Konferensi ke-2 FiTI Sepakati Transparansi dalam Tata Kelola Perikanan

Sekitar 200 peserta Konferensi Internasional ke-2 Fisheries Transparency Initiative (FiTI) menyepakati komunike tentang pentingnya transparansi dan partisipasi dalam mengelola sumber daya perikanan secara berkelanjutan. Hal itu untuk memastikan sumber daya perikanan bisa memenuhi kebutuhan penting bagi kehidupan, kedaulatan pangan, serta nutrisi bagi generasi saat ini maupun mendatang.

Komunike itu dihasilkan dalam konferensi sehari yang diadakan di Legian, Kabupaten Badung, Bali pada Kamis (27/4). Peserta konferensi dari kalangan pemerintah, swasta, lembaga masyarakat sipil, dan organisasi internasional. Selain Indonesia, peserta juga datang dari Australia, Eropa, Senegal, Nigeria, Seychelles, dan Guinea.

Dalam komunike yang dibacakan saat penutupan konferensi tersebut terdapat 19 poin. Sebagian materinya termasuk menyepakati adanya standar FiTI global untuk pertama kali sebagai persyaratan yang harus dipenuhi para negara anggota. Standar itu nantinya akan menjadi acuan bagi negara, sektor industri besar maupun skala kecil, dan masyarakat sipil untuk mewujudkan transparansi di sektor perikanan.

 

 

Komunike Bali tersebut merupakan kelanjutan dari hasil pertemuan Februari tahun lalu di Nouakchott, Mauritania dalam Konferensi FiTI pertama kali. Dalam pertemuan itu, para peserta membuat Deklarasi Nouakchott sebagai panduan awal untuk membuat komunike di Bali.

Poin lain dalam Komunike Bali, para peserta juga sepakat membentuk Dewan Pengurus Internasional FiTI. Mereka akan berasal dari kalangan pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat sipil.

Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan pemerintah Indonesia mendukung inisiatif yang baik tersebut. “Dengan garis pantai lebih dari 80.000 kilometer dan yang terpanjang kedua di dunia, Indonesia mendukung masyarakat pesisir untuk melindungi ekosistem lautnya,” ujarnya.

“Oleh karena itu, informasi terpadu mengenai siapa yang menangkap apa di perairan kita akan sangat membantu usaha Indonesia dalam memerangi segala bentuk IUU Fishing dan tindak pidana di bidang perikanan,” Susi menambahkan.

Menurut Susi, dengan adanya keterbukaan informasi, pemerintah internasional dapat menelusuri asal usul produk perikanan yang diperdagangkan secara global, sehingga produk ilegal tidak bisa masuk ke suatu negara dengan mudah.

Pengelolaan perikanan secara transparan di Indonesia berdasarkan pada tiga pilar yaitu kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan, melalui penerapan good governance dan komitmen yang kuat.

Indonesia sendiri sudah memiliki komitmen mewujudkan transparansi dalam tata kelola pemerintahan, termasuk di sektor perikanan. Sejak 2009, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) di mana badan-badan publik wajib membuka informasi kepada publik. Komitmen keterbukaan informasi di sektor perikanan hanya memperkuat UU KIP tersebut.

Bersama Indonesia, empat negara percontohan lain, yaitu Mauritania, Senegal, Seychelles, dan Guinea mulai meletakkan dasar untuk melaksanakan proses inisiatif ini sesuai peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional di negara masing-masing. Wakil negara-negara ini telah mencapai kemajuan dalam menyiapkan pelaksanaan FiTI dan telah menyampaikan kembali komitmennya untuk menjalankan prinsip transparansi di dunia perikanan.

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyampaikan pidato penutupan Konferensi ke-2 FiTI di Bali. Foto : Anton Muhajir

 

Indonesia korban IUU Fishing

Dalam sambutan penutupan Konferensi, Susi menegaskan industri perikanan harus bergerak ke arah transparansi dan keberlanjutan. Hal tersebut untuk memastikan agar sumber daya ikan tidak hilang. “Korban utama dari aktivitas illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing adalah negara-negara kecil, termasuk Indonesia. Kita ini punya samudera besar tapi selama ini tidak pernah mendapatkan manfaat karena praktik IUU Fishing,” katanya.

Susi menyebutkan hingga saat ini setidaknya terdapat 10.000 kapal penangkap ikan ilegal di Indonesia yang berasal dari negara lain. Praktik curang kapal-kapal tersebut juga dengan cara menyalahgunakan izin. Hanya satu izin tapi dipakai untuk 5 hingga 10 kapal dengan nama dan warna yang sama.

Berdasarkan data KKP per 2015, sekitar 14 persen produksi ikan di Indonesia tidak dilaporkan. Produksi sebenarnya mencapai 7,4 juta ton namun yang dilaporkan hanya 6 juta ton. Sebanyak 1,4 juta ton tidak dilaporkan. Akibatnya, tiap tahun Indonesia mengalami kerugian hingga Rp300 triliun per tahun.

Indonesia sendiri, menurut Susi, masih menjadi tujuan utama kapal-kapal asing. Secara regional, beberapa negara saat ini sudah melakukan moratorium penangkapan ikan di wilayahnya, seperti Thailand dan Vietnam. China juga akan segera melakukan moratorium pada 1 Mei 2017 nanti. “Karena mereka sedang melakukan moratorium, maka tempat tujuan selanjutnya dengan kondisi perikanan bagus adalah Indonesia,” kata Susi.

Untuk itu, menurut Susi, Indonesia ingin mendorong agar transparansi perikanan yang disepakati dalam Konferensi ke-2 FiTI nantinya juga bisa diterapkan semua negara yang punya kepentingan dengan perikanan. Indonesia segera melakukan pendekatan khusus dengan negara-negara yang paling banyak mengirim kapal ikan ilegal ke Indonesia, seperti Vietnam, China, dan Thailand.

Sebagai bagian dari pelaksanaan kesepakatan, FiTI juga membentuk Pengurus Internasional yang dipimpin Peter Eigen. Tugas utamanya mengawasi proses pelaksanaan FiTI. “Dengan FiTI Standard, kami menyediakan jalan komprehensif dan kredibel kepada pemerintah, industri perikanan, dan masyarakat sipil untuk mempertahankan tingkat transparansi tinggi pada pengelolaan sektor perikanan dan kelautan, serta kegiatan nelayan dan perusahaan perikanan,” ujar Peter.

Menurut Peter, lahirnya kesepakatan tersebut datang di waktu penting, pada saat kita semua harus bekerja sama untuk melestarikan dan memelihara sumber daya samudera, laut, dan bahari.

 

Sejumlah peserta konferensi FiTI di Bali, membawa materi kampanye memerangi IUU Fishing. Foto : Anton Muhajir

 

Menyambut baik

Sejumlah pihak menyambut baik lahirnya inisiatif transparansi perikanan. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat Gatot Rudiyanto mengaku optimis keterbukaan informasi dalam tata kelola akan bisa menjawab masalah perikanan ilegal di daerahnya.

Kalimantan Barat, menurut Gatot, merupakan salah satu kawasan di mana sering terjadi penangkapan ikan ilegal. Sepanjang tiga tahun, pada 2012 hingga 2015, setidaknya terdapat 164 kapal asing ditangkap di wilayah tersebut. Mereka berasal dari Vietnam, Thailand, China, dan Malaysia.

Gatot memperkirakan jumlah kerugiannya mencapai Rp874 miliar. “Uang segitu kalau dipakai untuk membangun pelabuhan di Kalbar bisa dapat satu,” katanya.

Adanya transparansi dalam tata kelola perikanan, menurut Gatot, juga akan menghilangkan praktik korupsi. Dia memberikan contoh bagaimana selama ini praktik korupsi dilakukan dengan menutupi informasi kapal penangkap ikan. Misalnya mengurangi bobot kapal (mark down) dari sebenarnya 50 GT namun hanya dilaporkan 30 GT. Tujuannya antara lain agar bisa mendapatkan subsidi bahan bakar minyak atau mengurangi ikan hasil tangkapan yang dilaporkan.

Dengan begitu maka makin sedikit pendapatan yang juga harus dilaporkan ke pemerintah dan nantinya kena pajak. “Kalau semua proses terbuka, maka tidak ada lagi informasi yang bisa disembunyikan,” ujar Gatot.

Kalangan masyarakat sipil juga menyambut positif lahirnya inisiatif keterbukaan di sektor perikanan. Namun mereka menekankan pentingnya keseriusan para pihak untuk menerapkan komitmen itu. “Tugas selanjutnya adalah menetapkan standar di masing-masing negara dan menerapkannya untuk meningkatkan keterlacakan. Itu yang menjadi tantangan,” kata Sebastian Lasado, Ocean Policy Advisor Greenpeace.

Menurut Sebastian, untuk mewujudkan transparansi informasi tersebut, masing-masing negara harus menyiapkan infrastruktur semacam sistem online untuk mempublikasikan informasi-informasi terkait perikanan. “Informasi itu harus tidak hanya mudah diakses tapi juga selalu diperbarui,” tegasnya.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,