Proyek Pusat Riset di Pangandaran dan Morotai Dibuat Tanpa Pertimbangan?  

Pembangunan Pusat Riset Kelautan yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) diduga kuat tidak dilakukan melalui pertimbangan yang matang. Proyek yang dilaksanakan di Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Pulau Morotai di Maluku Utara, disinyalir tidak dilakukan melalui penelitian yang melibatkan warga lokal.

Dugaan tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim di Jakarta, Selasa (2/5/2017). Menurut dia, proyek yang dinamai Integrated Aquarium  and  Marine  Research  Institute  (IAMARI) itu, diketahui tidak meliputi kemanfaatan bagi kemandirian usaha kelautan dan perikanan nasional, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.

“Untuk itu, pembangunan proyek tersebut harus segera dibatalkan. Dan, yang bisa membatalkan adalah Presiden RI Joko Widodo,” ungkap dia.

(baca : KKP Bakal Bangun Dua Pusat Riset Kelautan)

 

 

Abdul Halim mengatakan, daripada melaksanakan proyek yang tidak memiliki pertimbangan yang matang, Presiden RI sebaiknya fokus melaksanakan program peralihan alat penangkapan ikan (API) yang dinilai tidak ramah lingkungan dan sekarang sedang berpolemik.

Selain pergantian API, Halim menilai, program yang tepat untuk digenjot pelaksanaannya sekarang, adalah pembangunan kapal perikanan. Kata dia, proyek tersebut masih menyisakan masalah dari hulu ke hilir dan masih terus berlangsung hingga sekarang.

“Sebaiknya Presiden Joko Widodo memfokuskan program Kabinet Kerja, khususnya di bidang kelautan dan perikanan, untuk menuntaskan permasalahan peralihan alat tangkap dan pembangunan kapal perikanan yang karut-marut,” papar dia.

(baca : Kenapa Alat Tangkap Cantrang Masuk Kelompok Dilarang di Indonesia?)

Menurut Halim, perlunya dilakukan penyelesaian dua proyek tersebut, karena hingga saat ini masih saja menuai pro dan kontra di kalangan nelayan. Padahal, kedua proyek tersebut sudah masuk dalam pos anggaran dalam APBN 2016 dan 2017.

“Langkah ini jauh lebih strategis dan mendesak untuk diselesaikan  ketimbang  mengusulkan  pembangunan fisik  yang menelan dana APBN setara dengan harga pembelian 1.475 alat tangkap cantrang untuk ukuran kapal di atas 30 GT (gross ton),” tutur dia.

Untuk itu, Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mendesak Presiden Joko Widodo untuk menganulir rencana pembangunan Pangandaran dan Morotai IAMARI dan menginstruksikan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti,  Bappenas,  dan  Menteri  Keuangan  untuk  menyelesaikan peralihan alat tangkap dan pembangunan kapal perikanan.

Selain itu, Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan juga mendesak DPR RI untuk melakukan pengawasan pemakaian APBN kelautan dan perikanan agar sungguh-sungguh dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan bukan pembangunan fisik yang berpotensi mengebiri hak-hak masyarakat pesisir atas anggaran negara.

”Masyarakat pesisir adalah nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem pesisir,” jelas dia.

(baca : Per 1 Januari 2017 Cantrang Resmi Dilarang, Tapi….)

 

 

 

Lembaga Akademi Kelautan dan Perikanan

Halim menyebutkan, dua proyek di Pangandaran dan Morotai tersebut, mulai diusulkan pada 2015 oleh KKP kepada Bappenas da Kementerian Keuangan. Dalam usulan tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan meminta dua lembaga negara tersebut untuk menyetujui alokasi anggaran sebesar Rp552,990 miliar yang akan digunakan untuk pembangunan kapal riset kelautan dan  Pangandaran dan Morotai IAMARI.

Usulan tersebut, menurut Halim, seharusnya bisa diluruskan lagi. Mengingat, jika untuk meningkatkan kualitas riset kelautan dan pemanfaatan hasilnya bagi pengembangan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia, seharusnya tidak hanya dilakukan melalui pendirian dua proyek di Pangandaran dan Morotai.

“Presiden Joko Widodo mestinya menempatkan 17 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang dikelola oleh negara dan tersebar dari Sabang hingga Merauke sebagai garda depan,” ungkap dia.

Dengan didirikan banyak lembaga akademi di seluruh Indonesia, Halim yakin bahwa itu memberi gambaran kuat dari keyakinan Indonesia untuk melaksanakan visi poros maritim dunia. Dengan kuatnya sumber daya manusia, Indonesia bisa meningkatkan riset dan penambahan alokasinya dananya, dan pemanfaatan hasil riset untuk kemajuan pembangunan kelautan dan perikanan.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan KKP berencana membangun pusat riset maritim di Pangandaran, Jawa Barat dan Moratai, Maluku Utara pada 2018. Kedua pusat riset tersebut diharapkan mampu mengembangkan potensi perikanan sekaligus meningkatkan ketahanan daerah pesisir.

Susi memaparkan, pentingnya penerapan pusat riset teknologi ini untuk menunjang pengetahuan tentang karateristik laut nusantara yang belum termanfaatkan secara optimal. Nantinya proyek tersebut dinamakan Pangandaran Integrated Aquarium And Marine Reseach Institute yang akan dibangun di Pantai Pangandaran. Sementara di Moratai, akan dilengkapi dengan laboratorium serta stasiun pemantauan dengan nama Moratai Integrated Aquarium And Marine Reseach Institute.

“Kedepan akan kembali kami bangun lebih banyak dibeberapa titik strategis. Riset tersebut diharapkan mampu mengetahui dinamika kelautan seperti eksplorasi ekosistem laut. Di dalamnya ada eksplorasi geologi, geofisika, dan lingkungan biologi terutama zonasi laut yang belum selesai,” ujarnya dalam dalam kuliah umum ITB, Bandung, Jumat (3/02/2017) lalu.

 

Kapal yang menggunakan pukat hela (trawl) untuk menangkap ikan. Foto : youtube

 

Kepala Balai Riset dan Sumber Daya Kemanusiaan Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP) Zulficar Mochtar pernah mengatakan, pembangunan IAMARI di Pangandaran dan Morotai adalah proyek yang masuk dalam empat program prioritas sektor penelitian dan pengembangan kelautan dan perikanan.

Selain IAMARI, dua program lainnya adalah melaksanakan kajian stok ikan secara nasional dan pelaksanaan 10 research buoy. Untuk empat program prioritas tersebut, Zulficar menyebut, KKP melaksanakannya dengan anggaran realisasi 92,58 persen dari total pagu anggaran Rp728,2 miliar.

Tentang pembangunan Pangandaran IAMARI (PIAMARI) dan Morotai IAMARI (MIAMARI), Zulficar menjelaskan, saat ini sudah melewati tahapan desain, dan detail engineering design (DED). Untuk DED, itu  mencakup site plan, akuarium, asrama, gedung riset dan power house.

“Selain dua tahapan tersebut, PIAMARI dan MIAMARI juga sudah melewati dua Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) atau Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) dan analisis mengenai dampak lingkungan atau AMDAL,” papar dia.

Sementara, untuk pelaksanaan 10 research buoy, menurut Zulficar, telah dihasilkan penelitian untuk menyediakan data lingkungan laut berupa konduktivitas, suhu, oksigen terlarut dan klorofil di Indonesia Bagian Timur, yakni perairan Nusa Tenggara dan Maluku Utara.

Pada 2017, dijelaskan Zulficar, Balitbang KP menganggarkan Rp736,5 miliar sebagai alokasi pagu untuk menjalankan kegiatan penelitian dan pengembangan kelautan dan perikanan. Alokasi itu untuk  pembangunan PIAMARI dan MIAMARI, dan melaksanakan kajian stok ikan di 3 lokasi KPP PUD (431, 438, 439).

“Juga untuk melaksanakan kajian stok ikan di 5 WPP NRI (711, 712, 715, 716, 717) dan implementasi Sistem Informasi Nelayan Pintar di tujuh pelabuhan,” tandas dia.

Selain catatan di atas, Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan sebelumnya memberikan penilaian buruk atas kinerja KKP terkait kebijakan pelarangan terhadap pemakaian alat tangkap merusak, dan perluasan kawasan konservasi laut.

Menurut Halim, pelarangan alat tangkap seperti trawls di perairan Indonesia, sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia seharusnya disertai dengan jalan keluar yang baik.

Menurut Halim, tanpa solusi yang baik, pengguna cantrang yang jumlahnya mencapai 1.213 kapal cantrang di Provinsi Jawa Tengah akan merasa sangat dirugikan. Padahal, rerata kapal cantrang berukuran antara 10-30 GT dan memuat sekitar 30 orang.

Catatan buruk berikutnya, dialamatkan Halim pada kebijakan perluasan kawasan konservasi laut yang ditargetkan bisa mencapai 20 juta hektar pada 2020 mendatang. Kebijakan tersebut, dinilai sudah mengabaikan peran nelayan tradisional  dengan  segala  kearifan  lokal  yang  mereka  jalani  secara  turun-temurun.

Seperti diketahui, tafsir Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 3 Tahun 2010 tentang Uji Materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa hak masyarakat nelayan tradisional mengelola sumber daya laut sesuai dengan kearifan lokal yang sudah mereka jalani secara turun-temurun adalah sah dan konstitusional.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,