Buaya Muara yang Dipancing Warga Itu Akhirnya Mati

 

 

Buaya muara jantan yang dipancing warga Rantau Gedang, Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, pada 7 April 2017 lalu, akhirnya mati. Luka di kerongkongan akibat tersangkut mata pancing warga, mengantarkannya pada gerbang sakaratul maut, pada Senin, 1 Mei 2017.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo menyebutkan, buaya muara yang panjangnya hampir lima meter tersebut, mati karena infeksi. Ini dikarenakan kerongkongannya terluka akibat mata pancing yang terbuat dari besi stainless ukuran 10 milimeter.

“Sejak kita membawa buaya tersebut ke kantor BKSDA dan mata pancing dilepas dari kerongkongannya, nafsu makan buaya ini memang berkurang,” tutur Sapto, Selasa (02/05/2017).

 

Baca: Tanpa Bius, Mata Pancing Ini Dikeluarkan dari Mulut Buaya Muara

 

Sapto mengatakan, untuk mencegah buaya tersebut tidak kelaparan, petugas BKSDA Aceh sampai memasukkan makanan ke mulutnya. Meskipun telah dirawat cukup baik, tapi buaya ini tidak bisa diselamatkan.

“Kerongkongannya infeksi setelah tersangkut mata pancing. Kematian buaya dari Sungai Singkil yang mati setelah dipancing warga, bukan ini yang pertama kali. Sebelumnya, tiga ekor buaya juga mati setelah terluka dengan sebab yang sama.”

 

 

Kondisi buaya muara yang diamankan di Kantor BKSDA dari masyarakat Rantau Gedang, Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil, Aceh. Kondisi buaya mulai menurun karena infeksi di tenggorokannya akibat mata pancing. Foto diambil tanggal 21 April 2017. Foto atas dan bawah: Rahmadi Rahmad

 

Sungai Singkil yang berhulu ke Sungai Alas, Kabupaten Gayo Lues, dan bermuara ke Samudera Hindia merupakan habitat buaya muara terbesar di Provinsi Aceh. Buaya-buaya tersebut berada di sungai yang berbatasan langsung dengan permukiman penduduk dan hutan gambut Rawa Singkil.

“Selama ini warga, khususnya nelayan, mengaku resah dengan buaya-buaya yang banyak berada di Sungai Singkil,” ujar Sapto.

Buaya muara yang mati tersebut dikuburkan di halaman kantor BKSDA Aceh. Untuk memindahkan buaya seberat 800 kilogram itu, terpaksa ditarik dengan mobil. Selain tidak sanggup diangkat, sang buaya juga telah mengeluarkan bau tidak sedap.

“Biasanya BKSDA menangkap buaya yang mengancam keselamatan warga dengan menggunakan perangkap. Bukan dengan pancing. Kalau dipancing buaya akan terluka dan sangat sulit diobati.”

Tim kami, bersama tim Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah, butuh waktu 3 jam untuk mengeluarkan mata pancing dari tenggorokan buaya, yang dilakukan secara manual itu. Agak ngeri juga melakukannya, tangan kita harus masuk ke mulut buaya, meski mulutnya itu sudah diganjal kayu balok.

“Cara ini dilakukan karena, berdasarkan konsultasi saya dengan sejumlah dokter hewan termasuk dokter hewan dari Australia, juga teman-teman BKSDA di Indonesia, tidak ada obat bius yang bisa direkomendasikan untuk buaya. Penanganan ini yang harus ditempuh,” tutur Sapto.

 

 

Buaya muara ini mati pada 1 Mei 2017 dan dikuburkan di halaman Kantor BKSDA Aceh. Foto atas dan bawah: Junaidi Hanafiah

 

Konflik

Konflik antara buaya muara yang bersarang di Sungai Singkil memang terus terjadi. Warga Singkil juga menyakini, ada anggota mereka yang hilang karena diterkam oleh satwa dilindungi UU No 5/1990 dan PP No 7/1999 tersebut. Salah satu penyebabnya, karena populasi buaya di Sungai Singkil yang sudah sangat banyak.

“Salah seorang pemerhati buaya di Aceh juga mengatakan, salah satu penyebab populasi buaya sudah terlalu banyak karena biawak yang biasanya memakan telur buaya, telah berkurang. Sebabnya, dianggap hama oleh masyarakat,” tambah Sapto.

 

Konflik antara masyarakat Aceh Singkil dengan buaya muara diperkirakan sudah berlangsung dalam sepuluh tahun terakhir. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Zulfan, warga Ranto Gedang, Kecamatan Singkil mengatakan, buaya tersebut terpaksa dipancing warga karena sudah sangat agresif. Mulai mengejar nelayan yang mencari ikan di Sungai Singkil. Khawatir buaya tersebut menerkam nelayan, warga memutuskan menangkap buaya dengan pancing yang dipasang umpan bebek.

“Kalau tidak meresahkan, kami tidak akan melakukannya. Kami tahu buaya adalah satwa dilindungi,” tuturnya.

 

Sungai Singkil tampak dari udara. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Buaya muara (Crocodylus porosus) hidup di sungai-sungai dan laut dekat muara. Panjang tubuhnya bisa mencapai 12 meter dengan berat hingga 1 ton. Jenis ini, selain terkenal sebagai paling besar, panjang, dan ganas, dibanding spesies buaya lainnya, persebarannya juga luas. Mulai dari Australia, Bangladesh, Brunei Darussalam, Filipina, India, Indonesia, Kamboja, Vietnam, Malaysia, Myanmar, Sri Lanka, hingga Kepulauan Solomon.

Di Indonesia, Crocodylus porosus ini hampir meliputi di seluruh kepulauan. Saat berburu, ia akan bersembunyi dan tiba-tiba menyerang mangsanya, saat lengah. Berbagai jenis makanan akan masuk ke rahangnya yang lebar, mulai babi hutan, kambing, monyet, kerbau, hingga manusia.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,