Mongabay Travel : Tirtagangga, Kenapa Istana Air ini Selalu Mengalir dan Jernih?

Baru masuk taman saja pikiran terasa segar. Gemericik dan beningnya air membuat hati tentram. Taman Tirtagangga, Karangasem tak pernah kehabisan air dan kehilangan kejernihannya termasuk musim kemarau di saat sejumlah sumber air menipis. Kenapa?

Ada beberapa bebukitan di sejumlah penjuru di kawasan Timur Bali berjarak sekitar 83 km dari Kota Denpasar ini. Pohonnya terlihat rapat. Juga ada kawasan hijau persawahan di sekitarnya. Berada di kaki gunung Agung dan perbukitan Lempuyang yang disucikan karena lokasi sejumlah pura besar di Bali membuat cekungan air tanah terus terjaga.

Ada kisah heroik dari warga Padangkerta, desa tetangga Ababi, lokasi Tirtagangga pada akhir 2012 dalam upaya penyelamatan sumber air sangat berharga ini. Desa adat Peladungan menghasilkan putusan aklamasi dari warganya untuk menolak eksplorasi air dari sebuah perusahaan air kemasan populer di Indonesia.

Warga menyadari jika disedot akan berdampak pada kebutuhan air bersih dan pertanian di sekitarnya. Sementara Pemerintah Kabupaten Karangasem sudah memberikan izin eksplorasi.

 

 

Tirtagangga sebagai sebuah destinasi wisata memberi pendidikan ekologi penting untuk pengunjung jika ada diseminasi informasi terkait dampak dipeliharanya hutan, sawah, dan gunung sekitarnya ini. Namun sayang hal ini tak banyak diberi perhatian.

Catchment area di sana bagus, sumber air juga dari Bukit Lempuyang masih bagus. Warga tak berani dan tak boleh merambah karena kawasan suci,” ujar Luh Kartini, dosen pertanian Universitas Udayana dan peneliti tanah ini tentang lokasi Tirtanggangga. Selain bebukitan yang menyimpan air dalam tanah, juga dikombinasikan dengan sawah.

Menurutnya kualitas air di Tirtagangga dilihat dari mata sudah bagus, bening sekali. “Bayangannya kelihatan, kalau terlihat aman,” tambahnya.

Hasil terpeliharanya ekosistem perbukitan adalah sebuah potongan nirwana yang melegakan dahaga. Obyek wisata ini kerap ramai. Suasana sejuk, rindang, dan menyegarkan adalah obat.

Begitu menyerahkan tiket masuk pada petugas, kita sudah bisa menyaksikan hamparan lanskap kolam, patung, dan taman. Gemericik air dari menara tumpang (tingkat ) 9 segera melepas penat.

 

Pengunjung berjalan seperti di atas permukaan kolam dengan banyak patung epos Mahabrata penuh ikan mas di Taman Tirtagangga, Karangasem, Bali. Foto: Anton Muhajir

 

Ratusan ikan mas beraneka warna berenang mendekati pengunjung berharap diberi makan. Ukurannya ada yang sampai bayi mamalia. Mereka terus bergerak lincah mengitari air kolam yang jernih dan cukup dingin.

Kolam yang berisi menara air paling ramai karena pengunjung bisa berjalan seperti di atas air. Ada banyak tiang penyangga dengan injakan cukup aman untuk ukuran sepasang kaki yang mengitari kolam. Membuat lebih leluasa melihat barisan ikan dan menyapa mereka di permukaan air.

Jika masuk lebih dalam dan lebih tinggi ada area kolam bisa untuk berenang, meditasi, dan wantilan. Aneka patung dewi-dewi yang disebut peri air ini diletakkan di sekitar area meditasi. Pojok ini terasa lebih sunyi. Sebuah candi kurung tua menambah suasana magis.

Sebuah website tirtagangga.nl, merangkum dengan lengkap sejarah dan konsep lokasi seluas lebih dari satu hektar ini. Termasuk merekam proses perbaikan sampai saat ini di beberapa bagian. Website ini ditulis oleh Anak Agung Gede Dharma Widoere Djelantik, cucu Raja Karangasem yang membangun Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem (1887-1966).

Taman air dibangun dengan konsep penghormatan elemen alam semesta yakni Bhur Bwah Swah, kalimat ini dilantunkan dalam doa umat Hindu dalam puja Tri Sandya. Area tertinggi adalah Swah. Di areal ini ada area meditasi, di bawahnya ada kolam untuk anak-anak berenang. Empat buah menara air Versailles. Juga taman bunga lotus, Victoria.

 

Arsip foto ketika Tirtagangga mulai dibangun oleh Raja Karangasem, berada di lereng perbukitan dan belasan kilometer dari kaki Gunung Agung, Bali. Foto: web tirtagangga.nl

 

Level berikutnya adalah tengah disebut Bwah. Ada menara air besar Nawa Sanga di tengah kompleks dikelilingi patung-patung dalam epos Mahabrata. Kolam dengan menara ini bergandengan dengan sebuah kolam besar untuk tempat renang.

Tingkatan terbawah disebut Bhur, kolam besar sebelah kiri yang dihubungkan dengan dua jembatan dan area yang disebut Demon Island di tengah-tengahnya.

Sesuai namanya, tirta berarti air suci dan gangga merujuk nama sungai yang disucikan di India. Sampai sekarang ada sebuah sumber air yang masih digunakan sebagai tirta, sumber air untuk upacara. Sumber airnya juga digunakan untuk penduduk kota Amlapura melalui pipa-pipa.

Lanskap Tirtagangga yang berundak-undak menjadikan air pegunungan turun dan meresap dengan lancar sampai ke luar kompleks, kawasan persawahan. Di sinilah area produktif yang dikhawatirkan kering jika ada perusahaan air kemasan yang mengebor air tanah dalam.

Jika berjalan-jalan di sekitar pematang sawah dan saluran irigasi di luar kompleks Tirtagangga, air bening mengalir. Termasuk di got pinggir jalan raya.

Tirtagangga buka dari pagi sampai petang hari termasuk saat hari libur. Harga tiket tertera Rp20 ribu pada Februari 2017. Ada tambahan biaya jika ingin berenang di dua kolam anak-anak dan dewasa di dalam kompleks Tirtagangga.

Siapkan waktu sedikitnya 2 jam untuk jalan-jalan dan menikmati Tirtagangga. Lebih memuaskan jika sekalian mandi atau berenang. Hari bisa berlalus angat cepat ketika duduk menikmati suara air, bercengkrama dengan ikan-ikan, atau berenang di sini. Ada juga hotel dengan kamar terbatas serta restoran di lereng bukit yang memberikan akses pandangan lebih luas ke Tirtagangga.

 

Air berkualitas dari pegunungan dialirkan ke kolam dan patung-patung di Taman Tirtagangga, Karangasem, Bali, lalu mengairi persawahan di sekitar desa. Foto: Anton Muhajir

 

Raja Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem adalah seorang arsitek dan dosen yang gemar menulis. Tak heran warisan sejarah yang bisa dinikmati generasi kini adalah beberapa taman air seperti Tirtagangga dan Taman Ujung di Karangasem. Kedua taman air berada di dua area yang saling terhubung secara ekosistem, yakni gunung dan laut.

Anak raja, Dr. Anak Agung Made Djelantik (1919 – 2007) adalah seorang dokter dan pernah mengabdi untuk WHO. Ia sekolah di Jawa dan Belanda.

Anak laki-lakinya, Widoere Djelantik (1953) pada 1971 ke Belanda untuk kuliah arsitektur, seni, dan teknologi informasi. “Sejak kecil, taman air ini selalu menjadi tempat yang menyenangkan. Bersama dengan saudara-sudara perempuan, saya melompat dan bermain di kolam sepanjang hari,” tulis pria ini pada website.

Dibangun pada 1948, ada sejumlah hal yang mewarnai sejarah Tirtagangga. Pembangunan dibuat dalam beberapa tahapan, dan diinterupsi oleh erupsi Gunung Agung yang terakhir meletus pada September 1963. Bebukitan yang rapat menjadi gundul karena lava dan debu vulkanik.

 

Bangunan kamar mandi dan kolam pemandian anak di level tertinggi area taman air Tirtagangga, Karangasem, Bali. Foto: Anton Muhajir

 

Disebutkan, sejak 1979 rehabilitasi dimulai dengan perbaikan taman-taman. Dilanjutkan dengan bagian lain dibantu dana dari tiket masuk karena sudah kembali dikunjungi turis pada 1980an. Lalu pemerintah ikut merehabilitasi. Perawatan dan rehabilitasi harus terus dilakukan dan memerlukan dana agar tempat ini kembali megah serta memasukkan konsep Bali Hindu-Budha dalam kompleks desain bangunan. Pembuatan website ini bagian dari fundraising.

Pada 1988 salah satu petanda hidupnya kembali Tirtagangga dalam proses rehabilitasinya adalah mengalirkan air lagi dari menara air dan beberapa patung. Sejarah Tirtagangga juga diwarnai peristiwa gempa bumi yang membuat sejumlah bagian runtuh. Serta vandalisme, ketika sejumlah warga mengambil barang-barang saat masa darurat.

Jejak ekologis di taman air Tirtagangga sepatutnya bisa dipahami rombongan pelajar dari berbagai daerah di Indonesia yang rutin menyambangi saat musim libur sekolah. Juga warga sekitar yang menikmati kolam dan beningnya air untuk berendam dan berenang.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,