Pembollo dan Pejappi, Metode Pengobatan Tradisional untuk Anak di Komunitas Adat Kaluppini

Hadirah panik luar biasa. Sudah seminggu anaknya, Haslinda, yang belum berumur dua tahun sering menangis di malam hari. Istilah dikampungnya rajo-rajoan. Badannya demam, malas makan dan dari mulutnya keluar bau tak sedap.

Sudah dua kali ia membawanya ke Pusmesmas Pembantu (Pustu) dan diberi sejumlah obat dari petugas kesehatan setempat. Namun sakitnya tak kunjung sembuh. Perawat di Pustu itu yang prihatin karena konsumsi obat modern yang begitu banyak pada bayi itu, kemudian bertanya tentang kemungkinan pengobatan alternatif di kampung tersebut. Hadirah pun teringat pada Sando Pea, atau dukun melahirkan di kampung, yang ternyata tantenya sendiri.

“Saya teringat kalau di sini memang ada namanya pembollo dan kebetulan ada tante seorang Sando Pea yang bisa kasih obat-obatnya. Saya awalnya memang prioritas ke Pustu karena takut terjadi apa-apa,” Hadirah menceritakan pengalamannya dua bulan sebelumnya ketika ditemui Mongabay di rumahnya di Dusun Datte, Desa Lembang, Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Minggu (23/4/2017).

 

 

Desa Lembang dulunya adalah pemekaran dari Desa Kaluppini, sehingga secara adat istiadat masih berada dalam pengaruh kebudayaan komunitas adat Kaluppini.

Pembollo sendiri berarti racikan obat dari berbagai macam tanaman yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk mengobati berbagai macam penyakit, khususnya pada anak balita. Racikan obat ini telah diberi semacam mantra atau doa untuk mempercepat penyembuhan.

Pembollo dari Sando Pea ini ternyata sangat manjur. Tak butuh waktu lama bagi Sando Pea untuk mengenali penyakit yang diderita sang bayi. Beragam macam tanaman seperti kunyit, bawang merah, merica, dan lainnya dicampur, sebelum diberikan kepada Haslinda, sang bayi.

“Haslinda anak saya itu menderita panas dalam. Setelah diberi obat keluar lendir yang banyak dari mulut. Baru setelah itu ia merasa nyaman dan mulai membaik. Cuma harus diperiksa beberapa kali lagi ke sana,” ungkap Hadirah.

Menurut Nurbaya, peneliti dari Poltekes Mamuju, Sulawesi Barat, yang sedang meneliti kearifan adat kaluppini terkait strategi bertahan hidup pada ibu dan gizi pada bayi, pembollo ini memiliki banyak jenis, tergantung sakit yang diderita si anak, namun pembollo yang paling sering digunakan adalah daun paria, bawang merah, panini, kencur, merica, kalongkong (kelapa yang masih kecil) dan ralle.

“Itu kadang dicampur dengan air kelapa, madu atau air saja. Tergantung apa yang tersedia. Kalau air kelapa dan madu tak ada maka bisa hanya menggunakan air putih saja,” katanya.

 

Hadirah sempat panik ketika bayinya Haslinda menderita panas dalam yang parah. Obat modern tidak ampuh sebelum akhirnya menggunakan obat-obatan tradisional atau pembollo. Hanya beberapa hari saja kondisi bayinya membaik kembali. Foto: Wahyu Chandra

 

Menurut Nurbaya, sakit yang biasa diderita anak-anak adalah demam, cacar, diare, panas dalam dan sarampa.

“Kalau diare mereka pakai daun jambu dicampur daun paria. Kalau anak-anak demam mereka ada tahapan pembollo-nya, karena dikhawatirkan anak tersebut menderita sarampa, penyakit yang paling ditakuti. Kalau dalam tiga hari si anak belum sembuh, mereka gunakan konsep mappasibali.”

Mappasibali sendiri adalah pengobatan dengan cara kombinasi antara obat tradisional dengan obat modern yang umumnya diperoleh dari Pustu, yang bisa diartikan saling melengkapi.

Hal menarik dari pembollo ini, lanjut Nurbaya, bahwa pengetahuan tentang jenis tanaman yang bisa digunakan sebagai obat sebenarnya sudah diketahui luas masyarakat, hanya saja sebelum digunakan harus diberi jampi-jampi atau bacaan doa dari dukun atau Sando Pea.

“Misalnya kalau anaknya sakit demam atau diare, biasanya mereka sudah tahu obatnya, mereka sudah siapkan dari rumah untuk dibawa ke Sando Pea. Sando Pea nantinya akan meracik dan memberi semacam jampi atau doa sebelum diberikan kepada anak. Kadang juga Sando Pea hanya tiup atau jampi saja, nanti ibunya yang akan racik sendiri.”

 

Pejappi: Kotak P3K alami untuk bayi

Di masyarakat adat Kaluppini ini, masyarakat juga mengenal konsep Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K) untuk bayi, atau strategi antisipasi pengobatan untuk bayi yang baru lahir hingga mencapai usia tertentu, yang disebut pejappi.

Pejappi adalah kumpulan berbagai jenis tanaman yang terdiri dari kunyit, kayu manis, panini dan kariango, yang diberikan kepada bayi setelah dia lahir. Pejappi ini juga telah diberi jampi atau doa dari Sando Pea, yang akan disimpan dekat bayi.

“Ini menjadi P3K pertama, disimpan di sekitar bayi sehingga mudah dijangkau ketika dibutuhkan. Biasanya untuk pengobatan penyakit-penyakit yang lazim diderita bayi, seperti demam, batuk dan diare.”

Pejappi ini biasanya diikat di ayunan si bayi, selain agar mudah dijangkau juga karena penempatan pejappi ini punya aturan tersendiri, tak boleh dilangkahi kucing.

“Fungsi lain pejappi adalah sebagai pelindung bagi bayi dari gangguan-gangguan dari hal-hal yang bersifat supernatural.”

 

Pejappi adalah kumpulan berbagai jenis tanaman yang terdiri dari kunyit, kayu manis, panini dan kariango, yang diberikan kepada bayi setelah dia lahir. Pejappi ini juga telah diberi jampi atau doa dari Sando Pea, yang akan disimpan dekat bayi. Menjadi kotak P3K bagi bayi. Foto: Wahyu Chandra

 

Makanan untuk ibu menyusui

Dalam penelitiannya, Nurbaya juga menemukan kearifan masyarakat terkait pemanfaatan tanaman-tanaman sekitar digunakan untuk memperlancar Air Susu ibu (ASI) bagi ibu yang baru saja melahirkan.

Sejumlah tanaman yang lazim digunakan antara lain kulo atau sukun berbiji, pucuk daun labu, daun katuk dan daun kelor. Cara konsumsinya adalah dengan cara dimasak, dicampur dengan jenis sayuran lain.

“Kalau daun kelor kan memang konsumsi sehari-hari, jadi tak usah dikombinasi dengan sayuran lain. Kalau kulo biasanya dicampur dengan sayur bening atau sayur santan, sedangkan untuk daun katuk dan pucuk daun labu biasanya dicampur dengan sayur bening saja.”

Berbagai informasi jenis makanan ini diperoleh dari orang tua dan telah menjadi pengetahuan umum warga yang diwariskan secara turun temurun.

“Kalau dari bidan biasanya informasinya hanya bersifat umum, misalnya dianjurkan perbanyak makan sayur, tak disebutkan secara spesifik jenis sayurannya.”

Selain makanan yang dianjurkan, terdapat juga beragam jenis makanan pantangan bagi ibu hamil. Misalnya, pantangan makan jantung pisang. Alasannya, jangan sampai anaknya nanti akan seperti jantung pisang, besar di awal, namun lama kelamaan menjadi kecil.

“Ada juga pantangan tak boleh makan usus ayam karena takut ari-ari si bayi akan melilit leher sendiri.”

Pantangan lain adalah selama masa nifas, atau sesaat setelah melahirkan, tak boleh mengkonsumsi buah pepaya, yang muda ataupun matang. Alasannya, takut getah pepaya akan mengganggu kondisi rahim si ibu.

 

Kearifan masyarakat adat yang perlu dilestarikan

Menurut Nurbaya, tradisi pengobatan melalui pembollo ataupun pejappi ini harus dilihat sebagai kearifan masyarakat adat dan lokal dalam pengobatan, yang tidak sepenuhnya bergantung pada penggunaan obat-obatan modern yang bisa saja mengandung zat kimia yang berbahaya jika dikonsumsi berlebihan.

“Ini patut diapresiasi dan diteliti lebih lanjut. Kita bisa belajar banyak dari kearifan-kearifan tersebut.”

Menurutnya, metode pengobatan tradisional tersebut tidak bertentangan dengan pengobatan modern dan bisa dikategorikan sebagai pengobatan herbal.

“Saya periksa di berbagai penelitian menunjukkan tanaman-tanaman tersebut memang memiliki khasiat herbal seperti yang dipahami oleh masyarakat di Kaluppini. Jadi pada dasarnya tak ada yang perlu dikhawatirkan dari segi dampak. Apalagi selama ini hasilnya memang selalu dapat menyembuhkan. Dan yang tak kalah pentingnya adalah mudah diperoleh secara gratis di sekitar pekarangan rumah.”

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,