Pulau Ternate dan Maluku Utara, merupakan gugusan pulau-pulau kecil. Sadar ataupun tidak, dampak perubahan iklim sudah dirasakan warga seperti intrusi air laut menghantam sumber air tanah, abrasi, hingga ancaman banjir dan kekeringan. Untuk itu, perlu upaya bersama segera menghadapi kerentanan ini.
PMI Kota Ternate, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Palang Merah Amerika dan internasional serta beberapa organisasi lain bikin program Ternate Kota Tangguh Bencana Perubahan Iklim. Prosesnya bertahap, dari membentuk koalisi berbagai stakeholder, penguatan masyarakat dan aksi pencegahan, adaptasi maupun penanganan saat bencana.
Hasyim Yusuf, Kepala BPBD Kota Ternate mengatakan, sebelum masuk pencanangan dan kegiatan lanjutan, ada pemberdayakan masyarakat agar bisa tangguh dari berbagai risiko bencana. Kelompok kerja dibuat guna mengidentifikasi berbagai persoalan kota dan warga.
Dia contohkan, air bersih, sampah dan abrasi pantai. Berbagai persoalan dibahas ke masyarakat lalu bersama-sama susun langkah penanggulangan.
Untuk kesiapan awal, katanya, sudah penandatanganan nota kesepakatan Kota Tangguh Bencana Perubahan iklim pada 23 Maret lalu.
“Kegiatan ini turun sampai kelurahan. Nanti ada tim kerja membantu kegiatan bersama PMI. Kami dukung agar sukses. Seluruh tim kerja terutama instansi terkait wajib mendukung .”
Berdampak
Zainal M Zen, Kepala Markas PMI Kota Ternate memberikan contoh nyata dampak perubahan iklim, seperti, kekeringan, badai, intrusi air laut setiap tahun terjadi. “Semua itu muara dari masalah perubahan iklim,” katanya.
Untuk Ternate, sebagian besar wilayah pesisir merasakan dampak hingga perlu penyadaran masyarakat akan bencana ini.
Isu kota tangguh, katanya, sebenarnya berawal dari pertemuan regional sejumlah negara di Bangkok Maret 2016. Dari sini, tim membantu PMI merancang dan menguji koalisi efektif untuk ketahanan masyarakat.
Pertemuan itu menghasilkan dua negara sebagai pilot project program kota tangguh bencana perubahan iklim, yakni Indonesia dan Vanuatu, dengan banyak pulau kecil. Untuk Indonesia, Ternate terpilih bersama Semarang.
Dari sini, didorong koalisi berbagai elemen masyarakat dari organisasi, komunitas berbagai bidang dan keahlian. “Ini program awal. Kemudian membentuk pokja. Ketangguhan lahir dari kerja-kerja pokja melalui pelatihan dan pendampingan.”
Dalam koalisi ini , ada PMI, kampus, komunitas peduli sampah, komunitas biopori, save Ake Gaale yang memperjuangkan air bersih dan banyak lagi komunitas ikut tergabung.
Andi Mappasaby, Kepala Seksi Kesiapsiagaan Bencana BPBD Kota Ternate mengatakan, dari sejarah bencana Kota Ternate banyak pergerakan geofisik seperti letusan gunung dan gempa.
Untuk bencana perubahan iklim, katanya, dalam 10 tahun terakhir sangat terasa, misal, banjir dan gelombang pasang, kekeringan dan peningkatan permukaan air laut. Masyarakat, katanya, mesti menghadapi lewat mitigasi maupun adaptasi.
Dedy Arief dari Penanggulangan Resiko Bencana (PRB) Kota Ternate mengatakan, sebagai sebuah pulau kecil, posisi Ternate yang berada pada sirkum pasifik sangat berpotensi besar mengalami bencana perubahan iklim. “Akibatnya, ada bagian permukaan air naik, ada bagian permukaan yang turun. Ternate ini mengalami kedua-duanya.”
Kondisi ini, katanya, bisa terlihat abrasi merusak bentang alam, sumber air tanah di bagian utara Ternate terjadi karena intrusi air laut. “Air tanah Ake Gaale di Kelurahan Sangaji Ternate Utara, bukti.”
Untuk memulihkan sumber air tanah Ake Gaale bukan perkara mudah. Yang jelas, pasokan sumber air Ternte terancam. Pemerintah Ternate, katanya, perlu memikirkan sumber air tanah baru.
“Perlu ada langkah cepat sebelum persediaan air tanah di Ake Gaale makin kritis. “