Hutan adat Besikalung seperti sebuah harta karun yang tersembunyi di kaki Gunung Batukaru. Kombinasi lansekap alam nan artistik, tempat suci, dan inisiatif perlindungan satwa dari komunitas masyarakat adat di Kabupaten Tabanan, Bali. Pecalang, satuan keamanan adat patroli dan menangkap pelanggar.
Sebuah papan bertuliskan Pura Besikalung di pinggir jalan raya Desa Babahan, Kecamatan Penebel. Jalan menuju kawasan warisan budaya dunia Jatiluwih dari Kota Tabanan. Papan penunjuk mengarahkan ke jalan menurun dengan kemiringan tajam.
Jalan menurun dan berkelok kemudian menanjak menuju perbukitan. Terasering atau persawahan berundak sudah terlihat jelas dari jalan raya. Bebukitan sangat hijau dengan lebatnya pohon-pohon besar penyimpan air tanah.
Motor melaju pelan mengikuti lekuk jalan yang cukup berpapasan roda empat dan roda dua ini. Ada sejumlah tumpukan balok kayu di pinggir jalan seolah tanpa pemilik.
Sekitar 10 menit dari jalan utama, masuk perkampungan warga. Warga menjawab ramah dan menunjukkan arah menuju kawasan hutan dan pura Besikalung. Ada papan penunjuk arah 600 meter menuju pusat pura.
Jalan mulai menanjak cukup terjal. Melewati terasering indah. Hampir seluruh lahan saat ini ditanami padi lokal beras merah. Warga lokal menyebut padi tahun merujuk proses tanam sampai panen. Tak sepenuhnya setahun, namun ada beberapa bulan yang dibiarkan tanpa proses tanam untuk merehatkan tanah. Memulihkan dirinya, jeda untuk bernafas, agar unsur hara terjaga. Sebuah kearifan lokal yang memberikan keberlanjutan kualitas hasil pertanian.
Padi ini ukurannya jauh lebih besar dan tinggi dibanding padi hasil revolusi hijau. Bisa sampai satu meter tingginya dengan batang-batang dan gabah lebih gemuk.
Jalan memandu sampai gerbang pura. Ditandai dengan sebuah papan dan pos jaga pecalang (satuan keamanan desa adat di Bali). Suasana magis menyergap di sekitar pintu masuk. Barangkali karena kanan kirinya ada aliran sungai dengan batu-batu besar, air jernih, dan suara gemericiknya yang memecah sunyi.
Ditambah sebuah tugu dipayungi pohon besar yang sangat anggun. Suara burung makin terdengar nyaring. Juga kodok dan serangga hutan. Padahal ini masih siang, mentari terik, tapi di dalam kawasan hutan dan pura seperti petang.
Makin ke dalam, pepohonan makin lebat. Kompleks pura persis ada di ujung jalan utama. Sebuah pura yang sangat rimbun. Pura di tengah hutan. Bangunan pura tersamar dengan batang-batang dan dedaunan. Sepasang patung macan hitam dan belang dipasang di depan pura.
Di halaman depan pura, kembali terlihat terasering sawah. Seperti bukit dengan undakan sawah. Lansekap hutan dan persawahan membuat siapa saja yang bersembahyang atau jalan-jalan akan betah di area ini.
Ada dua buah papan pengumuman mencolok. Pertama berisi aturan berpakaian dan bersikap di pura. Lainnya kesepakatan bersama desa adat, lembaga kemasyarakatan, dan lainnya tentang komitmen perlindungan hutan dan satwa. Sanksi sosialnya menakutkan.
Jika menembak burung, menyetrum ikan, dan merusak hutan sanksi moralnya melakukan guru piduka. Ini ritual minta maaf dalam agama Hindu yang bisa sangat merepotkan sekaligus memalukan. Dilakukan dengan sesajen dan norma tertentu disaksikan pengurus pura dan desa adat. Minta maaf pada semesta dan pencipta. Belum ada yang melakukan sanksi ini. Juga ada sanski denda Rp10 juta.
Hutan yang mengelilingi pura besar atau khayangan jagat ini terjaga kelestariannya. Sanksi sosial berat dan termasuk kawasan suci barangkali membuat warga tak ada yang berani merusak flora dan fauna di hutan sini.
Dalam kesepakatan yang ditegaskan pada 2014 ini disebutkan larangan ini berlaku radius 5 kilometer dari pura, ke segala arah. Jadi pura adalah titik pusatnya. Jarak dan areal konservasi yang luas. Ini mencapai satu desa atau kelurahan.
Di belakang pura ada jalan sawah yang banyak dilalui motor. Ada pemukiman di balik bukit. Jika melewati jalur ini, pemandangan sawah terlihat makin lapang dan indah. Burung-burung jalan tanpa takut di pematang sawah.
Ketut Martana adalah pengurus Lembaga Pemberdayaan Masyarakat yang terlibat dalam pembuatan kesepakatan bersama ini. Ia mengatakan kawasan inti hutan lebih dari 20 hektar. “Warga sekitar tak berani buat pondokan di hutan, tak berani ambil apa termasuk pohon tumbang,” katanya.
Beberapa orang yang terlihat membawa alat buru tak serta merta dihukum. Tapi diberi pembinaan dahulu berupa peringatan.
Martana yang pernah menjadi ketua panitia upacara agama di Pura Besikalung berkisah ada pengalaman di masa lalu terkait pengelolaan hutan. Pada tahun 1990-an sempat ada perebutan hasil hutan. Kemudian kayu-kayu tinggi ditebang untuk ditanam kopi. Hasil panen kopi diperkirakan bisa digunakan untuk biaya ritual dan warga penggarap. Tapi malah ada konflik terkait pembagian hasilnya. Solusinya, warga kembali menanam kayu-kayu dan menghutankan lahan. Misalnya pohon majegau dan rasamala. Burung-burung dan stawa lain pun datang dan merimbunkan pura Besikalung.
“Saat upacara di pura, warga menghaturkan hasil panen sawah sekitarnya,” kata Martana. Misalnya dua ikat padi. Untuk anugerah pangan dan air bersih yang tak pernah henti mengalir karena lestarinya hutan.
Sejumlah lembaga perlindungan satwa memanfaatkan dengan melepasliarkan binatang yang pernah sakit atau hasil sitaan. Misalnya Friends of National Parks Foundation (FNPF) yang juga terlibat dalam kesepakatan perlindungan hutan. Bayu Wirayudha dari FNPF menyebut konsep konservasi sebenarnya dilakukan warga desa Babahan ini.
Putra Sedana, warga Desa Babahan mengatakan pura dan hutan adalah satu kesatuan dan menjadi hulu desa. “Warga sangat menghormati, belum pernah ada yang berani melanggar,” ujarnya.
Areal persawahannya menjadi bagian dari jalur trekking Jatiluwih. Ada papan penunjuk rute-rute trekking yang dipasang di sekitar pura. Jadi masyarakat luar bisa menikmati hasil perlindungan dan lanskap Besikalung dengan jalan kaki. Menelusuri lewat sungai atau membelah terasering sawah. Memulai dari hilir atau hulu.