Warga Kendeng akan Mengawal Hasil Kajian Lingkungan

 

“Ibu bumi wis maringi, Ibu bumi dilarani, ibu bumi kan ngadili.” (Ibu bumi sudah memberi, Ibu bumi disakiti, Ibu bumi akan mengadili)

Siang itu, para perempuan Kendeng menembang diiringi tabuh lesung. Sembilan Kartini Kendeng ini, dua pekan lalu mewakili ribuan petani di Pegunungan Kendeng dari Kabupaten Lamongan, Tuban, Rembang, Grobogan, Blora, Pati dan Kudus, menunggu pengumuman kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) yang kabarnya keluar 12 April 2017.

Sehari sebelumnya, mereka cemas. ”Awalnya 4 April dibatalkan, kok mau tanggal 12 tak ada kabar,” kata Sukinah, warga Rembang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), siang hari. Sore hari KLHS diumumkan di Kantor Staf Presiden.

Baca juga: KLHS: CAT Watuputih jadi Kawasan Lindung, Terbebas dari Tambang

Pada 10 April, kegelisahan masyarakat timbul pada pertemuan bersama JMPPK di salah satu rumah warga. Sejak tenda perjuangan dibakar, setiap kumpul mereka gunakan salah satu rumah warga.

Mereka memutuskan ke Jakarta mengawal KLHS. Pada 11 April berangkat dari Rembang pukul 13.00. Kali ini, masyarakat kembali membawa lesung padi milik mereka.

Lesung merupakan alat tradisional–sebagian masih digunakan oleh warga di Kendeng. Ia untuk menumbuk padi dan jagung. Menabuh lesung untuk menggugah Presiden Joko Widodo dan para pejabat di pusat mengerti makna lestari, melestarikan Pegunungan karst Kendeng.

”Lesung juga menolak bala, jangan sampai ada hama dan mengingatkan,” ucap Sukinah.

Ngadinah juga datang ke Jakarta, membawa lesung peringatan bahaya. ”Memukul lesung itu maknanya membunyikan tanda bahaya akan kehadiran pabrik semen,” kata warga Kecamatan Tambakromo, Pati ini.

Dia ikut melawan pabrik semen sejak 2010. Awal bertolak ke Jakarta, kedua anaknya masih SMA dan TK tinggal di rumah bersama suami dan ibunya.

Bertani tumpuan hidup Ngadinah dan keluarga. Dalam setahun, mereka menanam padi dua kali dan satu kali palawija. Mulai, tomat, jagung, kacang panjang,  cabai, terong sampai semangka.

Kalau tak pergi ke Jakarta, setiap pagi pukul 04.30, dia ke pasar menjual sayuran hingga pukul 09.00. Bersepeda atau naik motor setiap hari berjarak 500 meter. Jualan ini untuk pendapatan tambahan, bisa Rp100.000-Rp150.000 perhari.

Selepas itu, dia membereskan rumah dan memasak. Pukul 13.00, Ngadinah menyusul suami membantu menggarap sawah hingga pukul 17.00. ”Kalau saya sedang di Jakarta, tugas saya di rumah berbagi dengan bapak.”

Hal serupa dilakukan Sukinah. ”Kami berbagi, ada yang bertugas mengingatkan pemerintah, ada pula yang bertani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” katanya.

Berdasarkan data KLHS, produk domestik regional bruto (PDRB) Rembang, pertanian sektor terbesar perekonomian daerah, 28,7%. Sedangkan, sektor pertambangan dan penggalian serta industri pengolahan, berturut-turut 3% dan 21,3% atau.

 

***

KLHS CAT Watuputih sudah keluar, tetapi di lapangan operasi tambang jalan terus. Seakan semua urusan KLHS baru jalan kala sudah penetapan CAT Watuputih. Dalam KLHS jelas, kala proses penetapan CAT Watuputih, rekomed=ndasi operasi tambang setop dulu, guna menghindari kerusakan kawasan.

Dalam KLHS juga jelas, rekomendasi kepada pemerintah pusat, provinsi sampai kabupaten seperti apa.  Laporan KLHS Tahap I

Apa kata Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng? ”Apakah ini akan menjadi KBAK (kawasan bentang alam karst-red) itu belum. Nanti, setelah ada kajian dari Badan Geologi (KESDM-red). KBAK sekarang hanya ada tiga, di Sukolilo, Gombong dan Wonogiri, yang lain tak ada,” kata Ganjar saat ditemui usai diskusi Potensi Investasi Nasional di Jawa Tengah, di Jakarta.

 

Sumber: KLHS

 

Ganjar malah bilang, bukan Pemerintah Jateng yang akan menjalankan rekomendasi KLHS, tetapi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM).

Begitu juga soal 22 IUP masih boleh menambang di CAT Watuputih Pegunungan Kendeng. “Ke-22 IUP boleh menambang sampai IUP habis. Saya bertanya di rapat itu, lho kok boleh? Katanya nggak boleh. Akhirnya kesepakatan karena akan menjadi kebijakan, dari KLHS menyampaikan yang sudah punya izin, diteruskan sampai IUP selesai,” katanya. Putusan itu seiring menunggu kajian Badan Geologi, 6-12 bulan.

Dia bilang, izin berakhir, pada 13 perusahaan atau perorangan pada 2018, dan enam IUP 2019, dan dua izin 29 Maret 2020. Jangka waktu 2020 itu, memiliki  luasan terbesar, PT SSGM 17.500 hektar dan PT SAF 20.000 hektar di Desa Tahunan, Sale, Rembang.

Meski demikian, dia memastikan tak ada izin baru maupun perpanjangan izin penambangan di CAT Watuputih hingga KLHS tahap II keluar. “Yang mau masuk ke Jateng besar minta ampun. Terus terang saya tahan. Saya belum pernah menandatangani satupun izin baru soal semen,” katanya seraya bilang akan mendorong investasi non semen di daerah itu.

Andiani Kepala Bidang Geologi Lingkungan ESDM mengatakan, jika Kawasan Kendeng memenuhi syarat jadi KBAK, akan jadi rekomendasi Menteri ESDM dengan penetapan titik-titik pegunungan kapur sebagai kawasan dilindungi dari pertambangan.

“Nanti itu akan gambarkan peta batas deliansi, meliputi kecamatan apa, desanya apa, luas berapa yang masuk KBAK. Nanti kita serahkan kepada pemda untuk diadopsi dalam tata ruang,” katanya.

Selanjutnya, pemda menentukan peruntukan kawasan, penetapan KBAK akan menjelaskan mana yang dilarang ditambang.

Sedangkan, untuk RTRW memang sedang dilakukan, per lima tahun sekali. ”Review sedang on going bukan karena KLHS. Jangan salah ya KLHS itu kebijakan hulu bukan hilir, jadi untuk semua,” katanya.

 

ESDM janji libatkan masyarakat

Selasa (18/4/17), Koalisi Masyarakat Kendeng Lestari rapat tertutup bersama KESDM. Pertemuan diterima Hadi Mustofa Djunaraid, Staf Ahli Menteri ESDM, Ego Syahrial, Kepala Badan Geologi, Andiani, Kepala Bidang Geologi Lingkungan Badan Geologi, Joko Prianto dari JMPPK dan Merah Johansyah,  Jatam.

”Kita akan buka pintu seluas-luasnya pada masyarakat, ada waktu satu bulan bagi LSM dan masyarakat sampaikan data pada tim Badan Geologi,” kata Hadi. Selanjutnya, data akan diverifikasi dengan penelitian komprehensif.

Begitupula, Ego menyambut keterlibatan masyarakat lokal dalam mendukung kajian komprehensif Badan Geologi. ”Tugas kami hanya mengidentifikasi mana lindung dan bukan lindung.”

Joko Prianto, warga Rembang  mengatakan, akan terus mengawal hasil KLHS sampai pelaksanaan di lapangan. Termasuk dalam penentuan kawasan lindung karst ini, kata Joko, hal mendasar perlu diketahui tim Geologi ESDM soal masyarakat perlu terlibat. Masyarakat, lebih paham keberadaan aliran sungai tanah di Kendeng.

”Bagaimanapun kami lebih tahu letak-letak goa, ponor, dan air di dalam goa. Kami menemukan banyak goa berair juga kering, ada aliran airnya,” katanya.

 

 

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,