Menanti Kepedulian Lingkungan dan HAM dari Lembaga Pembiaya Energi Batubara

 

 

PTUN Bandung mencabut izin lingkungan pembangunan PLTU batubara Cirebon II. Namun sejumlah lembaga keuangan internasional tetap menandatangani pinjaman agar proyek ini berlanjut. Mengapa?

Dwi Sawung sedang melakukan press briefing saat menerima pesan, bahwa Indika Grup, salah satu peserta konsorsium pembangunan PLTU Cirebon II menandatangani loan agreement-kerjasama pendanaan-pembangunan pembangkit listrik, tepat sehari sebelum pembacaan putusan pengadilan.

Temu wartawan Walhi, Selasa (18/4/17) soal fakta-fakta persidangan gugatan enam warga desa terdampak, terhadap dokumen Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) PLTU Cirebon II.

“Benar, sudah ada berita di media online,” kata Juru Kampanye Urban dan Energi Walhi Nasional ini, setelah verifikasi kebenaran informasi dari grup Whatsapp.

Kekhawatiran Sawung memuncak. “Ini bisa seperti kasus Kendeng,” katanya merujuk argumen pro pabrik semen di Rembang, yang mengatakan pembangunan harus tetap berjalan karena investasi sudah kucur.

Keesokan hari, sesuai harapan Sawung dan para pendamping warga dari LBH Bandung, Rabu (19/4/17), PTUN Bandung mengabulkan gugatan Dusmad dkk, enam warga Desa Kanci Kulon, Kecamatan Astanajapura, Cirebon. Mereka menggugat Surat Keputusan Kepala Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Jawa Barat. Surat 2016 ini, memuat izin lingkungan pembangunan dan operasional PLTU 1×1000 megawatt di dua desa,  Desa Kanci Kecamatan Astanajapura dan Waruduwur Kecamatan Mundu.

Izin kepada PT.Cirebon Energi Prasarana, konsorsium terdiri dari beberapa perusahaan: Marubeni (35%), Indika Grup (25%), Samtan (20%), Koreo Midland Power (10%) dan Chubu Electric Power (10%). Kontrak konsorsium ditandatangani 25 tahun.

Tanpa ada perbedaan pendapat, majelis hakim memutuskan menolak seluruh argumen tergugat. Menurut hakim, izin lingkungan PLTU Cirebon II bertentangan dengan Perda Cirebon dan RTRW 2011-2031.

Mestinya, pembangunan PLTU hanya di satu desa. Astanajapura. Majelis Hakim, tak menemukan ketentuan RTRW menyatakan Kecamatan Mundu lokasi PLTU.

Inilah jadi pertimbangan utama majelis hakim menyatakan izin lingkungan PLTU Cirebon II cacat hukum. Mengenai substansi Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang jadi dasar penerbitan izin lingkungan, hakim menilai tak perlu lagi dipertimbangkan karena izin lingkungan sudah tak sah.

“Bertentangan dengan RTRW bisa berakibat batal izin lingkungan,” kata Willy Hanafi, pengacara warga.

Hakim tak lagi mempertimbangkan keberatan-keberatan lain penggugat seperti tak melibatkan masyarakat dan substansi Amdal yang gunakan data tak valid dan representatif.

Sawung bilang, penyusunan Amdal kerap kacau sekali. “Banyak hanya copy paste,” katanya.

Soal Amdal copy paste ini Selasa (25/4/17), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) melaporkan perusahaan tambang batubara di Malinau Selatan, Kalimantan Utara, PT. Mitrabara Adiperdana (MA) ke Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Ada kesalahan dalam dokumen Amdal MA, muncul nama perusahaan lain, PT. Mestika Persada Raya (PTMPR), pada lembar abstrak dokumen, halaman xii. MPR merupakan perusahaan batubara yang beroperasi di kabupaten sama.

Kesalahan ‘kecil’ ini menjadi indikasi salin-tempel dokumen Amdal. Jatam mendesak KLHK mencabut izin.MA. Terlebih terjadi pencemaran Sungai Malinau, polusi, habitat burung enggang terganggu dan konflik sosial– pro kontra kehadiran perusahaan.

Kondisi Amdal kacau diduga jamak. Beberapa PLTU lain di Pulau Jawa,  seperti PLTU Paiton, Batang, Jepara dan Indramayu yang menjadi perhatian Greenpeace Indonesia juga punya dokumen Amdal kualitas rendah.

“Masyarakat terdampak tak masuk dalam Amdal,” kata Hindun Mulaika, Juru Kampanye Energi Terbarukan Greenpeace.

Penyakit yang diderita masyarakat dampak polusi PLTU tak pernah diperhitungkan. “Masyarakat sakit, ya sakit sendiri. Bayar dari kantong sendiri.”

 

Perwakilan warga Batang dan para aktivis aksi tolak PLTU Batang dan protes kepada JBIC di Jepang pada 2014. Meskipun dalam pedoman lembaga keuangan ini ada soal mendanai proyek tak langgar HAM, tetapi bank Jepang ini masih juga jadi pembiaya proyek listrik batubara di Batang ini Foto: YLBHI

 

Pembiayaan

Sehari sebelum putusan PTUN Bandung yang mencabut izin lingkungan PLTU Cirebon II, konsorsium pembangunan pembangkit listrik ini menandatangani perjanjian pembiayaan (loan agreement) dengan tiga lembaga keuangan: Japan Bank for International Cooperation (JBIC), Korea Eximbank (KEXIM) dan Nipon Export and Investment Insurance (NEXI) US$1,74 juta atau lebih Rp23 triliun.

Ekspansi PLTU ini dibiayai dengan debt to equity ratio (DER)-perbandingan utang dan modal-,80% pinjaman, 20% modal.

Tiga lembaga keuangan akan biayai 60% kebutuhan pembangunan pembangkit, sisanya dari beberapa bank komersial multinasional: Credit Agricole, ING Group, Mizuho, MUFG, SMBC.

Credit Agricole, belakangan mencabut dukungan karena tak lagi membiayai proyek berkaitan dengan batubara, termasuk Cirebon II dan PLTU Tanjung Jati B di Indonesia.

Kelima bank komersial ini penandatangan Equator Principles (EP),-sebuah kesepakatan sukarela antar bank untuk tidak membiayai proyek infrastruktur besar yang merusak tatanan sosial dan lingkungan.

EP dibentuk pada 2003 dan telah diadopsi 89 lembaga keuangan di dunia sebagai pengontrol risiko sosial dan lingkungan dari proyek yang dibiayai.

Ada 10 prinsip harus dipegang lembaga pengikut EP untuk memastikan proyek yang mereka danai tak merusak tatanan sosial, termasuk masyarakat adat, standar buruh dan masyarakat terdampak.

“Harusnya bank-bank ini tak membiayai proyek yang tak jelas Amdalnya,” kata Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Perubahan Iklim dan Isu Global Walhi Nasional.

Dari fakta persidangan, yang kemudian dimenangkan warga terdampak, jelas besar sekali dampak terhadap kehidupan sosial. Masih ada setidaknya tujuh pemilik lahan, yang tanah akan dipakai pembangunan PLTU, menolak menjual lahan.

Secara administratif pula, lokasi PLTU berada di lahan milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang disewakan ke PLTU selama 30 tahun.

“Aneh juga, KLHK menyewakan tanah yang masih ada pemiliknya,” kata Sawung.

EP penting dalam hubungan konsumen dan bank internasional. “Di luar negeri orang mudah sekali lihat portfolio sebuah bank untuk memutuskan akan menabung di sana atau tidak,” ujar Yuyun.

Dengan kata lain, bank-bank yang mengadopsi EP akan menjadi pertimbangan konsumen menginvestasikan uang di bank.

 

Para petani yang tak mau lahan dijual buat PLTU ini sudah tak boleh lagi memasuki lahan pertanian mereka. Foto: Kasan Kurdi

 

Menurut Hendrik Siregar, Badan Pengurus Jatam, peran lembaga keuangan asing memberikan pinjaman kepada industri batubara di Indonesia tak lepas dari kepentingan negara pemberi pinjaman. Ia juga juga mengindikasikan kebutuhan suplai sumber energi dari Indonesia.

There is no free lunch,” kata Hendrik dalam sebuah press briefing.

Tiongkok dan Jepang, misal, meski mengurangi penggunaan energi batubara dalam negeri mereka–karena polusi terus meningkat– tercatat sebagai pengimpor batubara terbesar dari Indonesia.

“Kenapa kebijakan luar negeri mereka masih memperbolehkan energi kotor di negara berkembang? Ada yang salah ini,” kata Hindun.

 

Peran bank domestik

Di Indonesia, tak satupun bank dalam negeri mengadopsi EP. Hubungan antara konsumen dan bank dalam negeri juga belum sampai pada pertimbangan, kemana uang nasabah akan diinvestasikan.

Proyek listrik 35.000 megawatt tak bisa dibiayai sendiri baik oleh pemerintah maupun badan usaha negara, PT PLN.

Bagi perbankan pinjaman modal kerja jauh lebih menguntungkan dibanding uang nasabah perorangan. Walau ada risiko proyek gagal, namun ada jaminan politik dan aset perusahaan hingga perbankan memprioritaskan pinjaman pada perusahaan.

Tak heran, perbankan domestik menaruh investasi besar di PLTU. Bank Mandiri, misal, tahun lalu memberi pinjaman pada PT. Dian Swastatika Sentosa Tbk, perusahaan energi dan infrastruktur milik Eka Tjipta, Grup Sinarmas US$250 juta untuk pembangunan PLTU batubara Kalteng 1.

Peraturan Bank Indonesia no 14/15/PBI/2012 yang tak lepas dari UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menginginkan perbankan nasional mempertimbangkan faktor kelayakan lingkungan dalam rencana usaha.

“Hanya, kenyataan perbankan banyak mengabaikan persoalan dari proyek yang dibiayai mereka. Seharusnya sudah mereka perhitungkan sejak penilaian proyek layak atau tidak didanai,” kata Hendrik. Perkara siapa yang bertanggungjawab terhadap dampak lingkungan, debitur atau bank, juga masih jadi perdebatan.

Sementara Amdal yang disusun hanya sebagai syarat administrasi, tak cukup mampu memprediksi persoalan lingkungan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) punya peta jalan Keuangan Berkelanjutan di Indonesia 2015-2019. Peta jalan ini memprioritaskan energi terbarukan sebagai sumber energi, indeks dan obligasi hijau, produk ramah lingkungan, transportasi hijau, konservasi energi, pariwisata ramah lingkungan dan pertanian organik.

“Tapi ini hanya road map, tak ada peraturan jelas mengenai ini,” ucap Yuyun.

Hendrik mengatakan, BI dan OJK perlu meningkatkan peran dalam menjaga keselamatan dan produktivitas rakyat. Tak hanya mengukur statistik keuntungan semata dari perbankan.

Sebagai otoritas keuangan dan lembaga keuangan Indonesia, BI dan OJK perlu menetapkan aturan yang dapat mengikat perbankan dan lembaga keuangan untuk mengedepankan persoalan lingkungan dan hak asasi manusia sebagai pertimbangan utama dalam pemberian dana dan investasi kerja.

Selain itu, perlu sanksi kepada perbankan yang membiayai proyek berisiko terhadap lingkungan dan HAM. “BI dan OJK juga bisa mengadopsi prinsip green banking dan equator principles sebagai salah satu instrumen kampanye dan advokasi bank atau lembaga keuangan luar negeri.”

 

Batubara yang ditampung dalam kawasan PLTU Rum Tidore. PLTU ini dekat pemukiman hingga menimbulkan pencemaran udara. Warga sekitar terutama SD mendesak relokasi. Foto: M Rahmat Ulhaz

 

Protes JBIC

Friends of Earth (FoE) Jepang melayangkan protes kepada lembaga keuangan Jepang, JBIC. Hozue Hatae mewakili FoE Jepang mendesak JBIC dan pemerintah Jepang menarik dukungan untuk pembangunan PLTU Cirebon II. JBIC, menurut mereka, telah melanggar Pedoman untuk Konfirmasi Pertimbangan Lingkungan dan Sosial JBIC (Guidelines for Confirmation of Environmental and Social Condsideration).

Pedoman itu mewajibkan JBIC patuh terhadap hukum lingkungan hidup pemerintah daerah bersangkutan dan memiliki izin lingkungan yang dikeluarkan pemerintah setempat.

Dalam pernyataan pada 13, April JBIC mengakui mengetahui proses hukum gugatan izin lingkungan yang sedang berlangsung di PTUN Bandung.

“Karena itu keputusan JBIC meneruskan proses pendanaan pembangkit listrik melanggar hak masyarakat lokal dan putusan hukum di negara bersangkutan (Indonesia),” ucap Hozue.

JBIC juga akan membiayai dua proyek kontroversial lain, PLTU Batang dan PLTU Tanjung Jati B, ekspansi pembangkit di Jawa Tengah (unit V dan VI dengan kapasitas 2.000 megawatt).

JBIC juga mendanai pengakuisisian saham MA-yang diduga Amdal copy paste– oleh Idemitsu Kosan, perusahaan Jepang bidang energi dan tambang, sebesar US$24 juta.

Jatam meminta JBIC dan pemerintah Jepang menghentikan pembiayaan energi batubara dan bertanggungjawan atas persoalan sosial dan lingkungan yang ditimbulkan perusahaan yang mereka danai.

“Ini menambah deretan panjang buruknya reputasi investasi dan pembiayaan dari JBIC dan pemerintah Jepang. Selain membiayai energi kotor, juga melanggar hukum dan memanipulasi dokumen Amdal,” kata Melky Nahar, Kepala Kampanye Jatam.

Senada dikatakan Hindun. “Yang untung mereka (Jepang, Tiongkok) yang rugi negara karena mau tak mau harus membeli listrik dari mereka. Kalau kita sebagai penerima uang juga nggak protes, ya bagaimana?”

Yuyun bilang, mestinya lembaga keuangan dan perbankan dalam dan luar negeri beralih membiayai pembangkit energi baru terbarukan.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,