Patmi dan Semangat Keadilan Lingkungan

“Kaki Patmi disemen adalah kaki-kaki yang menolak berpisah dengan tanah dan sawah. Bagi Patmi, tubuh bumi ibarat tubuh perempuan. Ketika tak ada lagi penghargaan padanya, mata-mata air kian sulit ditemui, dan akhirnya menyulitkan manusia yang membutuhkan air sebagai salah satu sumber penghidupan.“

“Perjuangan kita diberkati Gusti Allah!” bisik Yu Patmi, perempuan asal Pati, nyaris tertelan riuh rendah kebisingan ibukota sore itu di depan Istana Negara. Di Pucuk Tugu Monas, awan gelap menjuntai sesaat hujan deras mengguyur Jakarta. Nafas dan semangat Padmi tak padam, selubung gips putih membungkus telapak kaki kasar dan dekil seorang petani desa.

Sepasang kaki yang sejak Kamis, 16 Maret 2015 dicor semen di dalam bak kayu.  Dia lakukan itu bersama sekitar 55 warga lain dari desa-desa di sekitar Pegunungan Kendeng (Rembang, Blora, Pati). Ia sebagai aksi protes terhadap rencana pembangunan pabrik dan tambang semen di Rembang, Jawa Tengah.

Dua tahun setelah itu, 2017, rekan-rekan seperjuangannya kembali menggelar aksi serupa diberi nama “Petani Terbelenggu Semen.” Mereka duduk di kursi lipat dengan kaki terpasung, berjajar memunggungi Monas, menghadap ujung Jalan Medan Merdeka Barat, tepat di depan Istana Merdeka.  Aksi kali ini berlangsung sejak Senin, 13 Maret 2017.

Patmi baru menyusul tiga hari kemudian, bersama kakak dan adiknya. Tiba di Jakarta, dia langsung bergabung bersama rekan-rekan di depan Istana Negara, Jakarta. Kaki dipasung semen, seperti peserta aksi lain.  Mereka bertekad terus melanjutkan perjuangan sampai tuntutan dikabulkan, bertemu Presiden Joko Widodo.

Senin, 20 Maret, Istana menerima empat perwakilan petani Kendeng. Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki di Gedung Bina Graha Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta menerima perwakilan petani Kendeng saat sore menjelang. Sore itu juga cor dibuka.

Takdir tak bisa ditolak. Selepas malam, Patmi yang merasa kurang enak badan pergi selamanya setelah serangan jantung.

 

Lahan pertanian nan subur, tempat bergantung banyak kehidupan yang coba terus dipertahankan para petani Kendeng. Foto: Tommy Apriando

 

Aksi mengecor kaki dengan semen ini begitu mengejutkan. Mereka, para perempuan petani, ibu bagi anak-anaknya sekaligus bagi bumi, yang memberikan pangan bagi umat manusia.

Aksi perlawanan Patmi dan perempuan-perempuan petani Kendeng telah menciptakan cerita yang terus bergulir dan akan terus menghantui hari-hari ke depan yang rakus dan eksploitatif sumberdaya alam.

Aksi Padmi dan kawan-kawan membangkitkan semangat dan daya juang tak hanya kepada perempuan juga anak-anak muda, ilmuwan dan pegiat lingkungan.  Perjuangan Padmi melampaui bahasa, dia adalah ibu dengan daya juang yang menggetarkan, keberanian yang sangat menyentuh nurani.

Mungkin Padmi tak paham apa itu gerakan feminisme. Mungkin dia juga tak pernah menyentuh naskah-naskah menggetarkan seperti karya Mary Wollstonecraft tentang gerakan pembebasan perempuan (The Vindication of the Rights of Woman-1792) yang berkisah tentang hingga kaum hawa mencapai hak pilih pada awal abad keduapuluh.

Patmi mungkin juga tak membutuhkan buku-buku tentang ekonomi-politik. Bukan karena itu tak penting, melainkan karena tubuh dan perjalanan hidup mereka sendiri adalah kisah tentang kerumitan ekonomi politik yang mendesak hingga ke petak-petak sawah di pedalaman.

Bagi Patmi,  sawah, air dan lingkungan sekitar tak ubah tubuh yang perih bila terlukai. Terutama kala masyarakat kehilangan sawah dan pangan karena mesin–mesin semen akan datang.

Kaki Patmi yang disemen adalah kaki-kaki yang menolak berpisah dengan tanah dan sawah. Bagi Patmi, tubuh bumi ibarat tubuh perempuan. Ketika tak ada penghargaan padanya, akan tiba saatnya tubuh itu rusak dan sekarat.

Mata-mata air kian sulit ditemui, dan akhirnya menyulitkan manusia yang membutuhkan air sebagai sumber penghidupan.

Kehilangan tanah adalah hilangnya sumber kehidupan dan mulai pemiskinan yang jadi akar berbagai masalah ekonomi, serta berpotensi meningkatkan buruh migran, berbagai kekerasan maupun berbagai ancaman kekerasan perempuan.

Inilah bukan perjuangan terakhir, sekaligus terbesar bagi masyarakat petani seperti Patmi. Menolak menjual tanah, menolak diam saat sawah terancam hancur, adalah titik pijak menghadapi medan ekonomi politik yang ganas.

Sebagaimana diingatkan oleh James C. Scott dalam esai tentang latihan perlawanan kaum anarkis, ”Akan tiba saatnya Anda diminta melanggar hukum besar atas nama keadilan dan rasionalitas. Segalanya akan tergantung pada hal itu. Anda harus siap.” (Two Cheers for Anarchism: Six Easy Pieces on Autonomy, Dignity and Meaningful Work and Play, 2012)

Warga Kendeng tahu saatnya telah tiba dan mereka bersiap. Inilah yang membuat Patmi, juga kematiannya, menjadi titik tolak tak bisa terpisahkan dari sejarah panjang aktivisme politik para petani di negeri ini.

Satu hal, melawan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya jadi pegangan mereka. Mereka tak ingin merusak martabat pemerintah, mereka hanya ingin keadilan. Semoga masih ada ruang keadilan bagi perjuangan panjang mereka…

 

* Hening Parlan, penulis adalah pegiat Ecosister, sebuah jaringan perempuan untuk  Sumberdaya Alam dan Reforma Agraria

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,