Menatap Indahnya Danau Waibelen dari Atas Rumah Pohon

Danau Waibelen atau populer dengan sebutan Danau Asmara  mungkin belum terlalu akrab di telinga para wisatawan. Danau cantik ini terletak di Desa Waibao, Kecamatan Tanjung Bunga, Larantuka, tepatnya 53 kilometer arah ujung timur pulau Flores.

Untuk sampai di danau ini pengunjung dapat mengaksesnya menggunakan sepeda motor atau menyewa mobil dengan membayar Rp300 ribu pulang pergi. Dari Waiklibang, ibukota Kecamatan Tanjung Bunga, perjalanan menuju danau melewati Desa Waibao sekitar 15 kilometer melewati jalan berbatu, sisa-sisa peninggalan jalan aspal yang dulunya mulus.

Saat Mongabay Indonesia berkunjung di Danau Waibelen, tampak seekor burung belibis putih terbang melintasi danau. Warga sekitar menyebut burung tersebut semakin jarang terlihat akhir-akhir ini.

Waibelen sendiri dalam bahasa Lamaholot berarti sumber air besar terambil dari kata wai yang berarti air, sementara belen berarti sumber besar. Danau ini dikelilingi kebun milik warga yang ditumbuhi pepohonan hijau.

 

Rumah Pohon

Hal yang menarik perhatian dai Danau Waibelen ini adalah rumah pohon yang dibuat di puncak pohon asam. Dari rumah pohon yang terbuat dari bale-bale bambu (wogah) berukuran 2,5 x 1,5 meter ini, pengunjung dapat memandang ke danau dan lembah yang ada di sekitarnya. Untuk naik ke tempat ini, pengunjung harus menaiki terlebih dahulu tangga panjatan sekitar 10 meter.

“Para wisatawan sering penasaran untuk dapat menikmati keindahan danau dari ketinggian. Akhirnya saya dan rekan-rekan berinisiatif membuat rumah pohon ini,” ujar Jemmy Paun, guru SMPN Satu Atap Riangpuho yang juga warga setempat. Menurutnya, sejak dibangun, rumah pohon ini jadi tempat favorit pengunjung untuk memotret dan melihat secara utuh danau.

Jemmy menjelaskan dia dan rekan-rekannya sedang mempersiapkan beberapa rumah pohon lain di sekeliling danau. Dengan pariwisata yang berkembang, maka dengan sendirinya warga Desa Waibao akan memperoleh keuntungan ekonomi.

“Saya ingin agar keindahan danau ini bisa ditata dan dikelola dengan baik agar masyarakat bisa mendapatkan nilai tambah dari wisatawan yang berkunjung ke danau ini,” ungkapnya.

Tentang nama danau asmara menurut cerita Antonius Nitit, seorang warga lokal, konon sekitar tahun 1974-75an terdapat sepasang kekasih bernama Lio dan Nela yang saling mencintai. Namun tidak direstui oleh kedua orangtua mereka karena masih terdapat pertalian saudara diantara mereka.

Akhirnya mereka memilih untuk menceburkan diri di Danau Waibelen, setelah sebelumnya menulis surat perpisahan kepada keluarga masing-masing.

“Tubuh tak bernyawa keduanya ditemukan 4 hari kemudian terapung di danau. Setelah kejadian tersebut orang mulai menamakan danau ini Danau Asmara,” jelas Antonius.

 

Para pengunjung di rumah pohon. Dari rumah pohon ini pengunjung dapat melihat keindahan Danau Waibelen. Foto: Ebed de Rosary

 

Berasal dari Kaldera Gunung Berapi Purba

Berdasarkan kajian Pemda Flotim, Danau Waibelen memiliki diameter 500 meter dengan kedalaman bervariasi antara 10 meter hingga 25-35 meter, dengan semakin ke utara kedalaman danau semakin dangkal.

Dari kisah turun-temurun seperti yang diceritakan oleh Antonius Nitit, maka warga lokal mempercayai bahwa pada zaman dahulu terdapat sebuah gunung menjulang tinggi bernama Ile Sodo Bera Woka Baa Nara, Ile Kuku NukuWoka Bao Bara dimana dipuncaknya terdapat sebuah kampung tua bernama Lewo Eko Pukang Tanah Parak Nimu.

“Ketika itu setelah hidup beberapa fase pada suatu ketika ada gempa bumi sehingga gunung tersebut tenggelam dan membentuk kaldera. Diperkirakan terjadi sekitar tahun 400-500 SM berdasarkan kajian penelitian dari mahasiswa Universitas Indonesia Jakarta dan Universitas Nusa Cendana Kupang,” terang Antonius.

Dia menambahkan, sebenarnya akibat runtuhan gunung terdapat dua kaldera, dimana hanya satu berbentuk danau terendam air seperti saat ini.

Hingga saat ini, masih terdapat keterikatan adat budaya antara masyarakat setempat dengan Danau Waibelen. Dicirikan dengan ritual adat tahunan Pao Gotak Ile Wolo, Ema Pulo Bapa Lema yang berarti peringatan terhadap leluhur suku Maran.

Untuk menghormati para leluhur yang ada di danau ini, maka para pengunjung danau diminta untuk selalu berperilaku tidak sopan, karena menurut warga setempat para leluhur dan penunggu danau dapat marah.

“Kami berharap pemerintah bisa mengembangkan danau ini menjadi tujuan wisata. Kedepannya, jalan harus diperbaiki. Kalau bangunan biar masyarakat saja yang bangun secara swadaya menggunakan bahan alami seperti alang-alang dan bambu,” harapnya.

Anda tertarik untuk mengunjungi Danau Waibelen?

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,