Perhutanan Sosial Berpeluang Selamatkan Bentang Alam Sriwijaya?

 

 

Pemerintahan Jokowi menargetkan 12,7 juta hekatre lahan dijadikan perhutanan sosial untuk para petani hingga 2020. Namun hingga 2016, capaian perhutanan sosial baru 316.824 hektare atau 12,6 persen dari target per tahun.

Di Sumatera Selatan, berdasarkan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas areal yang diperuntukkan untuk pengembangan perhutanan sosial sebesar 586.393 hektare. Tapi, berdasarkan catatan Hutan Kita Institut (HaKI), hingga 2016, baru seluas 81.827 hektare yang terwujud atau 14 persen dari target. Bagaimana mendorong percepatan target tersebut?

Di Sumatera Selatan (Sumsel), sebaiknya perhutanan sosial tidak hanya dipahami sebagai upaya peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar maupun di dalam hutan dengan terbukanya akses terhadap hutan. Tapi juga, dipahami sebagai wujud penyelamatan bentang alam bersama manusia dan peradabannya. Yaitu bentang alam Sriwijaya. Jika dipahami sebagai bentang alam Sriwijaya, bukan hanya target ekonomi yang tercapai tetapi juga kelestarian lingkungan yang terjaga.

Demikian salah satu kesimpulan dari FGD “Capaian Perhutanan Sosial Kenapa Jauh dari Harapan?” yang diselenggarakan UNDP Indonesia-Inisiatif Inovasi Pemikiran Perhutanan Sosial di Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (22/04/2017).

“Selama ini, masyarakat di Sumatera Selatan arif terhadap alam. Mereka membagi wilayah hutan dalam beberapa fungsi. Misalnya, hutan larangan sebagai wilayah tangkapan air dan tempat hidup satwa yang saat ini dilindungi sebagai gajah dan harimau. Kemudian hutan adat yang digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan akan kayu dan obat-obatan. Hutan ini hanya dimanfaatkan sesuai kebutuhan, dan ada proses pelestarian di sana. Lalu, ladang untuk berkebun buahan atau yang menghasilkan seperti karet dan kopi, serta wilayah persawahan atau pertanian, dan sebagian kecil untuk permukiman,” kata JJ Polong dari Spora Institut.

Namun perlakuan tersebut sudah mulai tergerus. Awalnya bukan oleh masyarakat, tapi para pelaku usaha. Selanjutnya, melahirkan dampak rusaknya hutan, yang kemudian melahirkan konflik antara masyarakat dengan negara dan pelaku usaha dalam mengakses lahan dan hutan.

“Saya menilai perhutanan sosial merupakan peluang kita sebagai upaya dalam penyelamatan atau mengembalikan karakter arif masyarakat Sumatera Selatan terhadap hutan. Dengan begitu, bentang alam yang lestari akan terselamatkan atau terwujud kembali,” kata Polong.

 

Purun, rumput yang tumbuh di rawa gambut yang mampu dimanfaatkan sumber pendapatan tanpa harus mengubah bentang alam rawa gambut. Foto: Taufik Wijaya

 

Sutrisman Dinah, jurnalis dan pegiat lingkungan hidup di Palembang, menjelaskan saat ini bentang alam di Sumatera Selatan sudah dipetakan oleh para pelaku usaha berbasis eksplorasi kekayaan alam. “Sumatera Selatan sudah terbagi-bagi,” katanya.

“Mampukah perhutanan sosial hadir dalam situasi tersebut? Mungkin kita pesimistis, tapi sebenarnya masih ada peluang,” ujarnya.

Salah satunya, perubahan bentang alam yang terjadi saat ini menyebabkan hilangnya wilayah tangkapan air. Padahal, persoalan air tawar saat ini menjadi problem utama dunia, sebab ke depan kemungkinan besar manusia akan mengalami krisis air.

“Selama ini, peradaban Kerajaan Sriwijaya yang berlangsung di Sumatera Selatan sangat menjaga bentang alam yang mampu mengendalikan keberadaan air, serta kehidupan flora dan fauna, sekaligus menjamin kesediaan pangan lestari bagi manusia,” katanya.

Jadi, dengan adanya perhutanan sosial, ini merupakan peluang bagi masyarakat dan pemerintah Sumatera Selatan untuk mengembalikan bentang alam Sriwijaya. “Setidaknya, mampu menjaga keberadaan air tawar di Sumatera Selatan. Bukan sebatas penguatan ekonomi masyarakat,” tambahnya.

Ahmad Muhaimin, pegiat lingkungan hidup, juga menilai perhutanan sosial jangan hanya dipahami sebagai upaya perbaikan kondisi ekonomi masyarakat di pedesaan atau di sekitar hutan. “Jika persoalan ekonomi yang dikedepankan, jelas perhutanan sosial akan kalah bersaing dengan pelaku usaha yang mengeksplorasi sumber daya alam, yang mampu menjamin percepatan perbaikan ekonomi bagi masyarakat, meskipun tidak berkelanjutan,” katanya.

Rabin Ibnu Zainal, Direktur Pinus (Pilar Nusantara), juga sepakat pendekatan ekonomi bukan hal utama dalam membangunan perhutanan sosial. Dia  mencontohkan posisi perhutanan sosial akan lemah di mata masyarakat jika dihadapkan dengan tawaran ekonomi dari pelaku usaha penambangan batubara. “Secara ekonomi, jelas mereka akan memilih batubara, seperti halnya sikap sebagian penyelenggara negara selama ini,” katanya.

Imelda, pengamat ekonomi pembangunan dari Universitas Sriwijaya, menuturkan sebenarnya besar sekali peluang ekonomi bagi masyarakat jika kondisi bentang alam dikembalikan seperti dulu. “Ekonomi potensial bukan sebatas perkebunan kopi, karet, padi, juga dari hasil hutan lainnya yang berkarakter lestari, seperti gaharu,” katanya.

“Beragam jenis tanaman yang disebutkan dalam Prasasti Talang Tuwo seperti kelapa, aren, pinang, sagu, bambu, juga memiliki potensi ekonomi yang baik jika dijadikan basis tanaman dalam menjalankan perhutanan sosial,” timpal Sutrisman Dinah.

 

Ketika rawa gambut dikuasai oleh pelaku usaha perkebunan sawit, akses masyarakat pun tertutup terhadap lahan tersebut, termasuk tidak dapat lagi mencari ikan dengan cara memancing. Foto: Taufik Wijaya

 

Kendala

Abdul Wahib Situmorang, Technical Advisor-Natural Resources Governance UNDP Indonesia, mengatakan sejumlah laporan telah mengungkap ragam kendala dalam pencapaian target perhutanan sosial.

Hal yang ditemui adalah (1) keterbatasan dana yang dialokasikan pemerintah, (2) prosedur dan regulasi, (3) keterbatasan sumber daya pendamping, (4) keterbatasan pertukaran informasi antara pemangku kepentingan, (5) rendahnya tingkat “kepercayaan” antara para pemangku kepentingan, (6) transparansi rendah dan minimnya konsultasi dalam proses pengambilan keputusan, (7) kesulitan dalam mengoperasionalkan kebijakan pemerintah, (8) dukungan dari pemerintah daerah belum maksimal, dan (9) rendahnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan manajemen.

Menurut Abdul, menjadikan perhutanan sosial sebagai upaya pengembalian bentang alam Sriwijaya di Sumsel merupakan strategi yang harus didukung. “Meningkatkan kesadaran semua pihak untuk menyelamatkan peradaban Sriwijaya memang harus dilakukan,” pungkasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,