Pererat Keterikatan Generasi Muda Adat dengan Leluhur dan Hutan Mereka

 

Masa depan masyarakat adat bisa terlihat dari kepedulian dan kesiapan para pemuda-pemudinya. Generasi muda adat penting mempererat hubungan dengan para leluhur, mempelajari nilai-nilai adat dan budaya, maupun sejarah wilayah agar tak mudah tercerabut. Ia sekaligus akan memperkuat upaya generasi muda mempertahankan wilayah dan, hutan  adat dari beragam ancaman.

Noer Fauzi Rachman, Staf Khusus Kepala Staf Kepresidenan, dalam sarasehan Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara V di Deli Serdang, Sumatera Utara belum lama ini mengatakan, ada suatu masa, semua membicarakan situasi sulit, seperti, orang-orang sekolah ditarik keluar dari kelompok adat.

“Ketika mau kembali susah karena hubungan sudah diputus. Jadi penting, pemuda adat mengerti sejarah mereka,” katanya.

Muda mudi merawat adat dan budaya dengan cara mereka masing-masing. Laso’rinding Sombilinggi, vokalis Tindoki Band, pemuda adat dari Toraja pilih mempertahankan budaya leluhur melalui musik.

Mereka memadukan musik tradisional peninggalan leluhur dengan musik modern. Alat-alat musik itu didapat dari penjelajahan ke berbagai negeri.

“Mencari tahu berbagai jenis musik tradisional, mempelajari silsilah dan latar belakang, sekaligus mempelajari cara memainkan.”

Mereka berharap, makin sering bercerita, makin banyak orang mengetahui berbagai jenis alat musik trandisional yang mungkin banyak yang terpublikasi di dunia modern.

Dia memperlihatkan, alat musik tradisional Toraja, yaitu karombi. Alat musik ini untuk ritual adat Toraja, dan selalu digunakan di Pakpak Sorok. “Jika ada terserang wabah cacar, orang-orang membakar ayam hitam dan membunyikan karombi yang dipercaya bisa mengusir arwah jahat dan penyakit bisa hilang.”

Mereka juga memainkan berbagai alat musik seruling dan ala musik leluhur lain. Tetap, setiap manggung, memulai dengan cerita asal alat musik dan sejarah.

 

Ada yang merawat adat lewat musik, ada juga dengan bikin sekolah. Lima pemudi lain yakni Modesta Wisa, Dwiana Sari, Reni Raja Gukguk, Yosita, dan Katarina Ria,  sepakat membentuk Sekolah Adat Samabue pada 24 Februari 2016. Nama Bukit Samabue mereka dedikasikan sebagai bentuk perlawanan menyelamatkan alam sekitar.

Mereka mengajarkan kepada anak-anak di Desa Sepahat, Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, dari seni budaya sampai sejarah komunitas adat mereka.

“Kami belajar di alam, itu bentuk kami ikut menjaga dan melestarikan alam. Sekolah adat hadir di tengah masyarakat juga salah satu bentuk kekhawatiran kita melihat sistem pendidikan yang mencerabut anak-anak adat meninggalkan kampung halaman. Pemuda adat meninggalkan kampung, bertemu banyak orang, lalu malu gunana bahasa mereka,” kata Wisa.

Jhontoni Tarihoran Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) mengatakan, sangat penting pemuda adat terlibat dalam perjuangan mempertahankan wilayah dan adat mereka.

“Kami mengorganisir diri dengan generasi muda membentuk Barisan Pemuda Adat Nusantara. BPAN dideklarasikan pada 29 Januari 2012, menemukan satu perasaan senasib, sepenanggungan. Kami sebagai generasi muda mengorganisir diri untuk memperkuat AMAN,” katanya.

Lewat berbagai kegiatan BPAN, diharapkan generasi pemuda adat bisa membangkitkan kebanggaan diri sebagai bagian masyarakat adat.

Anggota dari pemuda-pemudi adat berusia 17-35 tahun, kini tersebar di 18 wilayah 826 orang.

Jhon bilang, dewasa ini banyak generasi muda melepaskan atribut-atribut adat. Merasa tak bangga dengan identitas sebagai masyarakat adat.

“Itu terjadi dimana-mana, generasi muda adat pergi meninggalkan kampung, yang tinggal di kampung-kampung itu orangtua-orangtua kami saja.”

Banyak hal mempengaruhi generasi muda adat meninggalkan wilayah mereka. Ada semacam pemahaman, katanya,  kalau tinggal di kampung itu kampungan.

Sisi lain, pendidikan formal, tak mempersiapkan generasi muda adat untuk mengelola wilayah mereka. Hingga mereka  tak mampu berburu, menjaga sumber air, hutan dan wilayah adat. “Jadi kalau orangtua saya petani, saya tak disiapkan dan tak diperkenalkan dengan alat pertanian.”

Belum lagi, katanya, banyak generasi muda pergi dari wilayah adat karena dikuasai sawit. “Ini seperti terjadi di Talang Mamak. Masuk investasi, ruang mereka makin sempit. Juga terjadi di berbagi daerah.”

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,