Jalan Panjang Hutan Lindung Wehea, Dihantui Pembalakan dan Dikepung Sawit (Bagian 1)

 

 

Hutan Kalimantan Timur (Kaltim) pernah menjadi sasaran utama dalam bisnis usaha kayu. Pohon-pohon besar ditebang, diolah menjadi kayu gelondongan dan diperjualbelikan. Tidak hanya legal, banyak yang ilegal.

Melihat fenomena itu, warga Dayak Wehea khawatir. Kepala Adat Dayak Wehea, Letdjie Taq, memutuskan untuk berjuang mempertahankan hutan Wehea. Sebab, suku dayak hidup bersentuhan dengan hutan dan Wehea adalah hutan para leluhur. Perjuangan pun dimulai.

Ditemui di kediamannya di Desa Nehasliah Bing, Muara Wahau, Kalimantan Timur, Ledjie menceritakan bagaimana kondisi Wehea pada 1972. Saat itu, perusahaan kayu menjamur di Kutai Timur (Kutim). Hutan di Wehea (Wahau) hampir semua dikuasai perusahaan HPH. Hektare demi hektare berkurang setiap harinya. Dengan mempekerjakan warga setempat, perambahan hutan diyakini sukses tanpa ada konflik dari luar.

“Warga Dayak tak bisa jauh dari hutan. Hutan adalah lumbung kehidupan. Ketika hutan di Wehea terjarah dan terus dirambah, Dayak Wehea hanya jadi penonton, tersisih dari dunia luar. Hutan Wehea yang sekarang ini dulunya sedih sekali, pernah menjadi hutan produksi,” katanya, pekan lalu.

 

Baca: Dayak Wehea: Kisah Keharmonisan Alam dan Manusia

 

Dampak terbesar yang dirasa saat itu adalah kehidupan sosial ekonomi. Hutan yang merupakan sumber kehidupan, hampir tidak berfungsi. Satwa buruan kian berkurang, dan pepohonan besar yang rimbun sudah ditebang. Buah-buahan hutan tak bisa dipanen. Kayu gaharu juga menghilang, karena proses penebangan yang merusak pepohonan yang ada.

“Ketika saya kecil, permukiman warga masih berupa hutan. Tiap keliling hutan dengan membawa anjing, dipastikan akan membawa pulang babi hutan atau payau. Buah-buahan hutan juga bisa dipanen. Kami bisa jual kayu gaharu dan membuat rumah dari ulin yang ada di hutan,” ungkapnya.

Namun, saat illegal logging marak, warga Wehea banyak yang bekerja di perusahaan kayu. Perusahaan memberi target penebangan pohon besar tiap hari, sementara warga hanya diberi upah minim. Ledjie Taq yang resah, perlahan menyadarkan warganya, dia mencari celah berbicara agar tidak ada konflik.

“Hutan Wehea adalah pusat kayu gelondongan. Pohonnya besar-besar, kokoh, dan rimbun. Saya sedih melihat warga, juga kondisi hutan. Sub suku Dayak wehea yang kecil ini, tidak boleh kehilangan hutan yang menjadi identitas,” jelasnya.

Menyadarkan warga setempat ternyata tidak mudah. Sebagian setuju, sebagian lagi ingin bertahan meski upah minim. Konflik selalu terjadi, namun diselesaikan dapat diselesaikan dengan musyawarah.

 

Alam adalah bagian tidak terpisahkan bagi masyarakat adat Dayak Wehea. Secara arif mereka menjaga lingkungan. Foto: Yovanda

 

Tahun berlalu. Pada 1986, bisnis kelapa sawit menyerang Wehea. Hutan, lagi-lagi berkurang, tempat berladang juga menghilang. Mimpi-mimpi Suku Dayak Wehea memiliki hutan adat seperti menghilang. Warga seperti enggan melihat masa depan mereka. “Perusahaan sawit membuka lahan. Mereka membabat kayu, meninggalkan ilalang tinggi di ladang-ladang kami. Padahal, saat kami meninggalkan ladang, dua tahun kemudian kami datangi lagi,” ujarnya.

Saat itu, perekonomian warga Dayak Wehea benar-benar diuji. Hampir tak ada pilihan, selain menjadi buruh sawit atau menjadi penebangan liar. Ledjie Taq, mulai geram karena tak ada lahan untuk berladang. Dia kembali mengumpulkan warga, merebut sisa hutan yang belum terjamah. Caranya, kembali pada adat istiadat.

“Kami kumpulkan kekuatan dan memasang patung nenek moyang. Kami umumkan bahwa Wehea adalah hutan adat, kita buatkan aturan bagi semua orang terutama warga sekitar,” sebutnya.

Pasangan patung leluhur Jot Blie (laki-laki) dan Hong Ngah (perempuan) ditancap di dalam hutan. Itu berarti, hutan tersebut adalah hutan Suku Dayak Wehea yang menjadi cikal bakal munculnya sub Dayak Wehea kecil. Ritual kepercayaan memanggil arwah nenek moyang dilakukan. Warga meminta bantuan leluhur untuk ikut menjaga hutan secara mistis, sementara aturan memasuki hutan ditulis.

“Identitas hutan sudah direbut, warga tak ada yang berani melanggar. Jika ada orang luar datang, kami tangkap dan adili di masyarakat,” ujarnya.

Aturan yang disebutkan Ledjie Taq, antara lain tidak boleh menebang pohon, mengambil kayu, dan tidak boleh membunuh satwa. Jika ada yang melanggar, hukumannya denda adat dan dilihat tingkat kesalahannya. “Jika ada warga ingin berburu, diperbolehkan. Tapi, harus ada izin dan dibatasi.”

Pada 2003, lanjut dia, perjuangan warga Dayak Wehea menemukan titik terang. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman bersama The Nature Concervancy (TNC) melakukan penelitian di Hutan Wehea. Mereka menemukan sarang orangutan. Hutan Wehea lantas dijadikan hutan dengan tujuan khusus. “Kami dibantu TNC, menjaga dan mengelola hutan tersebut.”

 

Sawit, ancaman serius yang dihadapi masyarakat Dayak Wehea terhadap kelestarian hutan mereka. Foto: Yovanda

 

Bebas pembalakan liar

Pada 2004, Ledjie Taq memastikan sudah tidak ada pembalakan liar di Hutan Lindung Wehea. Hutan kembali seperti dulu, para leluhur terasa dekat dengan warga. Ledjie Taq membentuk tim penjaga hutan yang disebut Petkuq Mehuey (PM) sebanyak 35 orang. Mereka memonitoring dan berkeliling hutan setiap hari, serta mencatat ragam flora fauna. Jika ada ancaman, mereka segera mengabarkan ke Kepala PM, Yuliana Wetuq di Desa Nehasliah Bing.

“Kalau illegal logging dan sawit, sudah tidak ada di Wehea. Kecuali di dekat-dekat Wehea, karena berbatasan dengan Berau, di sana ada Suku Dayak Punan. Wehea juga bersebelahan dengan hutan produksi. Kami tidak pernah khawatir dengan orang yang keluar masuk dengan izin berburu. Mereka tidak mungkin membunuh satwa lindung yang ada,” kata Ledjie tersenyum.

Saat ini, lanjut dia, pihaknya hanya waspada dengan penambang emas yang jaraknya hanya beberapa kilometer. Sebanyak 800 pekerja tambang itu datang dari berbagai suku, bahkan ditemukan suku dayak dari sub lain di antaranya. Pihaknya khawatir, penambang memasuki hutan Wehea dan menambang di dalam hutan.

“Kami khawatirkan dengan itu saja, kami waspada. Apalagi saat ini PM hanya enam orang, ditambah Yuli menjadi 7 personil.”

Ledjie mengatakan, pihaknya berbaharap bantuan Pemerintah Daerah Kutai Timur untuk menjaga Wehea bersama. Ketika perjuangannya mendapatkan penghargaan Kalpataru, barulah dunia melihat Hutan Lindung Wehea. “Kami bersukur, pemerintah sudah menetapkan Wehea menjadi hutan lindung sekaligus hutan adat Suku Dayak Wehea.”

 

Kondisi hutan di Kutai Timur yang tak lepas dari pembukaan lahan untuk perkebunan sawit. Foto: Yovanda

 

Senior Manager Provincial Governance TNC, Niel Makinuddin, membenarkan pihaknya mendampingi warga Wehea mempertahankan hutan adat. Keberhasilan itu, tentu saja menjadi kebanggan semua pihak. Terlebih, Wehea kini menjadi salah satu contoh pembangunan hijau dunia. “Ketika Wehea berhasil, tentu semua berbangga hati.”

Niel mengungkapkan, keterpencilan Wehea menyelamatkan hutan tersebut dari ancaman pembalakan. Kondisi di lapangan sangat menarik, karena hutan dikelola masyarakat yang tinggal di perkampungan tertata. “Wehea adalah hutan adat terluas di Indonesia, fenomena ini sangat menarik karena dikelola langsung oleh warga Dayak Suku Wehea. Banyak peneliti datang untuk melihat kondisi Wehea yang masih bertahan,” katanya.

Wakil Bupati Kutai Timur (Kutim) Kasmidi Bulang menyatakan kebanggaannya pada pengelolaan hutan Wehea secara adat. Dia bersuka cita, karena Wehea menjadi salah satu kekayaan Kutim. Ketika bertandang ke daerah lain dan melihat hutan yang gundul, Kasmidi langsung ingat Wehea.

“Siapa yang tak bangga memiliki hutan seluas 38 ribu hektare yang terjaga. Ketika kita tidak menemukan pohon-pohon besar, datang saja ke Wehea dan temukan semua di sana. Wehea adalah sumber kehidupan, flora faunanya membentuk rantai makanan yang sempurna,” jelasnya.

Untuk mengenalkan keindahan Wehea pada dunia, Pemkab Kutim memulainya dari sisi pariwisata. Tanggal 10 April 2017, Pemkab Kutim mengadakan kegiatan Jelajah Hutan Lindung Wehea 2. Di acara itu, hadir puluhan komunitas anak muda pencinta lingkungan, seni dan fotografer.

Kasmidi berharap, dari kegiatan tersebut, indahnya Wehea akan menarik minat wisatawan dan peneliti. “Program ekspedisi kita gelontorkan dari dana APBD Kutim. Tujuannya untuk menyampaikan ke dunia luar, jika di Kutim ada tempat yang indah dan surganya pencinta hutan,” ujarnya.

Disinggung mengenai perjuangan warga Suku Dayak Wehea, Kasmidi memastikan pihaknya akan memerhatikan semua kebutuhan hutan dan warga adat Wehea. Pemkab juga turut membesarkan pesta adat Lom Plai dan memfasilitasi para penjaga hutan.

“Intinya, kita sama-sama membangun dan menjaga Hutan Lindung Wehea,” pungkasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,