Banjir Bandang Sungai Ciwidey Terjadi, Ini Penyebabnya..

Bencana banjir bandang menerjang Kampung Cihanjawar, Desa Margamulya, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jabar, pada Rabu, (3/5/2017) sore. Banjir bandang terjadi pukul 15.45 WIB   setelah diguyur hujan dengan intensitas cukup tinggi. Diduga Sungai Ciwidey tak bisa menampung derasnya debit air bercampur lumpur sehingga meluber ke pemukiman warga.

Banjir bandang menghanyutkan sedikitnya 5 rumah dan merusak 27 rumah serta mengungsikan sekitar 100 orang. Koordinator Humas Basarnas Jawa Barat, Joshua,  menuturkan telah melakukan assesment tehadap warga yang terkena dampak banjir bandang. Sampai berita ini diturunkan belum ditemukan korban meninggal.

“Tim kami sudah terjun ke lapangan. Memantau titik – titik  kerawanan dan mengupayakan warga untuk berpindah ke tempat lebih aman. Dihimbau kepada warga yang tinggal di bantaran sungai diharapkan untuk pindah ke tempat yang lebih aman terlebih dulu,” katanya melalui pesan singkat.

 

 

Sementara itu, Kepala Desa Tenjolaya, Ismawanto Somantri, menyebutkan kawasan hutan di daerah hulu telah mengalami perubahan fungsi. Dia menambahkan selain hujan yang besar, faktor lainnya yang mengakibatkan bencan tersebut adalah kurangnya resapan air.

Dia menerangkan dulunya wilayah hutan di kawasan hulu memang merupakan wilayah resapan air, sebelum dijadikan ladang pertanian. Sehingga ketika hujan dengan intensitas besar, erosi tidak bisa tertahan lagi yang berakibat Sungai Ciwidey meluap.

Menurut dia, hal itu terjadi tidak lepas dari ketidaktegasan petugas kehutanan dalam mengawasi kawasan hutan. Selain itu, terlihat adanya pembiaran oleh petugas Kehutanan kepada para petani yang melakukan aktifitas di kawasan tersebut.

Ismawanto mengatakan kejadian di Ciwidey yang terjadi saat ini merupakan gambaran kerusakan lingkungan yang terjadi di daratan tinggi. Ditaksir kerugian akibat bencana tersebut sekitar ratusan juta rupiah.

“Kalau ini tidak segera disikapi dan diatasi,  kemungkinan kedepan akan datang lagi banjir besar. Kami memohon kepada pak bupati, kiranya bisa segera mengambil  tindakan tegas kepada pihak kehutanan khususnya di sekitar Bandung Selatan, untuk menertibkan para petani di kawasan area hutan. Agar lahan dikembalikan ke fungsi semulanya lagi ,” katanya.

Disetiap musim penghujan, bencana banjir bandang sering terjadi. Intensitas dan frekuensinya cenderung terus meningkat. Daerah pegunungan yang sebetulnya jauh dari kesan banjir justru mengalami kerusakan yang parah.

Faktanya, kerusakan di daerah aliran sungai (DAS) tidak dapat terelakan lagi. Lonjakan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan hanya terkonsentrasi di wilayah tertentu saja menyebabkan alih fungsi lahan cenderung sulit dikendalikan.

 

Kondisi luapan banjir bandang di Kampung Cihanjawar, Desa Margamulya, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung , Rabu (3/5/2017) Sore. foto : Istimewa

 

Bahkan banyak ditemukan penggunaan lahan yang melampaui daya dukung lingkungan. Ilustrasinya tergambar oleh aktivitas pembukaan hutan di lereng terjal tanpa mengindahkan kaidah konservasi tanah dan air. Alhasil sistem hidrologi pada DAS tidak bisa lagi berperan secara optimal.

Kerusakan tersebut ditandai dengan menurunnya kemampuan DAS dalam menyerap, menyimpan, dan mendistribusikan air pada saat musim hujan. Hal yang justru berbeda tatkala memasuki musim kemarau, ketersediaan air sulit didapat akibat minimnya kawasan penyimpanan cadangan air dalam tanah.

 

RTRW Dibenahi

Ahli Geolog kebencanaan, Eko Teguh Paripurna menanggap bahwa bencana dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang memiliki keterkaitan seperti hubungan antara hulu dan hilir.

Jadi, bila tata kelola lingkungannya buruk maka berpotensi bencana. Dia menambahkan, kawasan yang rentan bencana sudah bisa dipastikan lingkungan di wilayah hulu telah rusak. Dia menerangkan bila kejadian bencana alam sering terjadi–bisa dikatakan kondisi lingkungan di Jawa Barat sedang tidak waras.

Eko melihat fasenya sudah kritis dan perlu upaya -upaya holistik untuk menanggulanginya. Jangan sampai langkah yang dilakukan terpusat pada satu titik, contoh merawat sungai. Tetapi harus melihatnya secara keseluruhan barangkali ada unsur lain yang mesti dilakukan langkah serupa.

Di satu sisi, lanjut Eko, untuk penanganannya harus juga memperhatikan keseimbangan antara upaya konservasi dan pemenuhan kebutuhan bagi manusia.

Semisal di wilayah Bandung, diketinggian 900 mdpl mengapa harus dikonservasi. Hal itu dikarenakan adanya kebutuhan misal 1 juta orang yang berada di wilayah bawah yang harus tercukupi.

“Kalau ternyata jumlah orang di bawahan itu bertambah harusnya lahan konservasi ditambah. Karena tidak bisa ditambah, maka harus ada intervensi perihal teknologi konservasi. Bukan malah sebaliknya,” paparnya.

 

Kondisi luapan banjir bandang di Kampung Cihanjawar, Desa Margamulya, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung , Rabu (3/5/2017) Sore. foto : Istimewa

 

Untuk itu, kata dia, diharapkan susunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) pembangunan daerah agar disesuaikan mampu mengurangi resiko bencana bukan malah menggadaikan aspek keberlanjutan hanya untuk kepentingan ekonomi semata yang bisa berakibat memicu terjadinya bencana.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat, Dadan Ramdan menduga ada indikasi alih fungsi lahan kawasan resapan sekitar gunung Patuha. Misalnya oleh pembangunan geothermal dan alih fungsi kawasan oleh pengembangan wisata alam yang makin masif di wilayah resapan dan tangkapan air.

“Ini kejadian kedua banjir bandang terjadi di di Ciwidey. Artinya ke depan dipastikan akan terjadi lagi. Kami belum melihat ada tindakan nyata untuk mengurangi resiko karena perizinan pembangunan wisata alam terus diberikan,” ujarnya.

Dia meminta upaya jangka panjangnya harus hentikan  perizinan di daerah tangkapan dan RTRW Kabupaten Bandung yang lebih melindungi kawasan konservasi dan tangkapan air.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,