Macan Tutul Ditemukan di Gunung Sawal Ciamis

Keberadaan macan tutul jawa (Panthera pardus melas) sedang dalam perhatian serius dari sejumlah kalangan. Dilatarbelakangi oleh adanya konflik berkepanjangan yang terus terjadi di wilayah Jawa Barat. Penelitian pun dilakukan hampir 5 bulan terakhir ini, melibatkan para peneliti, pemerhati satwa baik dari pihak pemerintah maupun lembaga swadaya, guna mendapatkan informasi sebagai rujukan untuk penanganan persoalan tersebut di Suaka Margasatwa Gunung Sawal, Kabupaten Ciamis.

Meskipun penelitian ini belum secara komperhensif mendeteksi jumlah populasi “si predator” di alam liar, namun dari pemasangan 20 kamera jebak yang disebar pada sejumlah titik menunjukan bahwa ada 5 ekor macan tutul yang hidup bebas.

“Terekam aktivitas 2 ekor macan tutul dewasa dan 3 ekor betina di Gunung Sawal,” kata Program Manager Gedepahala Conservation Internasional (CI) Indonesia  Anton Aryo pada acara diskusi mengenai Hasil Studi Populasi dan Habitat Macan Tutul Jawa dan Sosial Ekonomi Masyarakat sekitar Suaka Margasatwa Gunung Sawal di Kebun Binatang Bandung, Jalan Tamansari, Kota Bandung, Selasa (25/4/2017).

 

 

Kawasan Gunung Sawal sendiri luasnya mencapai 10.515 hektar, terdiri dari kawasan konservasi seluas 5400 hektar dan hutan produksi sekitar 5000 hektar. Luasan tersebut dinilai  cukup ideal paling tidak untuk habitat 4 – 8 ekor macan tutul jawa.

Anton menuturkan dari beberapa foto yang ada diperkirakan wilayah kekuasaan macan tutul bisa mencapai 8 kilometer. Hal itu menandakan bahwa daya jelajah pemuncak rantai makanan tersebut memang cukup luas di Gunung Sawal.

Menurut Anton, dari ditemukannya 21 frame foto yang menunjukan aktivitas macan tutul. Diketahui foto tersebut merupakan individu yang sama yang sebelumnya sudah terekam di lokasi berbeda. Namun, Anton menyakini bahwa populasi macan tutul di Gunung Sawal mencapai 8 ekor.Dengan memperhitungankan luasan habitat macan tutul sesuai penempatan kamera jebak.

Setidaknya perlu menunggu 15 tahun untuk dapat melakukan inventarisasi populasi macan tutul di Gunung Sawal secara terintgrasi meskipun hasilnya masih tentatif.

Ketua Forum Macan Tutul Jawa (Formata), Hendra Gunawan mengatakan, awal mula terjadinya konflik antara macan tutul dengan manusia terhitung sejak tahun 2001 – 2016. Dari data yang terkumpul selama 15 tahun itu telah tercatat ada 60 kasus konflik macan tutul di 10 kabupaten, se-Jawa Barat – Banten.

Data lainnya menyebutkan kasus “turun gunung” macan tutul didominasi oleh anakan yang termasuk kategori muda 2 – 3,5 tahun.Diduga penyebab utamanya adalah soal perebutan wilayah teritorial. Fenomena tersebut sering terjadi di Kabupaten Ciamis dan Sukabumi.

“Macan tutul kerap keluar pada peralihan musim kemarau dan penghujan. Di Bulan Oktober banyak keluar, jadi polanya tidak tentu, bisa musim hujan atau kemarau. Tapi biasanya macan keluar karena perebutan teritorial,” kata Gunawan.

Lokasi konflik sendiri terjadi di desa yang berdekatan dengan kawasan SM Gunung Sawal. Jika dipersentasikan 76 persen terjadi di desa berbatasan hutan produksi, 6 persen terjadi di desa yang tidak berbatasan langsung dengan hutan dan 18 persen terjadi di desa berbatasan hutan konservasi.

Dia menjelaskan hasil dari lapangan, kepadatan kawasan macan tutul di lokasi penelitian masih terbilang baik, satu individu menempati per 6,4 kilometer persegi. Daya jelajahnya pun sekitar 6 – 8  kilometer persegi atau sekitar 700 hektar setiap individunya.

 

Macan tutul, salah satu hewan yang ada di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Foto : CI Indonesia

 

Habitat Alami

Dari data yang dihimpun, macan tutul jawa merupakan satwa yang memiliki toleransi tinggi terhadap iklim dan lingkungannya. Di alam liar, macan tutul lebih menyukai daerah yang memiliki pohon yang besar untuk beraktivitas, berlindung sekaligus mengintai. Macan tutul biasanya berada di kawasan hutan primer yang ketersediaan pakan dan lingkungannya jauh dari intervensi manusia.

Diperkirakan keluarnya macan tutul dari daerah yang ketersediaan pakan serta lingkungannya yang baik disebabkan oleh penambahan jumlah populasi, khususnya jantan. Anakan macan tutul jantan setelah lepas disusui pada umur 2,5-3 tahun harus mecari teritori sendiri di luar teritori induknya.

Sebenarnya macan tutul takut terhadap keberadaan manusia, sehingga jarang menampakkan wujudnya. Keberadaan macan tutul sangat penting tidak hanya sebagai pengatur keseimbangan ekosistem tapi juga sebagai penanda kelestarian hutan yang memiliki fungsi hidrolis dan biosfer untuk menunjang kehidupan manusia.

 

Degradasi Hutan

Populasi macan tutul di alam liar belum sepenuhnya diketahui dengan pasti, namun diperkirakan jumlahnya terus menurun dan penyebarannya pun menyempit akibat fragmentasi kawasan hutan oleh pengembangan kawasan daerah dan perburuan.

Secara administratif, ada 3 lembaga negara yang memiliki kuasa terhadap lahan hutan. BBKSDA memiliki kewenangan untuk mengurusi kawasan konservasi, Perhutani yang bertanggungjawab terkait hutan lindung dan hutan produksi dan Dinas Kehutanan bertanggungjawab diluar wilayah lindung dan konservasi.

Dalam menyoroti persoalan degradasi lahan, kadang masih dijumpai silang pendapat diantara ke-tiga intansi tersebut. Masing – masing intansi memiliki data tentang luasan hutan sesuai dengan kewenangannya. Namun, data itu terkesan “kaku” karena belum atau terlambat diperbaharui. Jadi, cukup sulit mengetahui secara pasti tentang luasan hutan yang ada masih sesuai dengan data atau malah sudah berkurang drastis.

Gunawan menyebutkan aktivitas macan tutul turun keluar dari habitatnya masuk ke pemukiman warga itu bukan semata-mata mencari makan. Melainkan melintas untuk mencari kawasan hutan atau gunung disekitar untuk dijadikan tempat tinggal baru. Namun, pada kenyataannya jalur untuk melintasi itu telah terfragmen atau berubah oleh pemukiman masyarakat.

 

Macan tutul (Panthera pardus), salah satu satwa dilindungi yang hidup di kawasan Gunung Ciremai. Satwa ini terancam karena terjadinya kebakaran di Taman Nasional Gunung Ciremai. Foto : CI Indonesia

 

Secara tidak langsung aktivitas lahan garapan atau produksi kadang terus mendekati hutan di kawasan Gunung Sawal. Sehingga, perlu ada solusi lain terait lahan garapan tersebut. Dia menambahkan harus ada penyelesaian secara terintegrasi antar berbagai pihak terkait konflik macan tutul di Gunung Sawal.

Kepala BBKSDA Jawa Barat Sustyo Iriono mengatakan hingga saat ini belum ada angka pasti ihwal estimasi populasi macan tutul. Pasalnya, belum pernah dilakukan penelitian secara komprehensif.Kendati demikian, tambah dia, dari temuan di lapangan ada sekitar 76 titik lokasi yang terindikasi terdapat aktivitas macan tutul.

Menurutnya, rapat penanganan macan tutul telah diadakan pada April 2016 lalu, sehingga konflik antara Macan Tutul dan masyarakat dapat segera diatasi. Saat ini pihaknya akan melakukan kerjasama dengan lembaga NGO untuk mencari data populasi macan tutul agar bisa melakukan upaya penyelamatan habitat Macan Tutul.

“Kami terus intens mengelola untuk mapping kendala dan masalah lainnya. Bukan hanya di Gunung Sawal saja tapi juga di seluruh Jawa Barat, kita targetkan dua tahun ke depan sudah clear,” imbuh dia.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,