imbas dari kegagalan produksi tersebut, Halim mengatakan, pada 2017 Pemerintah Indonesia melaksanakan impor garam sebesar 200 ribu ton yang rencananya akan dilaksanakan pada semester I ini oleh PT Garam (Persero).

Kegagalan produksi tersebut, dalam sudut pandang Halim, menjadi kegagalan kabinet kerja pimpinan Presiden RI Joko Widodo. Penilaian tersebut, karena bukan hanya gagal melakukan produksi, kebijakan importasi garam juga akhirnya dibuka dengan alasan yang sama.

“Besaran target produksi 2016 sudah diturunkan, dari 3,6 juta ton menjadi 3,2 juta ton. Ironisnya, kegagalan ini diperparah dengan kebijakan importasi garam yang merugikan kepentingan petambak garam rakyat,” ungkap dia.

Halim mengungkapkan, ketidakmaksimalan Pemerintah dalam menangani kegagalan produksi garam nasional, disebabkan oleh sejumlah faktor. Adapun, faktor yang dimaksud adalah:

  1. Minimnya intervensi teknologi guna meningkatkan produksi garam rakyat, misalnya penerapan teknologi prisma dan geomembran;
  2. Belum disalurkannya asuransi perlindungan jiwa dan asuransi usaha pergaraman bagi petambak garam. Padahal, hal ini telah dimandatkan di dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Menurut Halim, seharusnya Pemerintah mengambil banyak pelajaran dari kegagalan produksi pada 2016. Salah satunya, adalah bagaimana menentukan mengukur kebutuhan garam nasional dan sejauh mana kemampuan produksinya.

(baca : Sudahlah Harga Garam Rakyat Rendah, Petambak Makin Terdesak Impor Pula)

 

Arifin sedang mengkristalkan air payau di tambak yang beratap agar bisa terus produksi saat musim hujan di Dusun Mencorek, Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Siasat pelestari garam rakyat sekaligus menghijaukan tambak dengan bakau. Foto Anton Muhajir

 

Halim menyebut, dua instansi Pemerintah yang terlibat langsung dalam perencanaan dan produksi garam nasional, adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan kementerian/BUMN yang bekerja di bidang pergaraman.

“Mereka harus berkoordinasi lebih intens, terutama dalam menentukan kebutuhan garam konsumsi dan garam industri, sehingga target kinerja lebih terukur dan upaya untuk menghentikan importasi garam secara bertahap lebih terencana dan mudah dicapai,” jelas dia.

Dengan adanya koordinasi yang lebih bagus, Halim kembali mengkritik, Pemerintah seharusnya bisa membaca kemampuan sentra produksi garam nasional untuk melakukan produksinya. Dengan demikian, Pemerintah tidak asal menetapkan target produksi 2017 sebesar 4 juta ton.

 

Target dan Realisasi Produksi Garam Nasional 2014-2016

Sumber: Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (April 2017), diolah dari Kementerian Kelautan dan Perikanan

 

Penyebab Kegagalan Produksi

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi, dalam kesempatan berbeda menjelaskan kenapa garam nasional gagal mencapai target produksi yang ditetapkan sebesar 3,2 juta ton.

Menurut Brahmantya, penyebab kegagalan melakukan produksi, tidak lain disebabkan oleh kondisi alam yang tidak bersahabat.

“Garam tahun lalu puso (gagal panen) karena benar-benar kondisi alam. Kita sudah berusaha keras, tapi kondisi alam yang sangat tidak bersahabat membuat produksi gagal mencapai target karena banyak yang gagal produksi,” ungkap dia.

Brahmantya menjelaskan, untuk bisa melakukan produksi garam yang normal, idealnya memang diperlukan sinar matahari dan iklim yang panas. Prasyarat cuaca tersebut, mutlak dibutuhkan para petambak garam di berbagai daerah untuk bisa memproduksi garam yang bagus dan berkualitas.

Namun, menurut dia, prasyarat tersebut pada 2016 tidak bisa diperoleh, karena anomali cuaca La Nina sangat mengontrol kemampuan petambak garam melakukan produksinya. Karena La Nina tersebut, petambak tidak mendapat sinar matahari terik mengingat sepanjang 2016 dilanda musim kemarau basah.

“Tahun 2016 itu, curah hujan rerata lebih besar dari 150 milimeter per bulan. Bahkan, di beberapa tempat ada yang mencapai 300 milimeter per bulan. Itu kondisi yang menyulitkan bagi para petambak garam,” ujar dia.

(baca : Ketika Garam dan Bakau Bersatu, Siasat Pelestariannya di Pesisir Utara Lamongan)

 

Inilah garam rebus yang dihasilkan Arifin dengan kelompoknya di Dusun Mencorek, Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur.. Foto Anton Muhajir

 

Karena kondisi tersebut, Brahmantya meminta semua pihak untuk ikut memahami dan mengambil langkah yang bijak agar industri garam nasional bisa tetap hidup. Di sisi lain, kebutuhan garam nasional juga diharapkan bisa tetap terpenuhi.

“Koordinasi dengan pihak industri telah dilakukan. Intinya target swasembada garam harus ada dan harus ekstensifikasi lahan,” ucapnya.

Dengan melakukan koordinasi, Brahmantya sangat yakin, produksi garam nasional bisa kembali bangkit dan bahkan tidak menutup kemungkinkan untuk mencapai swasembada produksi garam. Syaratnya, kata dia, semua pihak harus ikut terlibat, karena swasembada garam tidak hanya ditentukan oleh KKP semata.

Selain jumlah produksi yang jauh dari target pada 2016, KKP juga merilis stok garam yang tersedia sampai akhir 2016 lalu jumlahnya mencapai 112.671 ton. Dengan demikian, pada 2017 ini, KKP menargetkan bisa terlaksana panen komoditas garam linear hingga mencapai 3,2 juta ton.

Menanggapi kegagalan target produksi 2016, Abdul Halim mengatakan, itu bukanlah karena faktor alam dengan cuaca La Nina saja, melainkan juga ada faktor lain yang ikut terlibat di dalamnya.

Halim menerangkan, faktor lain yang ikut terlibat itu, adalah intervensi teknologi yang masih sangat minim, pendampingan penyaluran program petambak garam yang berjalan tidak tepat sasaran. Faktor-faktor tersebut, kata dia, seharusnya tidak terjadi saat Pemerintah sedang menggenjot produksi garam nasional.

 

Gudang Garam Baru dengan Sistem Resi Gudang

Di luar impor garam, pada 2017 Pemerintah membangun enam gudang garam baru yang difungsikan untuk menyimpan hasil produksi garam rakyat dari berbagai daerah yang ada. Jumlah tersebut, melengkapi gudang garam yang sudah dibangun oleh KKP pada 2016 sebanyak 6 unit.

Enam gudang yang akan dibangun pada tahun ini, akan berlokasi di Brebes, Demak, Rembang (Jawa Tengah), Sampang, Tuba (Jawa Timur), dan Kupang (Nusa Tenggara Timur). Adapun, 6 unit gudang garam yang sudah dibangun berlokasi di Cirebon, Indramayu (Jawa Barat), Pati (Jateng), Pamekasan (Jatim), Bima (Nusa Tenggara Barat), dan Pangkajene Kepulauan (Sulawesi Selatan).

“Seluruh gudang yang sudah dan akan dibangun menggunakan Standardisasi Nasional Indonesia atau SNI,” jelas Brahmantya.

Untuk setiap gudang yang akan dibangun nanti, Brahmantya memperkirakan, itu sedikitnya diperlukan waktu tiga hingga enam bulan. Dengan waktu tersebut, masing-masing gudang yang akan dibangun, biaya yang harus dikeluarkan sedikitnya mencapai Rp2 miliar dengan kapasitas setiap gudang mencapai 2.000 ton.

Berdasarkan data KKP, ada 10 sentra produksi garam yaitu Indramayu, Cirebon, Pati, Rembang, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Bima, Pangkep dan Jeneponto. Selain itu, ada 20 daerah penyangga yaitu Aceh Besar, Aceh Timur, Pidie, Karawang, Brebes. Demak, Jepara, Tuban, Lamongan, Pasuruan, Probolinggo, Sidoarjo, bangkalan, Buleleng, Lombok Barat, Lombok Timur, Sumbawa, Kupang, Pohuwato, dan Takalar.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,