Memanen Air Hujan ala Romo Kirjito

 

 

Rabu pagi, Maret lalu, saya menemui Romo Vincentius Kirjito, di Pastoran Muntilan, Kabupaten Magelang,  Jawa Tengah. Romo Kirjito, sapaan akrabnya, rutin meneliti beragam air dari air hujan sampai kemasan.

Sebuah alat ukur total dissolved solid (TDS) atau kandungan mineral terlarut dan pH meter, dicelupkan ke air. Hasilnya, dia catat pada selembar kertas dan ditempel pada botol kemasan.

“Kita ukur pH dan TDS, memastikan air sehat dan layak minum,” katanya.

Botol-botol air kemasan ukuran 1,5 liter berjejer di lantai, berisi air hujan. Ada juga pipa-pipa plastik diameter 10 milimeter, di pinggir bangunan, berisi air hujan. Air-air itu diendapkan, mulai satu minggu hingga tahunan.

Beragam air itu berada di Laboratorium Udan, terletak di ruang belakang area Pastoran. Di sisi kanan bangunan, tangki berbagai ukuran dan ember, menampung air hujan. Sebagian penampung air dari barang-barang bekas. Bagi Romo Kirjito, memanen air hujan atau disebut air langit ini sebagai bentuk syukur dan menghargai ciptaan Tuhan.

“Air langit, kualitas lebih baik dari air kemasan,” katanya.

Cerita awal tahun 2000, dia ditugasi ke Lereng Merapi. Kala erupsi 2001, dia melihat di ketinggian tak sampai 1.000 meter, pepohonan hijau lebat, namun tak temukan sumber air. Sejak itu timbul keinginan dia meneliti, sekaligus konservasi masyarakat cinta air.  Sampai 2009, dia mulai mengukur TDS dan pH dari berbagai sumber air.

Sebelas tahun dia mendampingi masyarakat petani di Desa Ngargomulyo Dukun di Lereng Merapi. Pada 2011, dia pindah ke Kebon Arum, Klaten, kala itu mulai konservasi air dan memanen air hujan.

Di Klaten, dia mengajak masyarakat menjaga sumber air. Tanan pohon di hulu, dan merawat hingga hilir.

Kini, dia melihat warga menampung air hujan. Dia pikir, air hujan tak sehat, tapi fakta tak ada warga terkena penyakit karena minum air hujan.

Lewat uji sederhana, keasaman air dan TDS, dia ukur. Hasilnya, keasaman 7-9 dan oksigen bagus.  “Berawal dari itulah, saya serius dorong masyarakat gunakan air hujan.”

Pada 2014, dia diberi tugas penelitian budaya air hujan selama lima tahun. Kini berjalan tiga tahun.

Menurut dia, di Kalimantan, Flores, Wonosari, Papua dan beberapa daerah lain di Indonesia masih pakai air hujan untuk minum dan kebutuhan harian.

Penelitian sementara, air hujan memenuhi standar sumber air bersih dan air minum, relatif sehat. Air hujan lebih baik daripada air tanah. Kesehatan nomor satu diukur dari kualitas air.

Dia menguji manfaat air hujan pada diri sendiri. Dia sudah pasang ring tiga, ada perbedaan sejak minum air hujan dan air tanah. Kesehatan ditentukan bukan dari makanan, tetapi kualitas cair.

 

Romo Kirjito, kampanye air hujan untuk minum dan jangan buang sampah sembarangan. Foto: Tommy Apriando

 

Masalahnya, banyak bilang air hujan tak layak, apalagi buat konsumsi. Disebut-sebut asam, tak mengandung mineral, dan polusi.  Penilaian negatif ini jadi tantangan. Dia ingin membantah lewat bukti empirik, dan praktik langsung. Ilmu pengetahuan itu dari percobaan.

“Logika menjawabnya, kita amati di alam, jika air hujan buruk pasti alam rusak, tanaman mati ketika terkena air hujan, faktanya tumbuh,” kata Kirjito.

Hasil penelitiannya, di daerah pengguna air hujan, ternyata kecerdasan anak-anak di atas rata-rata. “Air hujan berkah Tuhan kepada manusia dan menjadi hak bagi manusia di muka bumi. Air tanah, hak generasi penerus.”

Penelitian intens dia memperlihatkan, air hujan terbukti memiliki tingkat kepadatan mineral dalam air relatif rendah bahkan bisa dikategorikan air murni. Untuk pH relatif aman konsumsi.

Kirjito mempraktikkan metode ionisasi pakai arus listrik DC bertegangan 220 volt. Arus listrik dialirkan ke konduktor stainless foodgrade pada dua bejana yang berhubungan dan berisi air hujan. Cara ini,  bisa juga pada air tanah selama empat jam atau lebih, tergantung kadar pH yang diinginkan.

Menurut dia, makin lama proses ionisasi, perbedaan pH antara dua bejana makin tinggi, satu bejana kian basa, yang lain makin asam. Air basa bisa langsung konsumsi, yang asam untuk pupuk tanaman.

Air, katanya,  berfungsi membawa nutrisi dan oksigen bagi tubuh, melarutkan dan mengeluarkan sampah atau racun. Air bersifat basa, bisa berperan lebih baik, termasuk membantu memelihara dan mengganti sel-sel tubuh yang rusak. Air hujan baik karena paling murni.

Air kandungan basa bermanfaat menetralisasi sampah metabolisme dalam tubuh. Dia sebutkan sejumlah tanda-tanda timbunan sampah metabolisme dalam tubuh yang mudah bisa dikenali, antara lain mulut bau, keringat bau, urin pesing, feces bau menyengat, rambut rontok, dan berketombe.

Kirjito berharap, masyarakat mengalami perubahan cara pandang melihat air hujan. Air hujan itu, sesuatu yang berharga untuk disimpan, olah, dan manfaatkan.

 

Uji air kemasan

Air kemasan pun dia teliti sebagai perbandingan baik keasamaan maupun kandungan zat terlarutn. Dia prihatin, ada kesan sumber air besar sekarang dikuasai kapitalisme, sedang rakyat berdampingan dengan air melimpah bahkan gratis.

Diapun tes air kemasan. Hasilnya, mayoritas mengandung zat besi dan zat kapur.

 

Uji sederhana Romo pada air hujan dan kemasan. Foto: Tommy Apriando

 

“Perusahaan air kemasan ambil untung kemasannya, bukan air. Saya penelitian sendiri secara terukur ilmu pengetahuan, terbukti air hujan lebih baik dari kemasan.”

Dia menilai, penting pendidikan tentang air hujan mulai ada dari anak kecil hingga dewasa. “Kehidupan alam semesta bergantung pada air. Sedari dini anak-anak sebaiknya bersikap positif terhadap air, dan tak menyepelekan air,” katanya.

 

Jaga air

Menurut dia, pemahaman budaya air sangat miskin. Rakyat yang berdekatan air melimpah bahkan gratis, jika minum harus membeli air kemasan.

Romo memberi ilustrasi tentang budaya negatif  terhadap air. Kalau hujan datang, orang mengeluh, ”Wah hujan, jadi tak bisa dagang, tidak bisa kerja tani.” Ketika gerimis, orang tua melarang anak-anak keluar rumah, karena bisa sakit. Anggapan ini mesti diubah.

Kirjito bersusah payah menyadarkan masyarakat. Dengan swadaya, masyarakat bergotong- royong bikin kaos dan celana untuk anak-anak kecil bertuliskan, “Aku mandi air hujan.”

Aksi lain, Kirjito mengumpulkan sampah plastik dari masyarakat. Dia buat pameran instalasi sampah plastik. Warga bangga, dan rasa percaya diri makin meningkat. Gerakan ini menyadarkan masyarakat meninggalkan budaya “membuang” sesuatu yang dianggap sepele, tetapi bisa merusak alam.

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,